Monday, May 29, 2006

LAHAN GAMBUT DI KALTENG TETAP POTENSIAL UNTUK LAHAN PERTANIAN

Pemerintah ke depan akan menghidupkan kembali Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektar (PLG) di Kalimantan Tengah yang sempat dihentikan tahun 1999 lalu. Pemerintah menilai proyek PLG yang telah dilaksanakan dimasa lalu tidak seluruhnya mengalami kegagalan. Sebagai contoh di Wilayah Kerja A, khususnya A1, A2, dan A5 yang akan dijadikan lokasi Pesta Panen Raya untuk musim tanam April – September 2004 yang direncanakan September mendatang. Memang tidak seluruh areal pengembangan yang luasnya lebih dari satu juta hektar (1,119 ha) cocok untuk ditanami dengan padi yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat kita. Namun, sebagian dapat digunakan sebagai areal konservasi.

Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto dalam kunjungan kerjanya ke PLG di Desa Dadahup yang didampingi Gubernur Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang, Dirjen Bina Marga Hendrianto dan Dirjen Sumber Daya Air, Siswoko serta Pejabat dari Instansi Terkait Kamis (30/3) lalu. Menurut Djoko, pemerintah sangat menyangkan jika investasi yang telah ditanam begitu besar tetapi kemudian tidak dimanfaatkan secara optimal. “Boleh dikatakan mubazir jika kawasan itu tidak tergarap. Apalagi di lahan ini sudah menghasilkan dan berpotensi jadi penopang ketahanan pangan nasional,” tegas Menteri PU.

Menteri PU menambahkan, kedatangannya ke lokasi PLG itu untuk melihat langsung infrastruktur ke PU an apa saja yang perlu dibangun untuk mensukseskan Pesta Panen Raya yang direncanakan akan dihadiri Presiden SBY September mendatang. Dirinya mengaku, setelah melihat langsung ada beberapa prasarana yang belum memadai seperti pintu air, saluran primer, jalan inspeksi saluran belum memadahi. Terkait dengan masalah itu Menteri PU berjanji akan mengalokasikan dana bantuan untuk pengembangan PLG ke depan.

“Pemerintah sudah komitmen akan membantu pada proyek ini. Begitu pula dengan instansi terkait. Jadi saya mengharapkan adanya koordinasi yang baik antara instansi terkait dengan pemprov/pemkab Kalteng. Instansi sangat berkepentingan dengan proyek ini. Jadi tidak hanya Departemen PU saja,” ucap Djoko Kirmanto. Dia mencontohkan, Deptan sebagai penyuluh, Depnakertrans yang mendatangkan para transmigran, tambahnya. Djoko sangat mengharapkan Gubernur Kalteng menjadi ketua tim dalam pelaksanaan PLG di wilayah yang merupakan wewenangnya.

Gubernur Kalteng Teras Narang mengaku, pihaknya telah berkoordinasi dengan Bulog untuk pemasaran hasil tanam dari daerah PLG. Pasalnya, hasil tanam seperti palawija dan padi tidak mungkin habis dikonsumsi penduduk Kalteng yang jumlahnya sekitar 2 juta jiwa. Stok yang berlimpah dari hasil PLG harus di-ekspor ke propinsi lain yang juga sangat membutuhkan. Teras juga menjelaskan Menteri PU dalam penangan kawasan PLG sangat apresiatif dan menyatakan akan terus membantu. Oleh karena itu dirinya merasa bangga beliau bersedia bersedia mengunjungi Lokasi PLG.

Dijelaskan, 29 April yang akan datang kami sangat berharap Menteri PU kembali lagi untuk bersama-sama dengan menteri lain seperti Menakertrans, Mentan, Mendagri, Menko Kesra untuk melakukan penanaman benih padi di tempat ini. Sekaligus kedatangan Presiden SBY pada Pesta Panen yang telah direncanakan akan hadir September bulan depan. Menurutnya, masyarakat Kalteng akan sangat antusias dan berbondong-bondong menyambut kedatangan presiden RI tersebut.

Sementara itu, Dirjen Sumber Daya Air Siswoko dalam penjelasannya menyatakan, pihaknya sejak tahun 2000 telah fokus mengembangkan daerah kerja A tempat dimana UPT Lamunti dan UPT Dadahup berada di dalamnya. Dijelaskan dari areal 1,119 juta ha telah dibagai menjadi 4 daerah kerja (A, B, C, D) ditambah F untuk kawasan konservasi. Namun khusus untuk menyokong Pesta Panen Raya tahun ini berdasarkan masukan dari pakar gambut UGM, Tim Pakar ITB dan IPB maka ditetapkanlah daerah kerja A1, A2 dan A5 sebagai lokasi peresmian Pesta Panen Raya.

Menurut Siswoko lokasi itu dipilih UPT Lamunti dan UPT Dadahup dapat dijangkau melalui angkutan sungai dan angkutan darat yang berjarak 45 km dari kota Kuala Kapuas. Dijelaskan permasalahan utama yang menjadi kendala selama ini diantaranya adala sistem tata air seperti kurang optimalnya fungsi jaringan tata air, kurang berfungsinya sistem pengendalian banjir. Oleh sebab itu, ujar Siswoko kegiatan program yang dilakukan saat ini lebih difokuskan pada penanganan sistem tata air termasuk upaya pengendalian banjir dengan menutup ruas-ruas tanggul yang bobol

Pelaksanaan musim tanam April-September 2006 yang akan dilakukan para menteri terkait diareal sekitar 12.500 hektar merupakan bagian integral dari rencana rehabilitasi dengan Panen Raya mendatang, sekaligus menadai dimulainya pelaksanaan INPRES kegiatan Rehabilitasi kawasan eks. PLG di Kalteng. (Sony)

Kalteng minta Dibangun Pelabuhan dan Rel KA untuk Batu Bara

JAKARTA: Pemprov Kalimantan Tengah meminta pemerintah pusat agar membantu pembangunan infrastruktur rel kereta api serta pelabuhan batu bara di daerah tersebut, sehingga dapat segera dilaksanakan.

Permintaan itu terkait dengan crash program pemerintah untuk membangun PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) berbahan bakar batu bara berkapasitas 10.000 MW yang harus rampung pada 2009.

Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang mengatakan pembangunan infrastruktur transportasi tersebut harus segera dilaksanakan, sehingga pada 2009 pasokan batu bara ke sejumlah PLTU dapat lancar didistribusikan. Saat ini, Kalimantan yang kaya batu bara tidak memiliki infrastruktur rel kereta api (KA) dan pelabuhan batu bara. Pelabuhan batu bara hanya terdapat di Sumatra dan Jawa.

Dari studi yang sudah dilakukan, Kalteng rencananya akan membangun rel KA Puruk Cuhu-Mangkatip sepanjang 250 km, peningkatan jalan eks hak pengusahaan hutan Sungai Hanyu-Mangkatip, pembangunan pelabuhan ekspor batu bara di Desa Mangkatip, serta membangun sejumlah pelabuhan di Bahaur Sungai Kahayan, Matalayur, Samuda di Sungai Mentaya, dan Teluk Sigintong.

"Namun, pemerintah setempat tidak memiliki dana besar untuk membangun infrastruktur tersebut," ujar Teras usai menjadi pembicara Seminar Coal 2006, The 1st International Trade Exhibition on Coal Mining Technology & Equipment akhir pekan lalu.

Di tempat yang sama, Simon Felix Sembiring, Dirjen Mineral Batubara dan`Panas Bumi pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, mengatakan pembangunan infrastruktur seperti rel KA dan pelabuhan batu bara adalah tugas Dephub. (k18/Bambang Dwi Djanuarto)

Sumber : Bisnis Indonesia

Friday, May 26, 2006

SELANTING LESTARI Aja Deh...!!


Biar tercatat dan bisa dibuka oleh semuanya, mending aku masukin ke blog aja apa-apa yang disepakati oleh kawan-kawan pada Sinergy Meeting [SIMEET] tanggal 19-20 Mei 2006 lalu.

Dibawah tertera rencana tindakan strategis yang akan dilakukan oleh Aliansi SELANTING [Seruyan-Lamandau-Tanjung Puting] LESTARI.

Sebetulnya malas nulis2 ini, tapi khan harus di publish, habis Menhut juga ngaco sih, setindaknya anak buahnya [Balai Pengukuhan Kawasan Hutan Wilayah V Banjarbaru] yang ngaco, masa main itung2 hutan terus dan keluar2nya "COCOK UNTUK DIKONVERSI". Kalau konversi terus, bagaimana nasib hutan kedepan, yang ada hutan sawit aja deh...

Rencana tindak kedepan ALIANSI SELANTING LESTARI , yaitu :
1. Penguatan data dan informasi
  • Pengembangan data-base
  • Riset
  • Analisis hukum dan kebijakan
2. Peningkatan kapasitas dan kelembagaan rakyat
  • Pengorganisasian rakyat
  • Pemetaan wilayah
  • Penguatan ekonomi rakyat
  • Pengorganisasian kasus
  • Pendidikan politik rakyat
3. Pengembangan kapasitas kelembagaan/jaringan
  • Peningkatan kapasitas & jaringan kerja kolaborasi
  • Strategi dan media komunikasi
  • Fundrising
4. Penyadaran dan penggalangan dukungan publik
  • Media kampanye
  • Kampanye pasar dan konsumen
  • Lobby / negosiasi pemerintah
  • Yudicial review/litigasi
5. Emergency advokasi
  • Analisis hukum & kebijakan
  • Yudicial review atas kebijakan pemerintah [pusat dan daerah]
  • Pengorganisasian kasus
Good Luck deh....

Selamat Datang Sawit, Selamat Datang Kaum Landless


Landless adalah istilah bagi suatu kaum yang tidak mempunyai tanah atau sebuah bangsa atau suku bangsa yang keberadaannya nyata tetapi sesungguhnya dia tidak mempunyai tanah atau lahan untuk mengambangkan kehidupan dan mata pencariannya. Contoh bangsa-bangsa demikian seperti Palestina, bangsa Aborigin di Australia dan bangsa Indian di Amerika.

Di Indonesia juga sebagian besar masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa adalah kaum landless yang tidak mempunyai tanah lagi, petani atau kelompok agraris yang sangat besar di Pulau Jawa sesungguhnya hanyalah petani penggarap dan bukan pemilik tanah. Disamping tanahnya sudah direbut sebagai tanah negara yang dikelola oleh Perum Perhutani, juga berubah fungsi menjadi kawasan industri.

Kalimantan Tengah yang dihuni oleh sebagian besar masyarakat adat Dayak dari berbagai sub-suku serta beberapa suku lainnya pada saatnya juga akan menjadi kaum landless. Masyarakat Adat Dayak akan kehilangan tanahnya, kebunnya, beje-nya, kaleka nya, pahewan-nya dan tanah-tanah keramatnya.

Indikasi kearah ini sudah sangat nampak, landless sudah diambang mata. Kalau mau bukti perhitungan dan fakta-fakta berikut akan membawa anda menjadi yakin kalau orang Dayak akan kehilangan tanahnya dalam jangka tidak sampai 10 tahun lagi.

Fakta 1 : Pada tahun 2003 Pemerintah daerah dan DPRD Kalteng dengan gagah telah mengesahkan Perda No. 8 Tahun 2003 tentang RTRWP Kalteng - yang sesungguhnya juga masih kontroversial dan ditentang NGOs karena ada alih fungsi hutan secara manifulatif untuk meloloskan tambang-tambang raksasa - dengan membagi-bagi peruntukan tanah secara sepihak tanpa konsultasi dengan masyarakat sebagai bagian tak terpisahkan dari bangsa yang mendiami wilayah Kalteng sejak ratusan bahkan ribuan tahun.

Pejabat Pemerintah kita tidak sadar bahwa kedudukan dan martabat yang disandangnya sekarang berasal dari usaha moyangnya mengelola tanah. Tanah yang menghasilkan rotan, getah, nasi dan duit untuknya sekolah. Ternyata kemudian kepintarannya digunakan hanya untuk merampas tanah-tanah rakyat. Sungguh kita betul-betul telah menjadi bangsa yang sial, sekali lagi sial.

Fakta 2 : Tahun 2004 sekitar awal tahun sampai dengan bulan Mei 2004 Gubernur Kalimantan Tengah menggulirkan rencana spektakulernya untuk mengembangkan perkebunan sawit jutaan hectare [sesungguhnya bukan sejuta hectare]. Rencana ini tentu saja tidak lepas dari pengaruh dan propaganda canggih kaum kapitalis yang bermaksud mengusaia tanah-tanah rakyat Kalteng untuk pembangunan perkebunan sawit miliknya.

Sayang-sungguh sayang pejabat kita yang telah berhasil menjadi “orang” karena tanah dan hasil diatasnya terbuai dan mabuk dengan bujukan ini, sehingga dengan gampang mengorbankann tanah-tanah rakyat untuk dijadikan perkebunan skala raksasa, milik konglomerat. Sungguh sekali lagi wacana ekonomi kerakyatan betul-betul hanya dilidah dan bualan busuk saja. Ekonomi tetap bertumpu pada pertumbuhan yang selama krisis terbukti tidak mampu membendung badai keterpurukan ekonomi bahkan krisis multidimensional.

Pertumbuhan ekonomi dengan basis konglomerasi sangat mudah untuk melarikan modal dan hanya meninggalkan sisa-sisa ampas dan pencemaran serta keterbengkalaian bersama derita rakyat.

Kembali kepada soal landless dan keterkaitannya dengan fakta 1 dan fakta 2, maka akan saya tampilkan angka-angka berdasar fakta 1 yang berimplikasi pada fakta 2 seterusnya berimplikasi pada landless masyarakat Dayak.

Dalam RTRWP Kalteng sesuai dengan Perda no. 8 Tahun 2003 hanya ada 2 peruntukan lahan yang memungkinkan dikelola oleh “rakyat” [dalam tanda petik karena masih ada pertanyaan-rakyat yang mana ?], yaitu Kawasan Pengembangan Produksi [KPP] dan Kawasan Pemukiman dan Peruntukan Lainnya [KPPL]. Selebihnya merupakan peruntukan kawasan seperti Cagar Alam, Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, Kawasan Hidrologi, Kawasan Ekosistem Air Hitam dan lain-lain sejumlah 18 items. Kawasan tersebut dapat dikatakan tidak dapat dikelola oleh rakyat secara normal, kecuali dengan prosedure khusus yang sangat berbelit atau bahkan merupakan kawasan “terlarang”.

