Wednesday, May 17, 2006

Potret Kritis Kawasan Kalimantan Tengah

Potret Kritis Kawasan Kalimantan Tengah
oleh : Nordin



“ ……cintailah apa yang ada dibumi, agar engkau dicintai yang dilangit ……” [noname]

Sesuai dengan namanya, propinsi ini terletak di tengah pulau Kalimantan. Luas propinsi yang berdiri pada 23 Mei 1957 ini sekitar 7,95 persen wilayah Indonesia. Propinsi ini dibentuk berdasarkan UU Darurat No. 10 tahun 1957 setelah melalui perjuangan panjang.

Sungai-sungai terkenal panjang dan banyak menyumbang transportasi bagi Kalteng adalah Kapuas, Barito, Kahayan, Ketingan. Selain itu ada lagi sungai besar seperti Mentaya, Seruyan, Lamandau, Arut, Kumai, Sebangau dan Sei. Jelai. Sungai terpanjang di Kalteng adalah Sungai Barito (900 km), disusul Sungai Ketingan (650 km). Secara umum masyarakat Kalteng sangat tergantung dengan sungai-sungai ini untuk MCK, transportasi dan lahan usaha perikanan. Rentanitas sungai sangat tinggi apabila terjadi gangguan didaerah sekitar aliran sungai, padahal seluruh Kalteng merupakan bagian yang saling sambung menyambung antara daerah aliran sungai satu dengan lainnya.

Propinsi yang berpenduduk asli Dayak ini memiliki taman kebanggaan dan termasuk salah satu dari lima cagar biosfer yang tercatat di Unesco, Taman Nasional Tanjung Puting. Dalam taman ini hidup hampir 60 persen jenis burung yang terdapat di Nusantara. Enggang, Beo, Kakaktua, misalnya, hidup di taman ini. Taman seluas 355.000 hektar itu sekarang juga menjadi Pusat Karantina dan Perawatan Orang Utan pongo pygmaeus. Kini ada sekitar 1500 ekor binatang itu ada di sana.

Luas Propinsi Kalimantan Tengah 153.568 Km² (15.356.800 Ha) berdasarkan Rencana Induk Perkebunan jangka panjang diproyeksikan 3.139.500 Ha lahan yang sesuai untuk pengembangan perkebunan. Berdasarkan rencana tata ruang Wilayah Propinsi Kalimanatan Tengah tersedia lahan untuk pengembangan perkebunan jangka menengah/panjang pada kawasan non-hutan seluas 5.061.846 Ha, dimana 2 kawasan pokok untuk pengembangan adalah :

1. Kawasan Pengembangan Produksi (KPP) seluas 2.789.108 Ha.
2. Kawasan Pemukiman dan penggunaan lainnya (KPPL) seluas 1.920.054 Ha.

Dari kawasan non-kehutanan seluas 5.061.846 Ha telah diberikan izin lokasi untuk pengembangan perkebunan dalam skala kecil /menengah /besar oleh BPN/ Bupati setempat seluas 2.517.002,03 Ha dengan rencana komoditi yang dikembangkan kelapa sawit, karet, kakao, lada dan tebu.

Luas Propinsi Kalimantan Tengah mencapai 15.356.699,80 ha terdiri dari :
  • Cagar Alam 235.079,45 ha
  • Hutan Lindung 766.392,06 ha
  • Taman Nasional 488.056,29 ha
  • Taman Wisata 19.142,61 ha
  • Suaka Margasatwa 71.664,71 ha
  • Hutan Produksi 4.232.518,38 ha
  • Hutan Produksi Terbatas 3.784.495,64 ha
  • Kawasan Pengembangan Produksi 2.789.108,09 ha
  • Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lainnya 1.920.054,79 ha
  • Perlindungan dan Pelestarian Hutan 1.628,43 ha
  • Hutan Penelitian dan Pendidikan 5.003,80 ha
  • Hutan Tanaman Industri 21.958,04 ha
  • Transmigrasi 137.920,13 ha
  • Konservasi Flora dan Fauna 161.849,04 ha
  • Konservasi Gambut Tebal 253.797,98 ha
  • Konservasi Ekosistem Air Hitam 37.225,55 ha
  • Konservasi Hidrologi 185.023,14 ha
  • Kawasan Handil Rakyat 59.046,32 ha
  • Konservasi Mangrove 31.018,40 ha
  • Perairan 155.716,95 ha
Jumlah 15.356.699,80 ha