KPP Kalteng diperuntukan seluas 2.789.108,09 ha dan KPPL seluas 1.920.054,79 ha. Atau secara keseluruhan luasnya kalau dijumlahkan adalah 4.709.162.88 ha.
Dengan luasan demikian, kita akan mulai berhitung mengenai porsi ideal bagi petani atau masyarakat pengelola tanah, dimana banyak literatur menyebutkan luasan ideal bagi petani atau pengelola tanah adalah sekitar 2 hektare [belum termasuk untuk pemukiman dan pekarangan].

Lalu tengoklah angka jumlah penduduk Kalteng saat ini [saja], jumlahnya sekitar 1,9 juta orang [belum diperhitungkan pertumbuhan penduduk dalam waktu 10 tahun kedepan]. Dengan angka penduduk yang demikian, idelanya harus dialokasikan tanah sebagai persiapan kedepan paling tidak seluas 1,9 juta X 2 ha, yaitu sebanyak 3.800.000 ha.

Dalam jangka 10 tahun kedepan, barangkali tanah seluas itu dapat dijadikan sebagai ladang seluas 0,5 haektare, kebun seluas 0.4 hektare, perumahan dan pekarangan 0,2 hektare, sisanya adalah untuk kuburan kalau kita semua telah mati dan pasti mati.

Memang KPP dan KPPL di Kalteng yang dimuat dalam RTRWP lebih luas dari kebutuhan ideal pemilikan tanah bagi rakyat, tetapi………….angka 4.709.162.88 ha KPP dan KPPL tersebut telah lebih dahulu dikuasai dan diperuntukan bagi perkebunan skala raksasa [sawit] yang luasnya diprediksikan sekitar 2,5 juta hectare. Jadi sisanya hanya tinggal 2.2 juta ha saja. Kalau mau dibagikan secara ideal maka angka tersebut hanya akan memberikan gambaran bahwa setiap orang di kalteng saat ini hanya akan memiliki rasio atas tanah seluas 1,16 hektare.

Peluang rakyat untuk mendapatkan “keamanan” atas tanahnya untuk dapat memperoleh kedaulatan atas pengelolaan lahan dan tanahnya sesungguhnya sudah dibuka dan terbuka melalui TAP MRP No. IX tahun 2001 Tentang pembaruan Agraria dan pengelolaan Sumberdaya Alam. Bahkan dalam Sidang Umum MPR Tahun 2003 memutuskan bahwa TAP MPR No. IX tetap berlaku sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam ketetapan tersebut. Dus….kemudian ditambah lagi dengan Hasil sidang Komisi C tentang Saran yang merumuskan beberapa hal terkait dengan materi tersebut, yang salah satunya adalah “…mempermudah dan mempermurah proses sertifikasi tanah untuk rakyat kecil, khusunya para petani…”.

Tetapi kemudian apa yang terjadi, saran dan ajuran tetap saja saran dan anjuran, “ anjing menggonggong, kapilah tetap berlalu”. Tidak ada kemudahan dan kemurahan bagi rakyat kecil. Kemudahan dan kemurahan hanya milik pemodal berkantong tebal dan pintar berdasarkan propaganda.

Dengan demikian adalah pantas saya ucapkan pada kita semua ; Selamat menunggu hari-hari tanpa tanah dan menjadi kaum landless. Semoga.

Tuesday, May 23, 2006

“Pengelolaan Asset Alam dan Konflik ” [Solusi Alternatif]



Tulisan singkat dan sederhana ini dibuat untuk menjawab kebutuhan praktis di satu sisi dan langkah strategis penting lainnya disisi lain.

Dalam tataran praktis, Ornop/NGOs mencermati dominasi konflik lahan yang kerap terjadi dan mempengaruhi kepentingan masyarakat dan pemodal yang saling berhadapan. Ini perlu penyelesaian sesegeranya.

Sedang dalam tataran strategis, nampak bahwa konflik, mis-understanding, sikap saling curiga dan saling menyalahkan antar berbagai pemangku kepentingan [masyarakat, pemerintah, pemodal dan NGOs] adalah hal penting yang harus diselesaikan. Oleh karena itu ada 2 hal penting yang perlu dipertimbangkan, yaitu :

1. Meminimalisir Konflik Lahan Usaha

Lahan usaha atau tanah atau kami sebut dengan sumber-sumber kehidupan rakyat dan asset alam, merupakan modal penting dalam sebuah proses produksi bagi siapa saja, tidak hanya pemodal/pengusaha, tetapi juga masyarakat dan rakyat kebanyakan.

Saat ini berbagai document yang ada pada kami dari berbagai referensi dan sumber menunjukan bahwa 75 % masalah penting dalam usaha di sektor-sektor perkebunan, kehutanan dan pertambangan adalah konflik lahan, konflik tanah atau sumber-sumber kehidupan. Selebihnya adalah masalah tenaga kerja, pencemaran dan masalah dampak sosial.

Dengan melihat fenomena demikian, maka sudah sepantasnya langkah strategis yang diambil adalah “menyelesaikan penyebab” dan bukannya mengobati dampak saja. Artinya perlu dicermati akar cikal bakal penyebab konflik lahan/tanah yang terjadi.

Dari pengalaman yang kami dapatkan selama bertahun-tahun menjadi “penampung” keluhan masyarakat mengenai konflik lahan ini terlihat bahwa akar utamanya adalah rakyat merasa kehilangan alat produksinya berupa tanah, tidak ada kejelasan “keamanan” atas tanah yang selama ini dikelolanya sejak turun temurun, sebab suatu saat-suatu masa bisa saja diambil alih oleh konsesi pengusahaan tertentu [kebun, tambang atau kehutanan, bahkan dijadikan kawasan konservasi mati].

Harus kita akui bahwa masyarakat juga membutuhkan alat produksi berupa tanah dan lahan, semakin lama semakin luas seiring perkembangan jumlah penduduk yang semakin berkembang. Kemandirian rakyat berusaha harus didukung dan difasilitasi dengan distribusi alat produksi yang proporsional.

Sayangnya kadang-kadang, disela masih cukupnya lahan-lahan dan tanah-tanah yang belum terkelola oleh masyarakat, investasi yang memerlukan tanah justru bekerja ditanah-tanah yang sudah dikelola masyarakat. Tanah-tanah yang dapat dijangkau dengan kemampuan terbatas masyarakat. Hal inilah yang kerap kali menimbulkan konflik, dimana masyarakat merasa kehilangan alat produksi, paling tidak biaya produksinya menjadi semakin meningkat, sementara alternative usaha lainnya semakin minim ditambah dengan beban tanggungan hidup yang semakin meningkat juga.

Kondisi demikian tentu saja tidak membuat investasi menjadi merasa aman, bahkan cenderung dalam keadaan selalu dihantui keresahan dan tekanan. Oleh karena itu penting untuk dicari solusi alternative agar semua pihak mendapatkan ketenangan dan bahkan keuntungan.

Langkah taktis yang perlu diterobos untuk meminimalisir adalah memberikan ruang terjadinya power shering atas sumber alam [tanah] yang kemudian menimbulkan terjadinya benefit shering secara otomatis.

Investasi Natura sebagai Solusi.

Investasi natura adalah investasi bukan uang yang ditanamkan dalam suatu usaha. Salah satu investasi adalah alat produksi berupa tanah/lahan usaha milik masyarakat yang selama ini telah pernah dikelola untuk berproduksi [ladang, kebun, usaha perikanan dll].

Investasi natura merupakan penyertaan andil masyarakat dalam berbagai usaha [sebagai misal perkebunan] senilai dengan tanah miliknya yang telah atau pernah dikelola/digarap untuk perkebunan. Dengan demikian, masyarakat tidak kehilangan tanah, perusahaan dapat berusaha dan pemerintah memperoleh penghasilan. Pola demikian banyak digunakan dalam usaha tambang batubara rakyat di Kalsel, walaupun kemudian yang muncul adalah masalah lingkungan ketika usaha-usaha tersebut tidak dilakukan secara professional dan sporadic serta tidak terkontrol.

Keuntungan yang didapat :
  1. Bagi masyarakat, tidak kehilangan tanah dan dalam masa depan tidak menjadi kaum landless atau kaum yang tidak mempunyai tanah lagi seperti suku Aborigin dan Indian. Disamping itu, masyarakat juga mendapatkan keuntungan real berupa deviden atau saldo usaha dari hasil pemberdayaan-pemanfaatan lahan/tanahnya oleh pemodal.
  2. Bagi Pemodal, akan memperoleh jaminan “keamanan” berusaha, mendapatkan kepercayaan rakyat dan mendapat keuntungan dari hasil mengelola tanah masyarakat. Selain itu juga mempunyai mitra masyarakat local.
  3. Bagi pemerintah, keuntungan yang didapat adalah kemudahan pendataan lahan/tanah yang selama ini amburadul, dengan demikian secara otomatis juga mendapatkan pendapatan berupa pajak bumi dan bangunan [karena datanya jelas dan pemungutannya bisa otomatis dari deviden. Selain PBB juga menghasilkan PPh dari penghasilan usaha. Yang lebih penting adalah memudahkan pendataan lahan. Pemerintah juga bisa menanamkan investasinya dalam bentuk investasi natura berupa tanah-tanah yang bukan hak rakyat.
Kendala yang dihadapi dalam hal ini adalah belum familiernya model shering demikian, disamping itu juga hal demikian sangat dihindari oleh calo-calo tanah yang sering berhubungan dan memetik keuntungan dari pola kerja penguasaan tanah selama ini. Selain itu juga dibutuhkan kerja berat untuk menyusun mekanisme yang ideal dan menguntungkan dan memuaskan segenap pihak.

2. Protokol Komunikasi Parapihak “Forum 100 [Hari]”


Latar Belakang

  • Pada kondisi saat ini dan selama ini antara banyak pihak, khususnya antara Pemerintah, NGOs, Pemodal dan masyarakat seringkali terjadi saling tuding dan saling menyalahkan. Memang tidak salah jika hal ini terjadi karena tidak adanya “jembatan” komunikasi antara berbagai pihak ini, yang dapat dijadikan ajang saling membangun pengertian, saling memahami dan saling tidak menyalahkan.
  • Ruang-ruang komunikasi formal seringkali hanya menjadi ajang adu argument bahkan debat kusir yang kemudian tidak membuahkan hasil yang memuaskan, bahkan cenderung menjadi pemicu konflik baru lagi. Masing-masing pihak bisa saja menjadi tidak saling percaya dan cenderung apriori terhadap pihak lainnya. Jika hal ini terjadi, maka bukan tidak mungkin permasalahan menjadi semakin meluas. Masing-masing pihak merasa sudah paling benar dan paling tahu semuanya, sementara pihak lainnya merasa mempunya argument yang kuat untuk mengatakan apa yang terjadi tidak sesuai dengan kenyataan dan koridor norma yang berlaku.
  • Kondisi demikian [pertentangan antar pihak dan cenderung saling menyalahkan serta mencari pembenaran masing-masing] harus segera diakhiri bagaimanapun caranya. Salah satu alternative yang barangkali patut untuk dipikirkan adalah membangun protocol komunikasi intensif dan regular antar para pihak [pemerintah, masyarakat, NGOs dan pengusaha-bisa ditambah dengan pihak lain, misalnya pers].
  • Protokol komunikasi tersebut mesti dibangun dalam suatu “ruang” bersama yang diharapkan menjadi wadah saling memberikan input, koreksi dan solusi kemasa depan. Di dalamnya juga dapat dijadikan ajang shering informasi yang kemudian dicari penyikapan bersama atas suatu hal yang berkembang.
  • Sebuah usulan untuk segera diinisiasi sebuah wadah saling shering informasi, saling mengingatkan dan saling membangun kesepahamam serta saling koreksi melalui sebuah ruang diskusi “Forum 100 Hari” [F100H] paling pantas untuk dipikirkan. Kita sebut saja “forum 100 hari” [inipun masih dalam tanda petik] maksudnya hanya kemudahan mengingatkan bahwa forum tersebut barangkali dapat dilakukan setiap 100 hari [paling tidak, jika lebih intensif atau diluar itu bisa insidentil akan lebih baik].

Fasilitator

Forum 100 hari [F100H] dapat difasilitasi oleh siapa saja, hanya untuk pertama kali perlu diambil inisiatif oleh Pemernitah daerah, yang kemudian pada saat dilaksanakan pertama kalinya dibangun kesepakatan mengenai waktu, tempat dan fasilitator kegiatan F100H berikutnya.

Partisipan

Dalam konteks yang kami sampaikan, maka tentu saja aras utamanya adalah aktor-aktor yang menjadi stakeholder dari pengelolaan asset alam, seperti sector perkebunan, kehutanan, pertambangan, kelautan dan pertanian. Di bagian lain juga ada pelaku ekonomi sector-sektor tersebut dan NGOs yang bekerja di berbagai issue seputar lingkungan dan pengelolaan asset alam. Tidak ketinggalan juga adalah masyarakat yang selama ini menjadi bagian penting dan sangat berkepentingan dengan lahan dan tanah yang menjadi modal produksi pengelolaan asset alam.

Cakupan Issue Diskusi F100H

Berbagai issue dalam forum diskusi F100H bisa dibahas, hanya saja sebaiknya dibatasi seputar pembangunan dan pengelolaan asset alam Kalimantan Tengah. Catatannya, meskipun berawal dari perbedaan pendapat, perbedaan data dan informasi serta perbedaan kepentingan, tetapi harus menghasilkan suatu kesaling-fahaman. Memang tidak mesti harus menjadi legitimasi suatu hal, namun yang menjadi penting ada proses “pencairan suasa” bagi segenap pihak.