Sumber : Perda Propinsi Kalimantan Tengah No 8 Tahun 2003

Perkembangan terakhir yang mengemuka berupa luasan lahan / hutan kritis di Kalimantan Tengah yang menurut Dinas Kehutanan Kalteng mencapai 11,5 juta hectare [ khusus untuk ini banyak pihak meragukannya. Dimana angka ini membengkak akibat adanya rencana alokasi dana GNRHL dan DAK-DR tahu 2004-2009]. At least….. terlepas dari angka tersebut siluman atau bukan, tetapi inilah angka resmi yang dipublikasikan pemerintah daerah Kalimantan Tengah.

Jika mencermati angka-angka tersebut dan melakukan over-lay dengan data peruntukan kawasan seperti Perda No. 8 tahun 2003, maka akan ada hitung-hitungan sebagai berikut :
  • Kawasan hutan/lahan kritis 11,5 juta hectare [74,8 %] dari luas Kalimantan Tengah
  • Dari semua peruntukan wilayah/kawasan yang tersusun dalam Perda no 8/2003 yang dapat dikatakan tidak mungkin [impossible] dimasukan dalam category “kritis” adalah Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lainnya [KPPL] seluas 1.920.054,79 ha, Transmigrasi seluas 137.920,13 ha, Kawasan Handil Rakyat seluas 59.046,32 ha dan Perairan seluas 155.716,95 ha. Jumlah keseluruhan kawasan yang “tidak mungkin” kritis karena merupakan hunian [termasuk kuburan] dan perairan adalah seluas 2.272.738 ha.
  • Dengan demikian, maka wilayah Kalteng yang dapat dikatakan memungkinkan untuk dapat menjadi kritis adalah seluas 15.356.699,80 ha dikurangi kawasan yang “tidak mungkin” kritis seluas 2.272.738 ha, hanya seluas 13.083.961,61 ha.
  • Dengan luasan kawasan yang memungkinkan menjadi kritis seluas 13.083.961,61 ha dan luas lahan dan hutan kritis seluas 11,5 juta ha, maka hanya 1.583.961,61 ha saja kawasan Kalteng yang masih baik.

Sayangnya, walaupun dibagian atas penulis menyebutkan bahwa kawasan perairan “tidak mungkin” terjadi keadaan kritis, tetapi dalam bentuk lain sesungguhnya perairan mengalami phase kritis dalam dimensi lain. Air [sungai] di Kalimantan Tengah walaupun tidak mengalami krisis kuantitas, tetapi secara kualitas mengalami problem serius, seperti mercury, sendimentasi, kekeruhan dan fluktuasi debit air yang sangat drastis antara musim hujan dan musim kemarau.


Problematika Sumberdaya Alam dan Ketidak-Adilan Distribusi Sumber-sumber Kehidupan Rakyat

Sudah menjadi jamak terpublikasi kepada masyarakat tentang terjadinya konflik sumberdaya alam. Kondisi ini berakar pada ketidak-adilan pemilikan Tanah.

Ketetapan MPR RI No. IX/2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pembaruan Agraria, sesungguhnya patut untuk diterapkan secara konsisten. TAP tersebut juga mengamanatkan untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria dan sumber daya alam serta melakukan kajian ulang atas perundangan yang bertentangan dengan TAP MPR tersebut.