Oleh : Nordin, Co-ordinator Save Our Borneo, Mantan Direktur WALHI Kalteng periode 1999-2002, 2002-2005, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Betang Borneo, Dewan Pertimbangan Anggota Kelompok Kerja Sistem Hutan Kerakyatan, Anggota Sawit Watch Indonesia

Monday, May 22, 2006

Soal Nilam dari Kompas

Dari segi ekonomi hasil nilam sangat menjanjikan, baik bagi petani maupun pengusaha penyulingan. Harga jual satu kilogram minyak nilam bisa mencapai Rp 200.000-Rp 700.000. Selain itu, tanaman nilam bisa dibudidayakan di mana pun.

Sebuah penyulingan nilam dalam dalam sehari bisa membutuhkan sekitar 2,5 kuintal daun dan batang nilam. Dari 2,5 kuintal nilam dapat dihasilkan minyak nilam sebanyak 5 kilogram. Minyak itu digunakan sebagai bahan pencampur minyak wangi, fungsinya sebagai pengikat aroma. Penjualan melalui pengepul, kemudian dijual lagi ke eksportir.

Penanaman nilam dinilai cukup sederhana karena setiap bibit yang diperoleh dari sistem stek ditanam di tanah dengan jarak 60 cm. Selanjutnya tinggal menunggu enam bulan sebelum dipanen karena batang telah mencapai ketinggian satu meter. Setelah panen, nilam dibiarkan tumbuh sendiri dan dapat dipanen lagi setiap tiga bulan.

Nilam tumbuh dengan baik pada ketinggian 10 meter hingga 400 meter di atas permukaan laut. Selain itu, ditanah yang masih banyaknya humus membuat nilam bisa tumbuh baik, tanpa dipupuk atau disiram secara teratur. Meskipun demikian, nilam biasanya hanya dipertahankan sampai panen kedua karena hasilnya akan menurun setelah itu.

Setelah dipanen batang dan daun nilam dijemur tiga hari sampai kering. Pengurangan kadar air mutlak diperlukan agar kualitas minyak yang dihasilkan tetap tinggi. Setelah benar-benar kering, batang nilam harus dipisahkan dari daunnya, lalu dicincang agar mudah dimasukkan ke dalam silinder penyulingan. Minyak yang paling baik diperoleh dari penyulingan batang nilam.
Daun nilam juga dapat disuling menjadi minyak, tetapi kualitasnya masih di bawah minyak yang dihasilkan oleh batang. Karena itu, para perajin biasanya mencampur batang dan daun nilam untuk disuling secara bersama.

Alat penyulingan terdiri atas sebuah ketel penguapan air, ketel penampung batang nilam, dan pipa-pipa yang menghubungkan berbagai peranti besar lainnya. Harga satu set alat penyulingan sederhana sekitar Rp 2 juta dapat dipesan di bengkel las.

Proses penyulingan dimulai dengan merebus air di ketel penguapan. Uap dari ketel dialirkan melalui pipa kecil ke ketel penampung batang nilam. Di silinder yang mampu menampung 20-40 kilogram batang nilam itu, uap air ditampung dalam ruang setinggi 40 sentimeter. Itu dilakukan agar mempunyai tekanan yang memadai dan dapat dialirkan ke tumpukan batang nilam untuk memulai proses penyulingan.

Uap hasil penyulingan dialirkan melalui pipa dan melewati tempat pendinginan untuk mengubah uap menjadi cair. Proses pendinginan dilakukan di saluran air yang terus mengalir. Setelah didinginkan, campuran minyak nilam dan air dipisahkan di sebuah tempat dengan mengandalkan beda berat jenis kedua zat itu.

Dalam proses yang berlangsung delapan jam, api harus selalu dijaga agar terus berkobar dan air harus selalu ditambahkan dalam ketel penguapan. Dari setiap 20 kilogram batang nilam dapat dihasilkan 0,5-0,6 liter minyak nilam.

Hasil itu dinilai masih belum optimal karena jika penyulingan diteruskan sampai 12 jam, minyak yang dihasilkan dapat mencapai 0,8 liter. Namun, karena kayu bakar dan tenaga yang dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh, para perajin menghentikan aktivitas mereka setelah delapan jam.

Hasil penyulingan dan harga minyak nilam dinilai cukup menguntungkan petani yang merangkap sebagai perajin minyak nilam musiman. Satu hektar kebun nilam mampu menghasilkan 100-150 kilogram.

Cara barter antara petani dengan penyuling adalah setiap penduduk yang menyuling nilamnya harus memberikan 10 persen hasil yang diperolehnya kepada pemilik penyulingan.
Bagi hasil dari penyulingan minyak nilam di daerah itu menggunakan dua sistem, yaitu petani menyuling sendiri hasil panen mereka dengan peralatan orang lain, atau petani menjual hasil panen nilam kepada pemilik alat penyulingan. Pada sistem pertama, petani harus menyerahkan 10 persen hasil sulingan kepada pemilik alat.


Sumber Kompas

Saturday, May 20, 2006

Cape Abis Urus SIMEET...

19-20 Mei adakan SIMEET [sinergi meeting] di hotel Batu Suli Palangkaraya
Banyak yg hadir dari P. Cahu dan P. Bun juga ada.

Yang lain dari palangkaraya aja, kesepakatannya memunculkan Aliansi SELANTING [Seruyan, Lamandau dan tanjung Puting] Lestari.

Lom tahu juga bagaimana kedepan, tapi optimis aja

Oya Hari ini Dadut si Ganteng mau ke Bogor ikut Rudy. Sepatunya baru sama dengan giginya yang juga baru [hehehehehe]...

Ternyata dia [dadut] tidak punya KTP...dasarrrr
Terpaksalah bikin surat keterangan perjalanan dulu ama RT, untung RT-nya kawan sendiri

udah ahhhhhhhh

Wednesday, May 17, 2006

Mari Berhitung ;Pertahankan Lahan atau Hidup Melarat

Pembukaan perkebunan besar sawit diberbagai daerah dalam beberapa tahun terkahir ini telah sangat nyata belum, bahkan tidak memberikan keuntungan nyata pada masyarakat sekitar ; yang lahan, kebun, tanah, sungai, hutan dan hajat hidupnya dihancurkan.

Sebuah perkebunan sawit dengan sangat pintar tetapi licik telah mengeluarkan propaganda bahwa sawit menguntungkan secara ekonomis, padahal sebetulnya sawit akan menciptakan ketergantungan kepada kapitalis yang menjajah masyarakat adat lokal secara ekonomi.

Dengan hilangnya tanah dan sumber agraria dan rusaknya sungai-sungai serta kebun, maka kemudian masyarakat menjadi kehilangan mata pencarian, yang selanjutnya terpaksa berlaku seperti pengemis meminta-minta pekerjaan kepada perusahaan perkebunan sawit. Celakanya, dengan orientasi bisnis, perkebunan hanya akan mau mempekerjakan masyarakat lokal pada pekerjaan kasar dan upah yang murah dengan berbagai alasan, seperti kualitas SDM yang dimiliki masyarakat lemah dan stigmasi masyarakat lokal pemalas.

Sementara dengan menjadi buruh perkebunan sawit, seluruh waktu tersita untuk bekerja di kebun sawit, sehingga untuk bekerja lain sebagai tambahan penghasilan hampir tidak mungkin. Belum lagi juga ada masalah dengan hilangnya lahan kebun, areal pertanian, sungai dan danau untuk mencari ikan, dan pencemaran akibat limbah sawit yang menimbulkan bau dan penyakit.

Lugasnya dapat dikatakan bahwa dengan membiarkan dan memberikan kesempatan perkebunan sawit membuka lahan arealnya di daerah yang selama ini dikelola masyarakat adat akan menimbulkan akibat, antara lain ;
  1. Hutan sebagai sumber penghasilan berupa binatang buruan, tumbuhan obat, rotan hutan, tempat bermukimnya hama pengganggu (yang bila hutannya habis akan membinasakan tanaman masyarakat, misalnya belalang, babi, kera) dan penyedia udara bersih akan hilang.
  2. Kebun dan lahan pertanian sistem lokal akan hilang akibat digusur dan berganti dengan hamparan sawit, akibatnya masyarakat tidak dapat lagi menghasilkan beras sendiri dan tergantung dengan beras dari luar yang harganya tinggi. Selain beras juga akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh sumber hayati berupa sayuran, buah-buahan dan sumber nabati lainnya. Semuanya harus dibeli dengan harga tinggi.
  3. Masyarakat tidak akan mempunyai lahan lagi karena sudah diambil oleh perkebunan, dimasa datang tanah-tanah hanya akan dikuasi oleh segelintir orang berduit saja dan rakyat akan menjadi buruh selamanya sampai keanak-cucu.
  4. Limbah sawit sejak pembukaan lahan yang menyebabkan kekeruhan sungai-danau dan penutupan banyak anak sungai mengakibatkan terganggunya habitat kehidupan ikan sungai-danau. Penghasilan dari mencari ikan menjadi menurun bahkan hilang sama sekali karena tempat hidupnya rusak. Ditambah lagi apabila pabrik sawit telah berproduksi maka akan mengeluarkan limbah yang bagaimanapun juga pasti pada akhirnya akan mengalir ke sungai-danau dan menyebabkan gangguan pada air yang menjadi tempat hidup ikan dan sumber air minum dan MCK manusia.

Kalau mau membandingkan secara kasar saja perolehan penghasilan secara ekonomi antara bekerja sebagai buruh perkebunan sawit dalam artian menyerahkan lahan, hutan dan tanah untuk sawit dengan mempertahankan tahan, hutan dan lahan untuk dikelola dengan sistem lokal yang selama ini terbukti dapat bertahan terhadap badai krisis dan tidak terpengaruh dolar, maka dapat digambarkan secara sederhana seperti berikut ;

Menyerahkan Tanah Untuk Sawit :
  1. Hutan hancur, satwa pemangsa hama (belalang, tikus) hilang dan menyerang ladang, mencari kayu untuk rumah dan keperluan lainnya tidak bisa
  2. Tanaman yang ada mono-culture (seragam)
  3. Tanah menjadi milik perusahaan, anak cucu tidak punya warisan tempat mencari nafkah
  4. Terjadi konflik kepemilikan lahan akibat penggusuran oleh perusahaan
  5. Terjadi pencemaran akibat limbah pabrik
  6. Bekerja sebagai buruh upah

Mengelola Tanah Sendiri :
  1. Hutan masih lestari, satwa pemangsa hama seperti ular dan elang masih dapat memangsa tikus dan belalang, mencari kayu untuk keperluan rumah tangga mudah
  2. Tanaman yang ada beranekaragam
  3. Tanah masih menjadi milik sendiri, anak-cucu mempunyai harapan masa depan
  4. Pengelolaan lahan secara komunal dan sistem kekeluargaan
  5. Tidak ada pencemaran akibat limbah
  6. Bekerja sebagai pemilik usaha sendiri

Kemudian, jika mau berhitung perbandingan pendapatan antara menjadi buruh perkebunan sawit dan mengelola tanah sendiri untuk usaha, kira-kira dapat diperoleh hitungan berikut :

Menyerahkan Tanah Untuk Sawit :
  • Gaji sebagai buruh perkebunan dengan suami istri bekerja adalah Rp. 17.500,-/orang/hari 2. Dalam satu tahun pengasilan yang diperoleh adalah sebesar Rp.17.500,- X 2 orang X 365 hari = Rp.12.775.000,
  • Pengeluaran setiap bulan untuk menghidupi keluarga (membeli beras, membeli ikan, membeli sayur, sekolah anak, transportasi, hiburan dll) diperkirakan adalah sebesar Rp. 750.000,-. Total pengeluaran dalam setahun adalah Rp. 750.000,- X 12 = Rp. 9.000.000,-
  • Hasil bersih yang di dapat adalah Rp. 3.775.000,- dalam setahun bekerja penuh tanpa henti (365 hari)

Mengelola Tanah Sendiri :

  • Bertani padi lokal yang dikerjakan selama 8 bulan sejak membuka lahan sampai selesai panen. Sekali panen dapat mengasilkan padi sebanyak 2 koyan (1 kojan=1000 gantang) atau 4 ton padi. Harga jual padi adalah Rp. 4.000,-/gantang. Hasilnya sebesar Rp. 8.000.000,
  • Sementara menunggu, antara proses menugal sampai proses memagar ada masa selama 2 bulan yang dapat digunakan untuk bekerja mencari ikan atau mencari rotan dihutan atau bertukang dengan hasil sebesar Rp. 25.000,- sd. 30.000,-/hari (Rp.750.000,- sd. 900.000 sebulan).
  • Jeda waktu ini juga ada pada saat sesudah memagar dan sesudah panen sambil menunggu musim menabas selanjutnya. Total jeda ini adalah sebanyak 4 bulan. Perhitungannya 4 bulan X Rp. 750.000,- (sd. Rp. 900.000,-) = Rp. 3 juta sd. Rp.3,2 juta
  • Hasil keseluruhan adalah Rp. 8 juta + 3 juta = Rp. 11 juta.
  • Pengeluaran sebagai modal usaha tani dan sampingan Rp. 3 juta
  • Pengeluaran keluarga sekitar Rp. 300.000,- / bulan (sangat rendah karena sayur, ikan dan beras tidak membeli)
  • Hasil bersih setahun adalah Rp. 11.000.000,00 – Rp. 3.000.000,00 – (12 X Rp. 300.000,00) = Rp. 4.400.000,-
Dengan melihat tabel diatas, jelas kelihatan bahwa penghasilan dengan menjadi buruh pabrik sawit yang bergaji Rp. 17.500,-/hari dan bekerja berdua (suami isteri) ternyata dalam setahun hanya menghasilkan perolehan bersih sekitar Rp. 3.775.000,-. Berbeda dengan mengerjakan usaha-usaha sistem lokal (berladang, mencari ikan atau mencari rotan atau bertukang) hasil yang diperoleh dalam setahun adalah sebesar Rp. 4.400.000,-

Melihat perhitungan diatas sekarang kita tinggal memilih :
  1. Mempertahankan tanah-tanah hak adat dan hak milik dan dapat dimanfaatkan juga oleh generasi anak-cucu kita, atau ;
  2. Menyerahkannya kepada perusahaan perkebunan sawit dan kita akan kehilangan sumber usaha selamanya serta dihujat oleh generasi anak-cucu kita karena mereka tidak memiliki lagi tanah-tanah dan sumberdaya alam yang kita pinjam dari mereka.