Keluarnya TAP MPR No. IX/2001 bukan tanpa alasan yang kuat, baik secara empirik maupun akademis. Kepadanya telah dilakukan kajian mendalam bahwa konflik dan ketidak adilan atas tanah telah dan sedang bahkan terus akan terjadi apabila pengelolaannya masih seperti yang telah dijalankan selama ini. Oleh karenanya sebagai tindak lanjut dari TAP MPR No. IX / 2001, MPR dalam sidang tahunan tahun 2003 kembali menegaskan untuk sesegeranya mempermudah dan mempermurah serta proses sertifikasi tanah-tanah rakyat dan mengakui keberadaan tanah-tanah rakyat yang diakui secara turun-temurun.

Pelajaran berharga telah terjadi di Pulau Jawa dimana masyarakat kehilangan tanah-tanah dan kekurangan sumber agraria akibat ketidak adilan distribusi sumber agraria tersebut. Sebagian besar masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa adalah kaum landless yang tidak mempunyai tanah lagi, petani atau kelompok agraris yang sangat besar di Pulau Jawa sesungguhnya hanyalah petani penggarap dan bukan pemilik tanah. Disamping tanahnya sudah direbut sebagai tanah negara yang dikelola oleh Perum Perhutani, juga berubah fungsi menjadi kawasan industri.

Kalimantan Tengah yang dihuni oleh sebagian besar masyarakat adat Dayak dari berbagai sub-suku serta beberapa suku lainnya pada saatnya juga akan menjadi kaum landless. Masyarakat Adat Dayak akan kehilangan tanahnya, kebunnya, beje-nya, kaleka nya, pahewan-nya dan tanah-tanah keramatnya.

Indikasi kearah ini sudah sangat nampak, landless sudah diambang mata. Kalau mau bukti perhitungan dan fakta-fakta berikut akan membawa anda menjadi yakin kalau orang Dayak akan kehilangan tanahnya dalam jangka tidak sampai 10 tahun lagi.

Fakta 1 : Pada tahun 2003 Pemerintah daerah dan DPRD Kalteng dengan gagah telah mengesahkan Perda No. 8 Tahun 2003 tentang RTRWP Kalteng - yang sesungguhnya juga masih kontroversial dan ditentang NGOs karena ada alih fungsi hutan secara manipulative untuk meloloskan tambang-tambang raksasa - dengan membagi-bagi peruntukan tanah secara sepihak tanpa konsultasi dengan masyarakat sebagai bagian tak terpisahkan dari bangsa yang mendiami wilayah Kalteng sejak ratusan bahkan ribuan tahun.

Fakta 2 : Tahun sekitar awal tahun 2004 sampai dengan bulan Mei 2004 Gubernur Kalimantan Tengah menggulirkan rencana spektakulernya untuk mengembangkan perkebunan sawit jutaan hectare [sesungguhnya bukan sejuta hectare]. Rencana ini tentu saja tidak lepas dari pengaruh dan propaganda canggih kaum kapitalis yang bermaksud menguasai tanah-tanah rakyat Kalteng untuk pembangunan perkebunan sawit miliknya.

Dalam RTRWP Kalteng sesuai dengan Perda no. 8 Tahun 2003 hanya ada 2 peruntukan lahan yang memungkinkan dikelola oleh “rakyat” [dalam tanda petik karena masih ada pertanyaan-rakyat yang mana ?], yaitu Kawasan Pengembangan Produksi [KPP] dan Kawasan Pemukiman dan Peruntukan Lainnya [KPPL]. Selebihnya merupakan peruntukan kawasan seperti Cagar Alam, Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, Kawasan Hidrologi, Kawasan Ekosistem Air Hitam dan lain-lain sejumlah 18 items. Kawasan tersebut dapat dikatakan tidak dapat dikelola oleh rakyat secara normal, kecuali dengan procedure khusus yang sangat berbelit atau bahkan merupakan kawasan “terlarang”.

KPP Kalteng diperuntukan seluas 2.789.108,09 ha dan KPPL seluas 1.920.054,79 ha. Atau secara keseluruhan luasnya kalau dijumlahkan adalah 4.709.162.88 ha. Dengan luasan demikian, kita akan mulai berhitung mengenai porsi ideal bagi petani atau masyarakat pengelola tanah, dimana banyak literatur menyebutkan luasan ideal bagi petani atau pengelola tanah adalah sekitar 2 hectare [belum termasuk untuk pemukiman dan pekarangan].

Lalu tengoklah angka jumlah penduduk Kalteng saat ini [saja], jumlahnya sekitar 1,9 juta orang [belum diperhitungkan pertumbuhan penduduk dalam waktu 10 tahun kedepan]. Dengan angka penduduk yang demikian, idealnya harus dialokasikan tanah sebagai persiapan kedepan paling tidak seluas 1,9 juta X 2 ha, yaitu sebanyak 3.800.000 ha.

Dalam jangka 10 tahun kedepan, barangkali tanah seluas itu dapat dijadikan sebagai ladang seluas 0,5 hectare, kebun seluas 0.4 hectare, perumahan dan pekarangan 0,2 hectare, sisanya adalah untuk kuburan kalau kita semua telah mati dan pasti mati.

Memang KPP dan KPPL di Kalteng yang dimuat dalam RTRWP lebih luas dari kebutuhan ideal pemilikan tanah bagi rakyat, tetapi angka 4.709.162.88 ha KPP dan KPPL tersebut telah lebih dahulu dikuasai dan diperuntukan bagi perkebunan skala raksasa [sawit] yang luasnya diprediksikan sekitar 2,5 juta hectare. Jadi sisanya hanya tinggal 2.2 juta ha saja. Kalau mau dibagikan secara ideal maka angka tersebut hanya akan memberikan gambaran bahwa setiap orang di Kalteng saat ini hanya akan memiliki rasio atas tanah seluas 1,16 hectare.

Peluang rakyat untuk mendapatkan “keamanan” atas tanahnya untuk dapat memperoleh kedaulatan atas pengelolaan lahan dan tanahnya sesungguhnya sudah dibuka dan terbuka melalui TAP MRP No. IX tahun 2001 Tentang pembaruan Agraria dan pengelolaan Sumberdaya Alam. Bahkan dalam Sidang Umum MPR Tahun 2003 memutuskan bahwa TAP MPR No. IX tetap berlaku sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam ketetapan tersebut. Kemudian ditambah lagi dengan Hasil sidang Komisi C tentang Saran yang merumuskan beberapa hal terkait dengan materi tersebut, yang salah satunya adalah “…mempermudah dan mempermurah proses sertifikasi tanah untuk rakyat kecil, khususnya para petani…”.

Tetapi kemudian apa yang terjadi, saran dan anjuran tetap saja saran dan anjuran, “anjing menggonggong, kapilah tetap berlalu”. Tidak ada kemudahan dan kemurahan bagi rakyat kecil. Kemudahan dan kemurahan hanya milik pemodal berkantong tebal dan pintar berdasarkan propaganda.

Pengrusakan Hutan

Nilai ekonomis hutan yang diperoleh melalui kayu kurang dari 10 persen dari nilai total keberadaan hutan. Lebih mengenaskan lagi, eksploitasi kayu itu dilakukan dengan menghancurkan nilai yang lain, seperti ketersediaan air, keanekaragaman hayati, dan potensi ekowisata. Pengelolaan hutan sangat bersifat sektoral dan terbukti tidak dapat mencegah kerusakan hutan. Kawasan hutan dikelola oleh Departemen Kehutanan, tetapi produk kehutanan dikelola menurut hitungan industri oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag).

Izin pengembangan industri perkayuan terus diterbitkan oleh Deperindag sehingga kapasitas industri perkayuan terus meningkat. Kapasitas terpasang industri perkayuan saat ini sekitar 60 juta meter kubik. Padahal, kemampuan produksi hutan berdasarkan konsep pengelolaan hutan lestari hanya 6,8 juta meter kubik. Angka jatah tebang resmi ini ditetapkan oleh Departemen Kehutanan. Di sini terlihat bentuk kebijakan antar departemen yang tidak sinkron.