MENANAM SAWIT MENUJU BENCANA

Rencana pembangunan 1 juta ha perkebunan besar swasta sawit yang diproyeksikan Gubernur Kalimantan Tengah akan menyerap 3 orang buruh untuk setiap 1 ha kebun sawit dipastikan akan menciptakan bangsa buruh untuk rakyat Kalimantan Tengah apabila hitung-hitungan tersebut betul.

Dengan perhitungan 3 orang setiap ha-nya, maka apabila dibangun 1 juta ha kebun sawit akan menciptakan 3 juta orang rakyat Kalimantan Tengah menjadi buruh, ini belum termasuk tenaga yang bekerja di luar tersebut, misalnya dibidang administrasi.

Fakta saat sekarang di Kalimantan Tengah telah dikeluarkan izin perkebunan sawit paling tidak seluas 817.000 ha lebih. Dengan angka ini maka bila mengacu pada pernyataan Gubernur dimana setiap ha kebun sawit akan menyerap 3 orang, maka akan terserap sebanyak 2.6 juta orang buruh. Sebuah angka yang mencengangkan. Dengan angka ini maka dipastikan saat sekarang saat sekarang tidak ada pengangguran di Kalimantan Tengah, sebab jumlah penduduk di Kalimantan Tengah hanya sekitar 1,9 juta jiwa, tetapi kenyataannya masih banyak angkatan kerja di Kalimantan Tengah yang menganggur ! Dengan demikian apa yang disampaikan dan diproyeksikan oleh Gubernur mengenai buruh ini hanyalah isapan jempol saja dan patut dipertanyakan kebenarannya.

Konsekuensi lain dari proyeksi angka yang disampaikan Gubernur berupa tenaga kerja sebanyak 3 juta orang akan terserap, maka akan terjadi migrasi besar-besaran penduduk dari luar daerah ke Kalimantan Tengah 1,1 juta orang (3 juta kebutuhan tenaga kerja – 1,9 juta penduduk Kalimantan Tengah; inipun sudah dihitung Gubernur berubah profesi menjadi buruh sawit). Apabila jumlah 1,1 juta tersebut tidak terpenuhi untuk migrasi ke Kalimantan Tengah untuk menjadi bangsa buruh, maka akan muncul 2 kemungkinan logis:

  1. Perkebunan swasta sawit tidak akan terkelola dengan baik dan tidak akan menghasilkan seperti yang diharapkan karena tidak tercukupinya tenaga kerja yang dibutuhkan (1 ha : 3 orang) serta kebun / rencana kebun akan ditinggalkan investornya sesudah kayu-kayunya dibabat.
  2. Bila pilihannya adalah menghidupkan terus perkebunan yang telah dan akan dikembangkan dengan menyediakan tenaga kerja lokal akibat tidak terpenuhinya migrasi penduduk luar Kalimantan Tengah untuk menjadi buruh, maka secara matematis seluruh penduduk Kalimantan Tengah harus menjadi buruh perkebunan sawit, termasuk semua pejabat, anggota DPRD dan Gubernur (bahkan juga masih belum mencukupi).
Ada beberapa hal penting lainnya yang juga harus dijadikan pertimbangan Pemerintah Daerah (Gubernur):

  1. Monopoli Penguasa Tanah dan Konflik Lahan; sesungguhnya Gubernur juga harus lebih banyak belajar bahwa selama ini tidak sedikit pembangunan dan pembukaan lahan untuk perkebunan sawit telah menimbulkan konflik lahan antara pengusaha dengan penduduk lokal. Pembangunan perkebunan sawit skala raksasa juga akan menimbulkan sistem monopolistik dalam penguasaan sumber-sumber agraria berupa tanah. Hal ini akibat ketidakadilan dan pemerataan penguasaan tanah dan lahan. Seseorang atau sekelompok orang yang berbaju pengusaha dapat menguasai lahan puluhan bahkan ratusan ribu ha, sementara rakyat lokal sama sekali tidak diakui hak kepemilikannya secara adat, hal ini bertentangan dengan amanat rakyat seperti termuat dalam TAP MPR. No. IX tahun 2001 tentang pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA.
  2. Pencemaran racun herbisida dan pestisida; dampak lain perkebunan sawit yang juga harus dipikirkan adalah pencemaran pestisida dan herbisida. Apabila perkebunan sawit memerlukan 5 liter herbisida atau pestisida setiap hektarnya, maka bila rencana pembangunan sawit 1 juta hektar dijalankan, paling tidak tanah Kalimantan Tengah akan disiram sebanyak 5 juta liter racun yang akan mengalir ke sungai-sungai di Kalimantan Tengah dan akan dikonsumsi penduduk.
  3. Monokulturisasi dan hama belalang; kebun sawit sesungguhnya tidak ditanam secara tumpang sari dan harus membabat secara total tanaman asal, dengan demikian akan terjadi monokulturisasi tumbuhan di areal yang sangat luas. Disamping itu juga akibat rusaknya habitat hidup binantang pemangsa semacam elang dan ular, maka tikus dan belalang kembara akan merajalela yang sampai saat sekarang belum dapat tertanggulangi dan sangat merugikan.
  4. Problem sosial dan kependudukan; dengan semangkin meningkatnya kebutuhan buruh baik lokal maupun migrasi maka jumlah penduduk akan semakin bertambah. Problem sosial juga akan meningkat, kriminalitas akan meningkat, kejahatan dan pelacuran akan bertambah banyak sebagai akibat pertambahan kaum buruh sawit.
  5. Pelarian modal kredit; berikutnya, harus juga dijadikan pelajaran berharga mengenai kasus pelarian modal kredit oleh pengusaha perkebunan sampai saat sekarang tidak jelas penyepelsaiannya (kasus PT. Surya Barokah), hendaknya Gubernur harus lebih banyak belajar mendengarkan dan mengapresiasi kondisi riil yang terjadi, bukan hanya mendengarkan laporan serba baik dari bawahannya.

Perkebunan Besar Swasta [PBS] Sawit Tidak Merusak Hutan ?



Omong kosong kalau pembukaan PBS Sawit tidak merusak hutan, baik kualitas kuantitas luasan kawasan hutan yang akan semakin menyempit. Isu utama dari persoalan hutan saat sekarang adalah semakin menyempitnya kawasan hutan. Bukti bahwa PBS Sawit merusak hutan dan akan memperparah kerusakan luasan kawasan hutan adalah :
  • Setiap PBS Sawit dipastikan sebelum melakukan pembukaan areal harus meminta Ijin Pelepasan Kawasan Hutan Untuk Usaha Budidaya Perkebunan kepada Menteri Kehutanan, artinya adalah bahwa areal yang akan dibuka berada dalam kawasan hutan. Terlepas dari areal tersebut masih hutan virgin atau bukan, tetapi tetap saja berakibat pada semakin berkurangnya luasan hutan dan bertambahnya kawasan rusak dan menjadi monokulture akibat sawit.
  • Setiap PBS Sawit juga hampir dapat dipastikan akan meminta Ijin Pemanfaatan Kayu-IPK [biasanya untuk memperhalus bahasa disebut dengan limbah], dengan demikian maka jelas bahwa ada kayu / log yang akan dibabat, kalau tidak kenapa harus meminta IPK ?
  • Jadi pendapat bahwa tidak merusaka hutan adalah pendapat keliru dan bohong besar saja. Sekarang buktikan saja kalau tidak membabat dan merusak hutan, dengan tidak meminta ijin pelepasan kawasan hutan untuk budidaya perkebunan, pasti tidak bisa.2. Kebohongan berikutnya adalah pembukaan sawit tidak pada satu hamparan seluas sejuta hektare yang dianggap sebagai langkah yang ramah lingkungan. Ini juga menyesatkan lagi. Dengan atau tidak satu hamparan perkebunan skala raksasa dipastikan akan menyebabkan dampak buruk bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat akibat pencemaran dan kerusakan tanah yang berasal dari penggunaan pupuk, pestisida dan herbisida serta limbah CPO yang jumlahnya jutaan ton, bahkan dengan penyebaran areal perkebunan, maka langkah untuk “menjinakan” dampaknya semakin sulit bahkan tidak terkendali.
PBS Sawit banyak yang modal dengkul ! PBS Sawit kalau tidak menjual kayu dari areal yang digarapnya untuk dijadikan modal membangun kebunnya, maka yang dilakukannya adalah memperdaya petani anggota Plasma atau KKPA Sawit dengan menggadaikan sertifikat tanah petani untuk dijadikan agunan di bank guna memperoleh kredit. Celakanya kredit ini sering di kemplang oleh pengusaha sehingga petani seumur hidup tidak akan pernah memperoleh sertifikat tanahnya. Ingat kasus PT. Surya Barokah.

Dialog dengan pengusaha sawit ? kami punya syarat ; 1) pengusaha yang mau berdialog adalah pengusaha yang “sehat” dan tidak modal dengkul sehingga dapat disebut layak dan patut untuk menjadi pengelola perkebunan sawit ; 2) Pengusaha sawit harus memasukan persoalan lingkungan dan sosial sebagai bagian dari cost dimana dalam perencanaan harus ada environment-cost dan social-cost, 3) Usaha perkebunans awit harus dirubah pola ownership / kepemilikan atas tanah yang akan dijadikan PBS. PBS Sawit tidak bisa seenaknya saja mencaplok tanah-tanah yang selama ini sudah dikuasai rakyat. Tanah-tanah rakyat harus dihargai sebagai alat produksi yang mempunyai nilai ekonomis yang harus disewa atau dimasukan sebagai saham pada perusahaan dan masyarakat merupakan bagian dari pemegang saham tersebut.

BURUK RUPA CERMIN DIPECAH


Awal : Problematika Kehutanan Indonesia

Nilai ekonomis hutan yang diperoleh melalui kayu kurang dari 10 persen dari nilai total keberadaan hutan. Lebih mengenaskan lagi, eksploitasi kayu itu dilakukan dengan menghancurkan nilai yang lain, seperti ketersediaan air, keanekaragaman hayati, dan potensi ekowisata. Pengelolaan hutan sangat bersifat sektoral dan terbukti tidak dapat mencegah kerusakan hutan. Kawasan hutan dikelola oleh Departemen Kehutanan, tetapi produk kehutanan dikelola menurut hitungan industri oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag).

Izin pengembangan industri perkayuan terus diterbitkan oleh Deperindag sehingga kapasitas industri perkayuan terus meningkat. Kapasitas terpasang industri perkayuan saat ini sekitar 60 juta meter kubik. Padahal, kemampuan produksi hutan berdasarkan konsep pengelolaan hutan lestari hanya 6,8 juta meter kubik. Angka jatah tebang resmi ini ditetapkan oleh Departemen Kehutanan. Di sini terlihat bentuk kebijakan antar departemen yang tidak sinkron.

Kesenjangan permintaan bahan baku industri dengan penyediaan kayu dipenuhi melalui penebangan liar. Menteri Kehutanan M Prakosa menegaskan, ketimpangan ini merupakan salah satu faktor pemicu penebangan liar dari sisi internal. Membiarkan industri kehutanan yang kelebihan kapasitas tumbuh dengan mengandalkan pemenuhan bahan baku melalui penebangan liar tak ubahnya membiarkan penyakit kanker terus berkembang. Kanker ini pada akhirnya akan mematikan industri itu sendiri dan merusak hutan yang masih tersisa.

Selain digunakan untuk memasok kelebihan permintaan bahan baku di dalam negeri, penebangan liar juga mengalirkan kayu ke negara-negara tetangga. Data dari International Tropical Timber Organization (ITTO) pada tahun 2000, misalnya, menunjukkan ekspor kayu bulat Indonesia ke Malaysia tercatat 578.390 meter kubik. Padahal, catatan ekspor resmi hanya tertulis 7.860 meter kubik.

Kerusakan kehutanan Indonesia juga tak lepas dari perkara korupsi. Suap pada pejabat dan aparat keamanan sering mengakibatkan penebangan liar berjalan aman. Ketika dilakukan razia, surat keterangan dapat saja didatangkan meskipun kayu ditebang secara ilegal. Penebangan kayu secara liar dan peredaran kayu ilegal saat ini mencapai 50,7 juta meter kubik per tahun dengan kerugian negara mencapai Rap. 30,42 triliun per tahun dengan luas hutan yang rusak atau tidak berfungsi secara maksimal, mencapai 43 juta hektare dan laju kerusakan hutan 4 tahun terakhir mencapai 2,1 juta per tahun [B.Post 30/5/04].

Dari ketimpangan suplai bahan baku industri, dapat diperkirakan 80 persen penebangan kayu di Indonesia dilakukan secara ilegal. Artinya, pemerintah dan 200 juta rakyat Indonesia hanya mencicipi devisa dari 20 persen penebangan yang dilakukan dengan sah, sementara 80 persen lagi keuntungan penebangan beredar pada para cukong dan orang-orang tertentu. Dengan menggunakan akal sehat, sulit ditemukan keuntungan melanjutkan penebangan hutan untuk mempertahankan porsi 20 persen dan kehilangan 80 persen nilai ekonomi selebihnya. Belum lagi penghancuran hutan dan bencana alam yang akan terus memakan korban dan biaya sosial yang tinggi.

Walaupun demikian buruknya pengelolaan hutan yang dijalankan pemerintahan selama orde baru dan orde setelahnya, tetapi bukan berarti bahwa hutan harus dihabiskan saja dan dikonversi untuk kebutuhan lainnya. Pilihan yang paling tepat adalah mengusahakan agar hutan tetap dapat menjamin fungsi-fungsi yang diembannya. Apabila dengan melihat kondisi hutan yang telah demikian memprihatinkan lantas memunculkan pikiran untuk mengalih fungsikan hutan untuk dikonversi bagi pertambangan atau perkebunan atau penggunaan lainnya yang nilainya jauh lebih rendah daripada melestarikan fungsi hutan, maka ibarat pepatah “ buruk rupa cermin dipecah”. Tidak becus mengalola hutan, hutan tersebut malah lebih dihancurkan.

Buruk rupa cermin dipecah ini sudah mulai terlihat dari berbagai rencana konversi hutan dalam skala yang luar biasa luasnya, misalnya proyek pengembangan perkebunan sawit jutaan hektare yang akan dikembangkan hampir diseluruh wilayah di Kalimantan, salah satunya di Kalimantan Tengah.

Data yang ada sampai sekarang menunjukan bahwa sudah lebih dari 2,5 juta ha lahan dan hutan mengajukankan ijinnya untuk perkebunan sawit [Pernyatan Kepala BPN kalteng pada harian Palangkapos, 14 Mei 2004]. Ijin tersebut diberikan kepada 203 perusahaan. Dari 2,5 juta hekatere yang dimohonkan ijinnya tersebut, 841.459 ha telah diberikan ijin. Akan tetapi baru 171.846 ha yang dibuka [21 %] dan hanya 151.947 ribu ha yang ditanami [ 18 %]. Selebihnya diperkirakan sudah dibabat kayunya, tetapi pengembangan kebun tidak dilanjutkan dan calon pengelolanya melarikan diri dengan mengembat hasil dari ijin pemanfaatan kayu di arealnya.

Biaya Murah Lingkungan dan Sosial

Tidak dapat dipungkiri bahwa peran industri perkebunan kelapa sawit bagi perekonomian Indonesia sangat strategis, dan para PENGUSAHANYA mendapatkan keuntungan besar. Disamping itu, industri perkebunan kelapa sawit mampu menciptakan lapangan kerja baru, sementara permintaan dunia terhadap minyak nabati dan berbagai produk turunan yang berasal dari minyak kelapa sawit semakin meningkat.

Namun demikian, apakah arti semuanya itu bila kehidupan kita terancam akibat semakin rusaknya hutan alam dan menyebarnya pencemaran ? Apakah berbagai kerugian yang terjadi (biaya lingkungan dan biaya sosial yang timbul) dapat dibayar dengan keuntungan yang diperoleh?

Biaya-biaya lingkungan dan sosial kebanyakan dalam industri dan perkebunan kelapa sawit tidak dimasukan dalam komponen biaya dan rencana investasi, padahal sesungguhnya harus turut diperhitungkan dalam analisis investasi perkebunan kelapa sawit. Namun demikian, perusahaan perkebunan swasta tidak pernah memasukan biaya lingkungan dan biaya sosial ini dalam Analisis finansial proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit. Hal ini terjadi karena biaya-biaya lingkungan dan sosial yang timbul tidak ditanggung (dibayar) oleh perusahaan perkebunan.

Biaya yang terjadi sebagai akibat munculnya konflik sosial berkepanjangan antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat baru kemudian harus dibayar dengan mahal oleh perusahaan setelah kegiatan bisnis perkebunan kelapa sawit berjalan. Sementara itu, masyarakat (khususnya masyarakat setempat) yang mengalami dampak negatif dari keberadaan proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit, merupakan pihak yang menanggung biaya sosial dan biaya lingkungan yang terjadi sejak awal dimulainya proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit.

Semua biaya lingkungan dan biaya sosial yang terjadi sesungguhnya menjadi biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat/negara Indonesia, bahkan turut ditanggung oleh masyarakat internasional. Oleh karena itu, para pembuat kebijakan dan khususnya para pengambil keputusan di pemerintahan dalam mengevaluasi (menilai) analisis biaya dan manfaat proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit harus turut memperhitungkan berbagai biaya lingkungan dan biaya sosial yang terjadi.

Pemusnahan Hutan Trofis

Pengembangan areal perkebunan kelapa sawit ternyata menyebabkan meningkatnya ancaman kemusnahan keberadaan hutan alam tropis. Hal ini terjadi karena pengembangan areal perkebunan kelapa sawit utamanya dibangun pada areal hutan.

Para investor lebih suka untuk membangun perkebunan kelapa sawit pada kawasan hutan konversi karena mereka mendapatkan keuntungan besar berupa kayu dari IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu) dari areal hutan alam yang dikonversi menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Praktek yang sering terjadi di lapangan, motivasi pengusaha utamanya untuk mendapatkan keuntungan besar dan cepat dari kayu IPK, setelah kayu IPK didapat areal perkebunan ditelantarkan, sehingga berubah menjadi semak belukar dan/atau lahan kritis baru (Kompas, 19 Mei 2000; Media Indonesia 11 Agustus 2000).

Dengan demikian, kegiatan konversi hutan untuk pembangunan areal perkebunan kelapa sawit telah menjadi salah satu sumber pengrusakan (deforestasi) hutan alam, dan sekaligus menjadi ancaman terhadap hilangnya kekayaan keanekaragaman hayati yang terdapat dalam ekosistem hutan hujan tropis Indonesia, serta menyebabkan berkurang/hilangnya habitat satwa liar. Laju deforestasi hutan Indonesia pada periode tahun 1985-1998 tidak kurang dari 1,6 juta hektar per tahun (Dephutbun, 2000)

Dampak negatif terhadap lingkungan menjadi bertambah serius karena dalam prakteknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada kawasan hutan konversi, melainkan juga dibangun pada kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan bahkan di kawasan konservasi yang memiliki ekosistem yang unik dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi.

Selain itu, praktek konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit ternyata seringkali menjadi penyebab utama bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Hal ini terjadi karena dalam kegiatan pembukaan lahan (land clearing) untuk membangun perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan cara membakar agar cepat dan biayanya murah.

Sebagai akibat pembukaan hutan menjadi perkebunan sawit, ekosistem hutan hujan tropis diubah menjadi areal tanaman monokultur, muncul serangan hama [belalang kembara] dan penyakit, perubahan aliran air permukaan tanah, meningkatnya erosi tanah, dan pencemaran lingkungan akibat pemakaian pupuk dan pestisida dalam jumlah yang banyak, serta berbagai dampak negatif lainnya terhadap eco-function yang dapat dihasilkan oleh ekosistem hutan alam tropis.

Pencaplokan Tanah Rakyat

Permasalahan lainnya, pembangunan areal perkebunan kelapa sawit skala besar juga telah menyebabkan dipindahkannya masyarakat lokal yang tinggal dan/atau berada di dalam wilayah pengembangan perkebunan kelapa sawit tersebut. Ganti rugi tanah pada areal pengembangan kelapa sawit seringkali menimbulkan permasalahan karena tidak dibayar dengan harga yang ‘adil’ dan ‘pantas’.

Disamping itu, sering terjadi penyerobotan (pencaplokan) lahan masyarakat adat oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit, padahal di atas tanah tersebut masih terdapat tanaman pertanian dan tanaman perkebunan masyarakat. Tindakan penyerobotan tanah masyarakat adat ini dilakukan baik secara halus maupun dengan cara paksaan, misalnya dengan cara pembakaran lahan yang telah diorganisir dengan baik oleh pihak perusahaan (Potter dan Lee, 1998b).

Sebagai akibatnya, seringkali timbul permasalahan klaim lahan oleh masyarakat setempat terhadap areal perkebunan kelapa sawit yang sedang/telah dibangun. Berbagai permasalahan ini telah menyulut permasalahan konflik sosial yang berkepanjangan dan sangat merugikan semua pihak -- terutama bagi masyarakat yang mengalami dampak negatif akibat pembangunan perkebunan kelapa sawit -- sehingga biaya sosial yang harus dibayar menjadi sangat tinggi. Konflik sosial yang terjadi akhirnya menjadi sumber resiko dan ketidakpastian bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam melakukan bisnis usahanya secara berkelanjutan

Bahaya Pencemaran dan Ketergantungan Tanah pada Pupuk

Kalimantan Tengah dipastikan akan dicemari sebanyak 4,1 milyar kg atau 4,1 juta ton pupuk apabila pembukaan perkebunan kelapa sawit 1 juta hektare jadi dilaksanakan
Pencemaran akibat pupuk tersebut akan berjalan selama 25 tahun yang rata-rata pertahunnya adalah sebanyak 167 juta kg

Perhitungan tersebut berdasarkan pada analisis dampak lingkungan sebuah perusahaan perkebunan sawit yang datanya kebetulan dapat diakses. Menurut data tersebut akan ada 5 jenis pupuk yang harus digunakan sepanjang umur sawit selama 25 tahun, yaitu Urea, TSP, MOP, Kies dan BO. Setiap tahun sawit membutuhkan Urea sedikitnya 44,88 kg/ha 35,36 kg/ha TSP, 53,04 kg/ha MOP, 33,2 ha Kies dan ,51 kg/ha untuk BO

Land Ownership dan Keadilan Alat Produksi

Menurut catatan-catatan yang dibuat oleh jaringan Sawit Watch Indonesia – sebuah jaringan advokasi untuk perkebunan sawit skala raksasa - yang berkedudukan di Bogor, sekitar 80 % persoalan yang melingkupi perkebunan sawit adalah masalah konflik lahan yang diakibatkan oleh ketidak adilan penguasaan kepemilikan tanah dan lahan.

Sebuah perusahaan perkebunan diperkirakan hanya akan efektif dan efisien serta dapat mencapai keuntungan ekonomis dalam usahanya apabila memiliki kebun dengan luasan paling tidak 6 ribu sampai 7 ribu hectare, dibawah ini perkebunan sawit tidak akan dapat memenuhi keuntungan optimal selama satu periode tanam sawit [sekitar 25 tahun]. Oleh karenanya, bagaimanapun juga sebuah PBS Sawit akan selalu berusaha untuk memperoleh konsesi seluas itu atau bahkan lebih.

Seperti telah disampaikan pada bagian terdahulu diatas, bahwa untuk memperoleh lahan tanah seluas kebutuhan PBS tersebut dilakukan dengan berbagai cara dari yang halus dengan tipu daya sampai menggunakan aparat keamanan dengan kekerasan untuk menguasai tanah-tanah rakyat dan masyarakat adat.

Pencaplokan dan penguasaan lahan-lahan dan tanah-tanah rakyat ini terjadi akibat tidak adanya pengakuan dan pengukuhan atas tanah-tanah rakyat yang dikelola dan dikuasai rakyat dan masyarakat adat dengan sistem kepemilikan yang telah di praktikan mereka secara arif dan adil. Masyarakat dalam hal ini kemudian tidak mempunyai “jaminan kemanan” atas tanah-tanahnya yang telah dikelola turun temurun sejak leluhur mereka dan akan terus dikelola seterusnya untuk anak-dan cucu dimasa depan.

“Jaminan keamanan” yang sesungguhnya sangat dibutuhkan masyarakat sampai saat ini sangat sulit dan hampir tidak mungkin diperoleh oleh rakyat akibat ketidak-berpihakan pengelola pemerintahan terhadap rakyat. Hal ini juga dikondisikan agar kaum pemodal dapat dengan mudah mengambil dan mencaplok tanah-tanah rakyat dengan jaminan dari pemerintah. Sementara bagi masyarakat lokal, untuk hanya mendapatkan pengakuan atas otentisitas dan hak kepemilikan dan hak kelolanya pemerintah sangat enggan untuk memenuhinya, bahkan memfasilitasi proses menuju “keamanan tanah” masyarakat saja sangat sulit.

Kalau dilihat dari aspek ekonomi, sesungguhnya tanah adalah alat produksi dan merupakan bagian dari modal. Oleh karena itu, bagaimanapun juga alat produksi rakyat harus diberikan jaminan keamanan, sehingga ada jaminan atas penguasaan dan kepemilikan [ownership] masyarakat atas tanah. Pemerataan ekonomi akan dapat dicapai dengan mengembangkan ekonomi kerakyatan harus tegas memberikan proteksi atas alat produksi rakyat, sehingga rakyat tidak kehilangan permanen atas alat produksinya [berupa tanah] yang mengakibatkan masyarakat akan menjadi kaum landless [kaum yang tidak memiliki tanah dan hanya menjadi buruh penggarap]

Buruh dan pengupahan

Harapan penghidupan yang lebih layak bagi pekerja [buruh] perkebunan sawit, sebaiknya untuk sementara harus dipendam dahulu. Dari hasil survey langsung dengan buruh perkebunan sawit di Kabupaten Seruyan diketahui bahwa upah buruh sawit hanya berkisar antara Rp. 12.500 – Rp. 17.500 per hari. Upah tersebut diperoleh dengan bekerja selama 8 jam efektif sejak jam 7 pagi sampai jam 3 sore. Artinya juga masih ada waktu persiapan berupa perjalanan dari rumah menuju perkebunan sebelum jam 7 pagi dan waktu pulang sesudah selesainya jam kerja pada jam 3 sore.

Dengan demikian sesungguhnya waktu yang tersita untuk bekerja di kebun selama sehari hampir 10 jam jika ditambah dengan waktu persiapan dan kepulangan. Bila melihat durasi waktu ini, maka bagi buruh perkebunan hampir tidak dapat lagi melakukan aktivitas kerja tambahan lainnya untuk menambah penghasilan dan menunjang kehidupan keluarga.

Pengembangan karier bagi buruh dan pegawai perkebunan juga sangat minim karena posisi-posisi pada struktur perusahaan perkebunan sangat sederhana dan dibuat se-efektif dan se-efisien mungkin, sebagai konsekwensi dari modal yang lambat pergulirannya. Akibatnya posisi pegawai dan pengembangan karier berjalan sangat lambat kalaupun tidak dikatakan akan stagnan saja.

Buruh sawit sangat ketergantungan dengan perusahaan. Hidup mati buruh sangat tergantung dengan “kesehatan” perusahaan yang mempekerjakannya. Apabila manajemen perusahaan berjalan dengan baik maka buruh akan dapat terus bekerja, tetapi apabila terjadi guncangan pada manajemen perusahaan buruh akan mengalami krisis yang sangat tajam. Bahkan tidak tertutup kemungkinan akan terjadi PHK besar-besaran yang tidak dapat memenuhi hak-hak buruh [misalnya pesangaon] karena keguncangan keuangan perusahaan. Jika demikian maka biaya sosial yang akan ditimbulkannya juga akan ditanggung sebagai beban pemerintah dan seluruh rakyat.