Kesenjangan permintaan bahan baku industri dengan penyediaan kayu dipenuhi melalui penebangan liar. Menteri Kehutanan M Prakosa menegaskan, ketimpangan ini merupakan salah satu faktor pemicu penebangan liar dari sisi internal. Membiarkan industri kehutanan yang kelebihan kapasitas tumbuh dengan mengandalkan pemenuhan bahan baku melalui penebangan liar tak ubahnya membiarkan penyakit kanker terus berkembang. Kanker ini pada akhirnya akan mematikan industri itu sendiri dan merusak hutan yang masih tersisa.

Selain digunakan untuk memasok kelebihan permintaan bahan baku di dalam negeri, penebangan liar juga mengalirkan kayu ke negara-negara tetangga. Data dari International Tropical Timber Organization (ITTO) pada tahun 2000, misalnya, menunjukkan ekspor kayu bulat Indonesia ke Malaysia tercatat 578.390 meter kubik. Padahal, catatan ekspor resmi hanya tertulis 7.860 meter kubik.

Kerusakan kehutanan Indonesia juga tak lepas dari perkara korupsi. Suap pada pejabat dan aparat keamanan sering mengakibatkan penebangan liar berjalan aman. Ketika dilakukan razia, surat keterangan dapat saja didatangkan meskipun kayu ditebang secara ilegal. Penebangan kayu secara liar dan peredaran kayu ilegal saat ini mencapai 50,7 juta meter kubik per tahun dengan kerugian negara mencapai Rp. 30,42 triliun per tahun dengan luas hutan yang rusak atau tidak berfungsi secara maksimal, mencapai 43 juta hectare dan laju kerusakan hutan 4 tahun terakhir mencapai 2,1 juta per tahun [B.Post 30/5/04].

Dari ketimpangan supply bahan baku industri, dapat diperkirakan 80 persen penebangan kayu di Indonesia dilakukan secara illegal. Artinya, pemerintah dan 200 juta rakyat Indonesia hanya mencicipi devisa dari 20 persen penebangan yang dilakukan dengan sah, sementara 80 persen lagi keuntungan penebangan beredar pada para cukong dan orang-orang tertentu. Dengan menggunakan akal sehat, sulit ditemukan keuntungan melanjutkan penebangan hutan untuk mempertahankan porsi 20 persen dan kehilangan 80 persen nilai ekonomi selebihnya. Belum lagi penghancuran hutan dan bencana alam yang akan terus memakan korban dan biaya sosial yang tinggi.

Walaupun demikian buruknya pengelolaan hutan yang dijalankan pemerintahan selama orde baru dan orde setelahnya, tetapi bukan berarti bahwa hutan harus dihabiskan saja dan dikonversi untuk kebutuhan lainnya. Pilihan yang paling tepat adalah mengusahakan agar hutan tetap dapat menjamin fungsi-fungsi yang diembannya. Apabila dengan melihat kondisi hutan yang telah demikian memprihatinkan lantas memunculkan pikiran untuk mengalih fungsikan hutan untuk dikonversi bagi pertambangan atau perkebunan atau penggunaan lainnya yang nilainya jauh lebih rendah daripada melestarikan fungsi hutan, maka ibarat pepatah “buruk rupa cermin dipecah”. Tidak becus mengelola hutan, hutan tersebut malah lebih dihancurkan.

Sekian.

2 comments:

Anonymous said...

pak.. bisa share perda kalteng nomor 8 tahun 2003? ke iaskool@yahoo.com

Anonymous said...

pak, saya cari perda kalteng no 8/2003 tidak ada di bagian google manapun, boleh minta sharingnya Pak? ke hildacahaya@gmail.com

mohon bantuannya ya Pak untuk keperluan skripsi saya, terimakasih Pak Nordin :)