Pendapat Gubernur Kalimantan Tengah yang dilansir media massa pada bulan Mei 2004 yang menyebutkan bahwa perbandingan serapan buruh dengan luas perkebunan adalah 1 : 3, dimana setiap 1 hektare kebun sawit membutuhkan dan akan mempekerjakan 3 orang buruh [belum termasuk tenaga administrasi] sesungguhnya sangat tidak beralasan. Tidak ada perusahaan perkebunan yang mampu mengelola kebun dengan rasio buruh demikian karena cost untuk buruh terlalu tinggi dan manajemen perusahaan akan “babak-belur”.

Dari beberapa dokumen yang dimiliki oleh perusahaan perkebunan yang sudah operasional, rasio buruh dan luasan lahan maksimal adalah 5 : 1, artinya setiap 5 hektare lahan dibutuhkan buruh sebanyak satu orang. Dan kebutuhan minimal lahan untuk setiap perkebunan agar dapat mencapai benefit diperhitungkan minimal sekitar 6000 hektare. Jadi jumlah buruh sekitar 1.200 orang.

Namun demikian, dalam jangka panjang persoalan perburuhan akan muncul dimana anak-anak buruh pada saatnya antara 15 – 20 tahun kedepan akan menjadi beban publik karena tidak mungkin ada ekspansi kebun bahkan semakin lama, jumlah buruh semakin harus dikurangi oleh perusahaan akibat perkembangan tehnologi. Sementara jumlah keluarga buruh semakin banyak dan lapangan kerja semakin terbatas. Ini harus dipikirkan secara serius. Penempatan buruh pada saat ini, dalam jangka pendek memang akan memberikan produktivitas dan gairah perputaran ekonomi domestik, tetapi dalam jangka panjang dan skala yang lebih luas akan meningkatkan beban pemerintah dan beban publik untuk memberikan “subsidi” kepada keluarga buruh karena minimnya penghasilan atau besarnya jumlah keluarga dan sempitnya lapangan pekerjaan lain atau masa non-produktif dari keluarga buruh tersebut.

Di Malaysia sesungguhnya isu perburuhan menjadi isu serius. Jumlah buruh asli Malaysia cukup banyak ditambah lagi dengan anak keturunannya. Tetapi kenapa mereka masih mendatangkan buruh dari Indonesia bahkan secara illegal ? Jawabannya adalah. Kerajaan, Malaysia memberikan jaminan hak buruh yang jelas kepada warga negaranya untuk mendapatkan upah minimun setiap bulannya. Upah minimun ini harus diberikan oleh manajemen secara penuh kepada buruh, bahkan jika buruh tersebut tidak dapat bekerja karena berhalangan tetap [misalnya sakit atau alat transportasi atau pabrik tidak dapat bekerja]. Berbeda dengan buruh dari Indonesia yang bekerja di Malaysia, mereka tidak mendapatkan perlindungan hukum seperti warga negaranya sendiri, oleh karenanya manajemen perkebunan sawit Malaysia senang mempekerjakan buruh dari Indonesia atau membuka perkebunan di Indonesia.

Ironisnya di Indonesia hak-hak buruh tidak dengan tegas dilindungi oleh undang-undang. Buruh lebih banyak yang menjadi sapi perahan dari perusahaan, bahkan perusahaan asing. Akibatnya buruh Indonesia baik yang bekerja di luar negeri ataupun di negeri sendiri tetap menjadi sapi perah pemodal kapitalis [bahkan pemodalnya orang asing]

Kesesuaian dan kesuburan lahan

Menurut berbagai sumber kajian mengenai tanah, status kesuburan tanah di Kalimantan Tengah termasuk dalam tanah kelas 4. Dengan status kelas 4 ini tentu saja perkebunan tidak akan memperoleh hasil yang optimal, padahal untuk mencapai keuntungan dibutuhkan hasil panen yang baik yang hanya dapat dihasilkan dari perkebunan di tanah-tanah kelas 2 atau kelas 3 seperti di Jawa dan Sumatera.

Jawaban praktis dari rendahnya kesuburan tanah Kalimantan Tengah tidak lain dan tidak bukan adalah menyediakan pertilizer [pupuk] yang memadai dan terus menerus selama periode tanam sampai tanaman sawit tidak produktif lagi [sekitar 25 tahun]. Tidak salah juga pilihan pengusaha perkebunan pada saat pembukaan lahan dengan menggunakan sistem bakar [burning], karena disamping untuk menghemat biaya sampai 1/6 dari sistem konvensiaonal, juga untuk meningkatkan kesuburan tanah pada saat bibit ditanam dengan maksud mengurangi beban biaya untuk pupuk. [untuk mengetahui kebutuhan pupuk sawit lihat tabel]

Penutup

Penulis sengaja dalam tulisan ini tidak menyampaikan kesimpulan dan atau rekomendasi, karena tujuannya adalah sebagai input awal dan harus dibicarakan lebih jauh lagi untuk tersusunya position paper bagi advokasi dan perlawanan rencana perkebunan sawit jutaan hectare di Kalimantan Tengah.

Semoga tulisan ini berguna, yang jelas tulisan ini masih “blepotan” terutama sistematika dan redaksional.

Palangkaraya, 27 Juni 2004

nordin

Seminar Sawit...Aku Be-Te

hari ini tanggal 18 mei 2006 ada seminar sawit di univ. palangkaraya yang diselenggarakan oleh fakultas pertanian univ. palangkaraya.

sponsornya jelas aja si GAPKI yang dipimpin oleh Teguh Patriawan dari PT. Bina Sawit Abadi Pratama [Sinar MAs Group]. Pembicara ada Faizal Basri, Rudy Lumuru, Purwo, Teras Narang dan entah siapa lagi........ auk ah gelap...

tengah hari belum selesai tanya jawab, hanya baru selesainya Andreas Udang bertanya aku pulang, ..be-te.....ngantuk juga
sekalian mau nyelesaian administrasi rencana sinergy meeting besok dan lusa,,,,

eh tadi mamah rhere nelpon...tanya aku balik apa nggak, pasti dia dah sediakan aku makan siang. Kasihan sdh 2 hariini masakannya tdk sempat aku makan....hehehe padahal enak lho masakannya.

Oya,,,,td di aula rahan unpar, wawancara dengan TVRI Kalteng, kameramen si Boy [temen juga] dan pewawancaranya si Esti...[idola kawan2 pers ...kekekekekek] mantap man...

Sumberdaya Alam dan Mesin Duit Politik

Sumberdaya Alam dan Mesin Duit Politik
Oleh : Nordin *)

Empat tahun sudah reformasi bergulir di tanah Republik yang bernama Indonesia ini. Sebuah perjuangan panjang dan melelahkan untuk menumbangkan rezim otoriter Orde Baru yang mencengkeram rakyat dan pemeras sumberdaya alam yang melalaikan begitu jauh pengelolaan lingkungan hidup yang baik dan berorientasi berkalunjutan untuk kesejahteraan rakyatnya.

Harapan yang melambung tinggi pada masa awal era-reformasi ke arah membaiknya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, bagi akses masyarakat dalam turut menjadi penentu dan pemeran utama pembangunan, ternyata semakin hari semakin menjadi kabur dan semakin menjauh.

Janji-janji muluk yang diberikan oleh penyelenggara negara dan kelompok yang menamakan dirinya wakil rakyat tidak jauh berbeda dengan para pendahulunya, habis manis sepah dibuang, habis pemilu rakyat dilupakan. Penyelenggara negara semakin asyik dengan kepentingannnya sendiri. Ironisnya saat sekarang bernaung dibawah bendera reformasi yang “bergambar” rakyat. Semuanya “demi rakyat”.

Pepatah mengatakan, hanya keledai yang jatuh ke lobang dua kali, ternyata tidak membuat penentu kebijakan belajar untuk tidak mengulangi kesalahan masa silam yang dengan nyata didepan mata yang telah membuat bumi Isen Mulang – Kalimantan Tengah hancur lebur dan menjadi sangat terkenal, misalnya karena kasus kehancuran lingkungannya akibat pembukaan lahan gambut sejuta hektare dan kebakaran hutan yang menjadi skandal internasioanl yang sangat memalukan.

Dalam cermatan penulis, selama tahun 2002 saja, paling tidak ada beberapa isu lingkungan yang fenomental yang sangat mempengeruhi kondisi alam dalam tataran lokal maupun regional bahkan internasional. Persoalan-persoalan tersebut ada yang berupa pengulangan dan ada juga yang merupakan langkah kecerobohan baru akibat tidak mau belajar dari pengalaman. Tentu saja alasannya lebih di dominasi persoalan “fulus”.

Kebakaran Hutan

Pelajaran berharga terjadinya kebakaran hutan yang telah terjadi hampir setiap tahun tidak membuat isu kebakaran hutan semakin surut di tahun 2002. Tidak kurang dari ribuan hektare lahan atau hutan terbakar yang nilai kerugiannya sampai saat sekarang belum bisa di kalkulasikan dengan pasti.

Kebakaran hutan yang terus terjadi dan sangat luar biasa terjadi lagi pada tahun 2002. Sebetulnya fenomena kebakaran hutan ini merupakan akumulasi kesalahan pengelolaan hutan yang telah terjadi paling tidak selama 30 tahun. Sistem penguasaan hutan yang tidak memperhatikan aspek tenurial dimana tidak ada ruang bagi akses masyarakat adat dalam pengelolaan hutan menyebakan munculnya sikap skeptis dan acuh segenap komponen yang terlibat dalam pengelolaan hutan. Tujuannya semata-mata adalah aspek ekonomi instan, dimana hutan dipandang sebagai kayu yang merupakan sumber uang. Akibatnya kepedulian untuk menyelematkan hutan alam yang tersisa menjadi sangat minim.

Dalam kondisi kebakaran yang sudah sangat parah dan tidak mungkin ditanggulangi lagi (berlangsung hampir 4 bulan) ironisnya pemerintah cenderung menyalahnkan masyarakat yang disebutkan sebagai pemilik lahan. Termasuk juga lahan-lahan yang berada dalam kawasan PLG, misalnya, dengan sangat nyata pemerintah tidak pernah mengakui status kempemilikan rakyat atas kawasan tersebut. Tetapi ketika terjadi kebakaran hutan dengan serta merta disebutkan sebagai lahan masyarakat. Sungguh suatu sikap abivalens pemerintah yang sangat menyedihkan. Dengan sangat nyata hal tersebut menunjukan bahwa pemerintah tidak mau bertanggungjawab atas kebakaran hutan yang terjadi.

Sekarang, saat dimana hujan sudah mengguyur hampir keseluruhan bumi Isen Mulang-Kalteng, ternyata isu kebakaran hutan pun turut tenggelam sejalan dengan datangnya air bah keberbagai penjuru. Akankah kita menghirup asap lagi tahun depan ? tentu saja, YA. Apabila memang betul kita lebih dungu daripada keledai.

Tambang dan Alih Fungsi Hutan Lindung untuk Tambang

Lubang-lubang besar bagaikan sisa terpaan meteor raksasa yang menerpa bumi dapat kita saksikan di bekas lokasi tambang emas modern PT. Indo Muro Kencana. Tidak tanggung-tanggung, kedalamannya mencapai 100 meter lebih dan lebarnya hampir mencapai 1 km. Entah sudah berapa banyak bijih emas yang disedot untuk kepentingan kapitalis Aurora Gold – Australia tersebut.

Tahun 2002 PT. IMK menyatakan akan menutup tambangnya karena sudah tidak ekonomis lagi untuk di eksploitasi. Mau tidak mau pemerintah harus menyetujuinya. Sayangnya penutupan tambang (mine-closure) bekas tambang ini meninggalkan berbagai masalah, dimana tailing-dam sisa pembuangan bijih tambang masih menyisakan potensi bahaya, demikian juga dengan bekas lubang galian raksasa tambang yang tidak direklamasi dengan lasan tidak termaktub dalam perjanjian Kontrak Karya pertambangan antara PT. IMK/Aourora Gold dengan pemerintah RI.
PT. IMK/Aourora Gold dengan mudah berlalu meninggalkan potensi ancaman bahaya, tetapi masyarakat disekitar bekas lokasi tambang yang selalau akan hidup dalam ancaman.

Lain PT. IMK, lain lagi PT. Ampalit Mas Perdana, perusahaan ini juga telah pergi meninggalkan tanah gersang di Desa Kereng Pangi dan sekitarnya, hutan menjadi tandus dan vegetasi permukan meranggas tak bisa tumbuh, tetapi apa yang terjadi. Kita diam saja dan tidak mau belajar dari (paling tidak) 2 kasus tambang ini.

Pelajaran berharga dari perilaku 2 konsesi tambang terdahulu di Kalteng, tidak membuat kebijakan lebih berhati-hati untuk mengambil keputusan pertambangan. Tidak tanggung-tanggung, tahun 2002 ini telah dimulai rencana pembukaan tambang untuk batu bara oleh PT. Maruwei Coal di Murung Raya yang akan membabat hutan lindung.

Pada bagian tertentu pemerintah belum mampu menanggulangi degradasi lingkungan dan deforestasi, tetapi justru hutan lindung yang hanya tinggal sedikitpun telah di ancam untuk di alih fungsikan. Padalah semua tahu bahwa saat ini hutan sudah dalam kondisi kritis termasuk juga hutan konservasi.

Pengelolaan Dana Reboisasi

Kondisi kritis hutan di Indonesia, termasuk di Kalteng telah memunculkan berbagai cercaan dan tekanan dunia internasional. Salah satu solusi yang di jalankan oleh pemerintah adalah mengeluarkan kebijakan pengalokasian dana khusus untuk reboisasi (DAK-DR) lahan dan hutan kritis. Tahun 2002, Kalimantan Tengah mendapatkan DAK-DR sebesar Rp. 175 milyard lebih.

Reboisasi yang sebetulnya harus dilakukan pada lahan dan hutan kritis, ternyata banyak yang tidak mencapai sasaran, bahkan baru-hanya dengan perhitungan penggunaan dana DAK-DR saja, reealisasinya masih sangat jauh dari harapan, yaitu baru sekitar 20 % atau sekitar 35 milyar. Belum lagi apabila indikator yang digunakan adalah realisasi tanam dan tumbuh dan luasan lahan yang dapat di reboisasi, tentu saja semakin jauh dari harapan.

Aparat pelaksana masih sangat jauh dari siap, dalam artian siap untuk mengelola dana tersebut secara benar dan siap dengan program yang betul-betul tepat sasaran, tepat waktu dan tepat hasil. Tentu saja lebih jauh lagi kalau bicara soal transparansi dan partisipasi rakyat dalam pengelolaan (perencanaan, pengerjaan, pengawasan dan kontrol). Tidak salah kalau dikatakan bahwa telah terjadi gegar dan kaget ketika melihat tumpukan pundi duit. Lantas berpikir bagaimana caranya agar dapat juga “roti manis” DAK-DR.

Masa Depan Sumberdaya Alam Kalteng

Kalau ada pihak yang begitu besar harapannya dimasa depan akan terjadi kemajuan dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam yang transparan, partisipatif dan mengakui hak-hak tenurial masyarakat adat, maka sebaiknya harapan itu “dikerangkeng” dahulu. Bagaimanapun juga, paling tidak, tahun 2003 dan 2004 adalah tahun yang menetukan dalam melakukan konsolidasi geo-politik dan pemantapan peta politik lokal dan nasional.

Harapan kepada penyelenggara pemerintahan untuk lebih serius dalam mengelola lingkungan dan sumberdaya alam yang berpihak kepada rakyat dan lingkungan akan tenggelam oleh agenda dan kepentingan politik yang lebih mengemuka, yaitu perolehan suara dalam pemilu.

Lembaga politik, seperti yang telah disampaikan dibagian terdahulu, dalam tahun 2003 lebih akan mengutamakan konsolidasi menyongsong perang puputan dalam pemilu 2004. Sumberdaya alam tetap akan menjadi andalan untuk menghasilkan dana politik. Akibatnya adalah akan terjadi eksploitasi besar-besaran untuk mengasilkan dana politik yang dilakukan dengan konspirasi bersama investasi, walau investasi brutal sekalipun.

*) Aktivis Ornop di Kalteng
“Ijin Sawit di Kawasan Hutan adalah Bom Waktu”
________________________________________

Komitmen yang disampaikan petinggi pemerintahan daerah Kalimantan Tengah Gubernur Asmawi Agani untuk membangun dan memberikan ijin perkebunan sawit di luar kawasan hutan ternyata hanya isapan jempol belaka. Bukti inkonsistensi komitmen ini nyata terlihat dari dikeluarkannya surat no 525.26/830/EK persetujuan prinsip perubahan status kawasan dimana Gubernur Propinsi Kalimantan Tengah menyetujui perubahan fungsi kawasan dari Hutan Produksi [HP] menjadi Kawasan Pengembangan Produksi [KPP] untuk pembukaan kebun kelapa sawit oleh PT. Graha Indosawit Andal Tunggal [GIAT], PT. Kharisma Unggul Centratama Cemerlang [KUCC] dan PT. Borneo Eka Sawit Tangguh [BEST].

Yang lebih miris, ternyata kawasan yang diberikan ijin tersebut, menurut Kepala Balai Penetapan Kawasan Hutan Wilayah V - Banjar Baru [Wardoyo, NIP. 080026802] melalui suratnya No. S.623/VII-BPKH/V-3/2004 tanggal 21 Juli 2004 Perihal Tumpang Tindih Penggunaan Kawasan TNTP dengan Perkebunan telah terjadi tumpang tindih antara lahan yang diberikan untuk perkebunan sawit PT. KUCC, PT. BEST dan PT. GIAT dengan kawasan hutan lindung TNTP.

Dengan demikian maka dipastikan terjadi upaya alih fungsi hutan yang melangar UU Kehutanan No. 41/99 dan Perda RTRWP Kalteng No. 8/2003 yang melarang pemberian ijin perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan, baik hutan produksi apalagi hutan lindung.

Upaya alih fungsi ini disinyalir sangat kental dengan nuasa korupsi melalui praktik jual-beli ijin perkebunan secara tidak sah [pungutan bawah tangan] oleh pejabat-pejabat daerah. Untuk hal tersebut, maka sepantasnya Gubernur Propinsi Kalimantan Tengah untuk MENCABUT Surat No 525.26/830/EK tentang persetujuan prinsip pembukaan kebun kelapa sawit di dalam kawasan hutan bagi PT. Graha Indosawit Andal Tunggal [GIAT], PT. Kharisma Unggul Centratama Cemerlang [KUCC] dan PT. Borneo Eka Sawit Tangguh [BEST].

“Pemberian Ijin perkebunan sawit di kawasan hutan, apabila tidak segera dicabut akan menjadi bom waktu bagi lingkungan dan sumber-sumber kehidupan rakyat”
…..Hmm…. Karbon Trading [?]
oleh : Nordin*)

Saat sekarang kondisi emisi karbon atau Gas Rumah Kaca di dunia sudah sangat membahayakan bagi pengikisan lapisan ozon yang merupakan selimut pelindung bumi dari sinar ultra violet dan infra red matahari. Bahaya akibat menipisnya ini adalah penyakit-penyakit semacam kanker kulit dan yang lebih berbahaya lagi adalah terjadinya pemanasan global yang menyebabkan melelehnya es-es di bagian kutup bumi. Hal ini jika terjadi terus menerus dapat menyebabkan tenggelamnya pulau-pulau di dunia.

Siapa yang Untung dengan Karbon Trading ?

Pemanasan global dan perubahan iklim merupakan permasalahan global karena dampaknya dirasakan di seluruh permukaan bumi. Negosiasi internasional telah memberikan beberapa alternatif untuk mencegah terjadinya peningkatan dampak ini. Salah satunya adalah perdagangan karbon dengan berbagai mekanismenya.

Emisi karbon banyak disebabkan oleh industri yang muncul sejak revolusi industri di negara-negara utara (maju), jadi penyumbang terbesar kerusakan ozon adalah negara maju dengan berbagai industrinya. Oleh karena itu, untuk mengurangi tingkat emisi karbon, negara-negara maju harus menurunkan kapasitas industri dan mengharuskannya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca rata-rata sebesar 5 persen di bawah tingkat emisi tahun 1990 pada tahun 2012 nanti. Sebagai contoh AS seharusnya menurunkan intensitas gas rumah kaca (GRK) sebesar 18 persen selama 10 tahun (periode 2002-2012), yaitu dari 183 ton per juta dolar GDP tahun 2002 menjadi 151 ton per juta dolar GDP tahun 2012.

Cara lainnya adalah menghentikan pembalakan hutan penyerap karbon dan merehabilitasi kawasannya. Tetapi ketiga hal tersebut tidak dapat (bahkan tidak mau) dilakukan oleh negara-negara maju semisal Amerika, Jepang, Rusia, Kanada, dan Australia. Konon juga pejabat tinggi Kanada dalam COP 7 UNFCCC mengatakan tidak perlu adanya sanksi bagi negara yang melanggar ketentuan Protokol Kyoto. Kenapa ? karena dengan menurunkan kapasitas industrinya akan terjadi kegoncangan ekonomi dinegara mereka, pengangguran akan meningkat, krisis dan kelumpuhan ekonomi. Sementara untuk menyiapkan hutan penghisap karbon, negara-negara maju sudah tidak lagi mempunyai hutan dan sudah hancur sejak revolusi industri dan perang dunia terjadi apalagi untuk merehabilitasi kawasannya, tentu saja akan memakan biaya yang sangat mahal dan hampir tidak mungkin dilakukan pada kawasan-kawasn seperti di Amerika yang merupakan kawasan tandus bekas tambang.

Dengan kondisi demikian, pilihan paling mudah dan murah serta paling mungkin adalah “mendesak” negara-negara tropis untuk tetap terus mempertahankan hutannya sebagai penghisap karbon dengan cara “perdagangan“. Sayangnya desakan untuk menyediakan penghisap karbon di negara-negara tropis yang rata-rata miskin ini, tidak mau dibarengi dengan [juga] menurunkan kapasitas industri negara maju. Artinya tetap saja jumlah emisi yang beredar di atmosfer dunia tinggi. Semestinya kedua hal [penyediaan penghisap karbon dan penurunan jumlah industri penghasil karbon] dilakukan beriringan, sehingga terjadi keseimbangan tanggung jawab antara negara utara dengan negara selatan.

Perdagangan Karbon dan Cuci Dosa Perusak Lingkungan

Seperti telah diutarakan diatas bahwa salah satu penyebab utama meningkatnya penipisan lapisan ozon adalah akibat emisi buang dari industri, terutama industri minyak dan gas. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan akan minyak dan gas adalah kebutuhan manusia yang masih sulit digantikan oleh bahan bakar lain, akan tetapi akibat industri-industri yang mengelurakan karbon ke atmosfer inilah yang menjadi penyumbang kerusakan ozon dan udara.

Konvensi Tingkat Tinggi Bumi 13 tahun yang silam di Rio de Jenerio, Brasil merekomendasikan untuk dilakukan penurunan emisi karbon, namun kembali dan sayangnya negara-negara maju membandel dan dengan licik menekan negara selatan untuk bertanggungjawab atas masalah ini. Dalam hal ini negara utara lebih melihat bahwa bentuk pertanggung jawabannya adalah melalui dana-dana lingkungan [semacam bio carbon fund].

Coorporate penghasil karbon sendiri, yang selama ini telah banyak mengeruk sumberdaya alam dan melakukan perusakan lingkungan dan bahkan melakukan pelanggaran HAM dan bekerja dengan pemerintah yang korup dan militer yang menindas hanya bertanggung jawab dengan dana pembangunan saja tanpa melakukan upaya untuk perbaikan lingkungan yang komprehensif.

Metode canggih yang ditawarkan oleh coorporate demikian, biasa disebut dengan greenwash, yaitu pemberian dana-dana perbaikan lingkungan sebagai konvensasi perbuatan mereka merusak lingkungan. Perusakan lingkungan yang dilakukan suatu wilayah yang mana dana tersebut dihasilkan secara licik kemudian diberikan kepada lembaga-lembaga pengelola dana [funding agency] untuk seolah-olah melakukan perbaikan di suatu wilayah lainnya. Proses yang dijalankan ini merupakan upaya “cuci dosa” oleh coorporate yang sebetulnya hanyalah “uang receh” atau “permen karet” saja kalau dibandingkan dengan nilai kerusakan yang ditimbulkannya.

Ironisnya, dengan metode ini banyak pihak yang memanfaatkannya, terutama kaum oportunis dan “pengangguran” di negara-negara maju [walaupun di Indonesia mereka biasanya dianggap sebagai expert] dengan cara memberikan janji-janji dan pembangunan semu dan proyek-proyek pelestarian lingkungan di negara selatan. Sebagai contoh adalah sebuah perusahaan pertambangan minyak dan gas Shell [Royal Dutch Shell] yang berkantor hampir diseluruh dunia yang melakukan greenwash dengan mengeluarkan dana beberapa milyar rupiah untuk proyek perlindungan kawasan hutan dan rehabilitasi mamalia orangutan [salah satunya di Kalimantan Tengah ]

Proyek ini sendiri secara sepihak telah mengklaim kawasan kelola rakyat dan menutup akses rakyat dengan justifikasi bahwa rakyat tidak dapat mengelolanya dengan baik atau dikatakan bahwa rakyat adalah perusak lingkungan. Pendekatan yang dilakukan melingkupi 2 hal, yaitu janji-janji muluk perbaikan sosial dan ekonomi pada masyarakat sekitar lokasi proyek dan melakukan tekanan melalui pendekatan dengan penguasa [biasanya selalu menjual nama-nama pejabat penting pemerintahan baik pusat ataupun daerah]. Padahal Shell sendiri berkelakuan sangat buruk terhadap lingkungan dan manusia di tempatnya bekerja, misalnya di Nigeria-Afrika [salah satunya adalah kasus Pembunuhan Ken Saro-wiwa dan 8 orang suku Ogoni lainya di Nigeria.]

Dengan peta kondisi yang demikian, maka dengan jelas dapat dilihat bahwa mekanisme karbon trading dan sejenisnya belum dapat menjawab kerusakan lingkungan global bahkan hanya memberikan peluang bagi kaum kapital perusak lingkungan untuk melakukan pencucian dosa yang dibuatnya.

Persoalan lainnya dalam karbon trading adalah mekanisme pendanaan “diatas langit”, tidak dapat disentuh langsung oleh masyarakat dan hanya dapat dilakukan oleh kelompok-kelompok pintar [serta licik] saja. Masyarakat kembali hanya menjadi penonton dan penerima serta objek dari pertunjukan yang disebut dengan karbon trading. Bahkan bukan hanya masyarakat basis saja yang sangat tidak jelas dan tidak dapat mengakses mekanisme karbon fund ini, pemerintah [daerah] dan NGOs sendiri juga sangat sulit dan belum mengerti dengan karbon trading ini.

Hanya saja, kelemahan yang terjadi adalah bahwa kita masih senang mendengarkan janji-janji dan mengkhayal untuk dapat “lotere” yang disebut dengan perdagangan karbon. Padahal kita belum menyadari bahwa siapa yang paling diuntungkan, siapa yang memetik keuntungan dan siapa yang mencari-cari keuntungan. Yang jelas belum ada penjelasan yang dapat memberikan pencerahan mengenai akses dan kesempatan masyarakat lokal.

*) Aktivis Save Our Borneo, mantan Direktur WALHI Kalteng 1999-2006

Pemberian WPR Bukan Solusi Persoalan Mercury

“Pemberian WPR Bukan Solusi Persoalan Mercury”

P. Raya [13 Juli 2004]. Bahaya mercury [Hg] yang ditimbulkan akibat penggunaannya pada pertambangan rakyat di berbagai sungai di Kalimantan Tengah tidak dapat disangkal sebagai potensi ancaman yang serius atas keselamatan dan kesehatan manusia.

Kandungan mercury pada air sungai yang dikonsumsi masyarakat menurut beberapa penelitian resmi sudah melebihi ambang batas, dan paling tidak akibat penambangan telah menyebabkan perubahan kondisi air dari aspek kemurniannya [perbuahan pada warna]. Oleh karena itu memang sesungguhnya pertambangan rakyat dialiran sungai harus ditertibkan dan ditanggulangi.

Rencana Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah untuk melakukan penertiban dengan melakukan relokasi dan memberikan Wilayah Pertambangan Rakyat [WPR] bukan solusi untuk menanggulangi ancaman bencana “manimata” di Kalimantan Tengah. WPR hanya akan memindahkan sementara waktu kucuran mercury daripada ke sungai langsung menjadi kedaratan, tetapi akhirnya juga akan berakhir ke sungai-sungai yang airnya dikonsumsi manusia.

WALHI Kalimantan Tengah melihat bahwa rencana relokasi dengan pemberian WPR sesungguhnya hanya akal bulus pemerintah untuk mengeruk pendapatan asli daerah dengan dalih menyelamatkan manusia Kalteng dari bencana mercury. Sesungguhnya dengan pemberian WPR, ancaman mercury juga tidak akan hilang begitu saja karena penambangan di sungai atau di WPR juga tetap akan menimbulkan pencemaran mercury.

Kepedulian pemerintah sebenarnya adalah karena penambangan rakyat tidak membayar pajak atau retrebusi sehingga penambangan rakyat dituding sebagai biang kerok penyebar mercury, padahal kalau mau berpikir lebih dalam, pertambangan dilokasi WPR yang akan diberikan oleh pemerintah juga tetap akan menimbulkan pencemaran mercury.

Jadi tidak betul kalau WPR dan rencana pemerintah menertibkan tambang lanting untuk menyelamatkan masyarakat dari bencana mercury. Yang betul adalah pemerintah keberatan karena tambang-tambang lanting tidak memberikan konstribusi uang. Sekali lagi orientasi utama adalah uang dan bukan kesehatan dan keselamatan rakyat.

Kalaupun pemberian WPR dikatakan dapat menghentikan ancaman terhadap bahaya mercury, yang mana dari WPR para penambang dipungut retrebusi tambang, maka harus jelas bagaimana uang yang didapat dari konstribusi tambang tersebut digunakan untuk menanggulangi ancaman bahaya mercury. Yang menjadi kebiasaan dana tersebut kemudian melebur menjadi pemasukan daerah yang penggunaannya tidak untuk memulihkan kondisi lahan atau kesehatan masyarakat atau untuk menanggulangi mercury tersebut, melainkan menjadi ladang korupsi baru.

WALHI Kalteng berpendapat, untuk menanggulangi bahaya mercury hanya dengan membatasi dan mengontrol peredaran mercury, bila perlu dilakukan moratorium penggunaan mercury, tentu saja dibarengi dengan penegakan hukum dari ketentuan tersebut secara konsisten, jika tidak maka juga hanya akan menciptakan maling-maling dan penyeludupan mercury baru yang bersekongkol dengan penegak hukum.

Sementara dibagian lain, untuk menyelamatkan kondisi sungai perlu dibuatkan peraturan daerah mengenai tata guna sungai yang mengatur tentang kegunaan sungai dan larangan-larangan bagi aktivitas yang membuat terganggunya sungai, termasuk membuang limbah berbahaya dan beracun atau aktivitas yang berdampak buruk lainnya kepada sungai. Dengan peraturan tata guna sungai ini otomatis juga akan memberatas penambangan lanting di sungai.

# # #

Menambang di Hutan Lindung

Menuai Bencana Menambang di Hutan Lindung

Sejak akhir tahun 2001, Pemerintah Indonesia, khususnya Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, berupaya untuk merevisi Pasal 38 UU No.41/ Tahun 1999 tentang penambangan di kawasan hutan lindung. Alasanya adalah bahwa UU tersebut dapat memberikan dampak buruk bagi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan di Indonesia. Selain itu, UU tersebut menimbulkan konflik terhadap perusahaan tambang yang telah mempunyai Kontrak Karya sejak sebelum terbitnya UU No.41/ 1999. Dimana ada 22 Kontrak Karya kegiatan pertambangan yang arealnya menurut UU No.41/1999 termasuk areal hutan lindung.

Dapat dibayangkan jika usulan ini dikabulkan oleh pemerintah, maka dapat dipastikan sekitar 11,4 juta hektar kawasan hutan lindung dan hutan konservasi di Indonesia akan hilang terancam oleh masuknya 150 perusahaan tambang yang akan membuka areal pertambangan di kawasan lindung. Padahal kawasan-kawasan tersebut adalah kawasan yang kaya dengan keragaman ekologi, dihuni oleh masyarakat adat, dan merupakan daerah penyangga kehidupan. Sebagian besar kawasan lindung dan konservasi itu adalah tempat hidup dari jutaan spesies flora dan fauna yang tidak terdapat di daerah lain.

Dibagian lain Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah dan pemerimtah kabupaten saat sekarang lagi gencar-gencarnya berupaya untuk memberikan akses kepada pengusaha pertambangan untuk dapat masuk dan menambang di hutan lindung, khususnya di Hutan Lindung Bukit Batu Batikap dan sekitarnya di Barito Utara. Upaya tersebut dilakukan dengan cara membuka peluang perubahan status hutan lindung menjadi hutan produksi, sehingga dengan begitu dapat dialihfungsikan menjadi kawasan untuk pertambangan. Dengan begitu, hampir dipastikan bahwa aktifitas pertambangan di kawasan hutan lindung akan berjalan mulus, karena pemda Kalimantan Tengah memalui Bappeda, Dinas Pertambangan dan Dinas Kehutanan sudah memberikan lampu hijau.

Sudah barang tentu upaya keras pemerintah daerah Kalimantan Tengah ini ada udang dibalik batu-nya yaitu janji dari investor yang katanya akan memberikan pemasukan bagi kantong pemda dan kantong pejabat didaerah. Sehingga dengan gigih disiasati agar alih fungsi hutan lindung berjalan mulus. Bahkan ironisnya instansi pengelola dan bertanggungjawab terhadap hutan menyatakan bahwa kawasan hutan lindung Bukit Batu Batikap sudah dalam keadaan kritis. Anehnya dengan kondisi yang [katanya] demikian, bukannya mengupayakan untuk di rehabilitasi, dijaga dan di lestarikan, malahan mau dialih fungsikan, sehingga nampak jelas bahwa Dinas Kehutanan merupakan institusi yang sangat tidak mampu mengelola hutan lindung.

Nafsu dari Pemda untuk melakukan alih fungsi hutan lindung menjadi kawasan pertambangan, mestinya tidak hanya berdasar atas kemauan dan bahkan dorongan provokatif dari investor PT. Maruwei Coal semata, melainkan harus melalui studi independen yang mendalam untuk menentukan kelayakan dan arah pengelolaan hutan lindung Bukit Batu Batikap dimasa depan.

Kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung dan konservasi secara keseluruhan harus dilarang, alasannya antara lain ;
Pertama, adanya perlakuan tidak adil oleh pemerintah terhadap penduduk lokal. UU tentang konservasi melarang penduduk lokal melakukan kegiatan destruktif terhadap hutan lindung.
Namun ironisnya saat ini perusahaan tambang justru akan diberi peluang untuk melakukan kegiatan yang jelas-jelas sangat destruktif terhadap hutan lindung. Jika pemerintah memberikan ijin kepada satu atau dua perusahaan saja, maka hal ini akan memberikan inspirasi kepada jutaan penduduk lokal, yang mempunyai hak secara adat, untuk mengeskploitasi hutan lindung.
Pemerintah seharusnya membenahi peraturan-peraturan mengenai hutan konservasi dan hutan lindung yang berkaitan dengan penduduk lokal. Penduduk lokal harus diinformasikan mengenai UU yang berkaitan dengan kehidupan mereka dan memberikan waktu pada mereka untuk berpikir apakah perusahaan tambang akan menguntungkan atau merugikan mereka.
Kedua, secara hukum tidak ada dasar bagi DPR untuk memberikan perijinan kepada perusahaan tambang. Perbuatan ini justru bertentangan dengan hukum karena UU yang berkaitan belum di cabut. Celakanya DPR lebih berorientasi pada duit, daripada menyelematkan kehidupan dalam jangka panjang.
Ketiga, kekhawatiran pemerintah bahwa masalah ini akan diajukan arbitrase internasional oleh perusahaan tambang asing tidaklah beralasan. Kecil sekali kemungkinan kasus ini akan dimenangkan oleh perusahaan tambang, karena di dalam Kontrak Karya tercantum bahwa setiap perusahaan tambang harus mengikuti setiap peraturan yang berlaku di Indonesia, dari tahun ke tahun. Justru jika Indonesia tidak dapat menjaga dan melestarikan hutannya yang merupakan bagian dari paru-paru dunia, pemerintah justru akan mendapat sorotan dari masyarakat internasional.
Sangatlah keliru jika pemerintah, berpendapat bahwa Indonesia akan mengalami pertumbuhan ekonomi hanya dari kegiatan pertambangan. Sebagai contoh, di Papua ada PT. Freeport, di Sulawesi ada PT. Newmont dan PT. INCO, di Kalimantan ada PT. KEM dan PT. Indo Muro Kencana dll, tapi apakah daerah tersebut mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi? Justru sebaliknya, kawasan tambang memberikan konstribusi yang sangat signifikan terhadap kekerasan, pelanggaran HAM, berkembangnya penyakit AIDS, meningkatnya korupsi, kerusakan lingkungan yang luar biasa, dsb.

Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, selain UU No.41/ Tahun 1999 masih ada beberapa peraturan yang melarang kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung, yaitu UU No.5/ Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam, intinya melarang berbagai bentuk kegiatan yang mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan pelestarian alam; yang di dalam salah satu klausulnya menyatakan bahwa force majeure meliputi: “ ...perintah atau petunjuk yang merugikan dari setiap pemerintahan de jure atau de facto atau perangkatnya atau sub divisinya.”

Jika pemerintah dan DPR tetap akan memberikan ijin pada perusahaan-perusahaan pertambangan untuk melakukan kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi, maka Indonesia, yang sebelumnya memiliki hutan nomor dua terluas di dunia, harus bersiap-siap kehilangan hutan beserta seluruh kekayaan keanekaragaman hayati di dalamnya.

Padahal, tidak semua negara di dunia ini bisa seberuntung Indonesia. Dengan posisi geografisnya yang terletak di khatulistiwa, sehingga alamnya subur dan kaya, menyebabkan Indonesia dapat memiliki hutan yang sangat luas dengan keanekaragaman dan kekayaan ekosistemnya. Hal ini menyebabkan Indonesia memiliki julukan negara dengan ‘mega biodiversity’. Keanekaragaman hayati Indonesia tercatat memiliki sekitar 27.500 spesies tumbuhan berbunga (10 persen dari seluruh tumbuhan dunia), 1.539 spesies burung (17 persen dari seluruh burung di dunia), 515 spesies satwa mamalia (12 persen dari seluruh spesies reptilia di dunia), dan 270 spesies amfibia (16 persen dari seluruh amfibia di dunia). Hampir seluruh spesies tersebut tidak terdapat di negara lain. Hal ini menunjukkan pentingnya hutan lindung dipertahankan, bukan hanya bagi bangsa Indonesia, tetapi juga bangsa lain. Sebagian besar kekayaan spesies yang disebutkan diatas terdapat di dalam hutan. Hal ini merupakan alasan mengapa bangsa Indonesia harus mempertahankan dan memelihara hutannya, khususnya hutan lindung dan hutan konservasinya.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Bukannya dilestarikan, justru laju kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia menyebabkan kondisi hutan di Indonesia sudah sampai pada tahap kritis, sudah pada titik yang tidak dapat diperbaiki lagi. Dalam 10 tahun terakhir terjadi kerusakan hutan seluas 1,6 juta ha setiap tahunnya. Sementara data terakhir menunjukkan bahwa kawasan hutan yang telah rusak lebih dari 43 juta ha. Hal ini terutama disebabkan oleh penebangan liar, pembakaran hutan, perkebunan skala besar serta kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan HPH dan HTI.

Satu-satunya jenis hutan yang masih mempunyai harapan berada dalam kondisi baik atau dapat diperbaiki adalah hutan lindung dan kawasan konservasi. Hutan konservasi adalah kawasan hutan yang berciri khas tertentu untuk melindungi keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Sedangkan hutan lindung adalah hutan yang berfungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah instrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah.

Dengan keluarnya kebijakan pemerintah yang memberikan lampu hijau bagi kegiatan pertambangan di hutan lindung dan di kawasan konservasi, maka hal ini akan semakin memperburuk kondisi kehutanan. Lebih dari 100 kawasan hutan lindung terancam oleh rencana masuknya 150 perusahaan, dengan 22 perusahaan yang mendapat prioritas, yang akan membuka areal pertambangan di kawasan tersebut. Celakanya legislatif pusat dan daerah justru tertarik mengusulkan untuk mengubah status dan fungsi peruntukan hutan agar masalah itu tidak berlarut-larut. Barangkali hal ini muncul ketika ada kecendrungan bahwa saat ini sumber daya mineral yang tersisa hanya ada di kawasan hutan lindung. Menyadari kondisi tersebut, tentunya pemerintah dan legislatif – yang lebih tepat disebuit sebagai public relation (PR) dari perusahaan-perusahaan tambang - akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan izin tambang di kawasan lindung.

Jika mimpi buruk ini, yaitu berubahnya hutan lindung dan hutan konservasi menjadi areal pertambangan, benar-benar menjadi kenyataan, maka dihimbau kepada seluruh penduduk Indonesia, terutama yang tinggal di perkotaan, untuk segera datang berkunjung ke hutan-hutan di Indonesia. Bahkan kalau perlu berkemah di sana untuk terakhir kalinya. Sebelum pada akhirnya hutan di Indonesia beserta kekayaannya hanya tinggal kenangan. Sebelum nantinya kita, dan juga generasi mendatang, hanya bisa memandang hutan beserta isinya melalui foto-foto di majalah dan televisi.

Konsesi Pertambangan yang terdapat di kawasan lindung secara keseluruhan harus dilarang (totally banned), termasuk juga konsesi pertambangan batu bara yang akan masuk di Kalimantan Tengah – PT. MARUWEI COAL dari group BHP Billiton karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak menjamin adanya kepastian pemberdayaan masyarakat, ekonomi dan lingkungan dimasa datang.