Tuesday, May 23, 2006

“Pengelolaan Asset Alam dan Konflik ” [Solusi Alternatif]



Tulisan singkat dan sederhana ini dibuat untuk menjawab kebutuhan praktis di satu sisi dan langkah strategis penting lainnya disisi lain.

Dalam tataran praktis, Ornop/NGOs mencermati dominasi konflik lahan yang kerap terjadi dan mempengaruhi kepentingan masyarakat dan pemodal yang saling berhadapan. Ini perlu penyelesaian sesegeranya.

Sedang dalam tataran strategis, nampak bahwa konflik, mis-understanding, sikap saling curiga dan saling menyalahkan antar berbagai pemangku kepentingan [masyarakat, pemerintah, pemodal dan NGOs] adalah hal penting yang harus diselesaikan. Oleh karena itu ada 2 hal penting yang perlu dipertimbangkan, yaitu :

1. Meminimalisir Konflik Lahan Usaha

Lahan usaha atau tanah atau kami sebut dengan sumber-sumber kehidupan rakyat dan asset alam, merupakan modal penting dalam sebuah proses produksi bagi siapa saja, tidak hanya pemodal/pengusaha, tetapi juga masyarakat dan rakyat kebanyakan.

Saat ini berbagai document yang ada pada kami dari berbagai referensi dan sumber menunjukan bahwa 75 % masalah penting dalam usaha di sektor-sektor perkebunan, kehutanan dan pertambangan adalah konflik lahan, konflik tanah atau sumber-sumber kehidupan. Selebihnya adalah masalah tenaga kerja, pencemaran dan masalah dampak sosial.

Dengan melihat fenomena demikian, maka sudah sepantasnya langkah strategis yang diambil adalah “menyelesaikan penyebab” dan bukannya mengobati dampak saja. Artinya perlu dicermati akar cikal bakal penyebab konflik lahan/tanah yang terjadi.

Dari pengalaman yang kami dapatkan selama bertahun-tahun menjadi “penampung” keluhan masyarakat mengenai konflik lahan ini terlihat bahwa akar utamanya adalah rakyat merasa kehilangan alat produksinya berupa tanah, tidak ada kejelasan “keamanan” atas tanah yang selama ini dikelolanya sejak turun temurun, sebab suatu saat-suatu masa bisa saja diambil alih oleh konsesi pengusahaan tertentu [kebun, tambang atau kehutanan, bahkan dijadikan kawasan konservasi mati].

Harus kita akui bahwa masyarakat juga membutuhkan alat produksi berupa tanah dan lahan, semakin lama semakin luas seiring perkembangan jumlah penduduk yang semakin berkembang. Kemandirian rakyat berusaha harus didukung dan difasilitasi dengan distribusi alat produksi yang proporsional.

Sayangnya kadang-kadang, disela masih cukupnya lahan-lahan dan tanah-tanah yang belum terkelola oleh masyarakat, investasi yang memerlukan tanah justru bekerja ditanah-tanah yang sudah dikelola masyarakat. Tanah-tanah yang dapat dijangkau dengan kemampuan terbatas masyarakat. Hal inilah yang kerap kali menimbulkan konflik, dimana masyarakat merasa kehilangan alat produksi, paling tidak biaya produksinya menjadi semakin meningkat, sementara alternative usaha lainnya semakin minim ditambah dengan beban tanggungan hidup yang semakin meningkat juga.

Kondisi demikian tentu saja tidak membuat investasi menjadi merasa aman, bahkan cenderung dalam keadaan selalu dihantui keresahan dan tekanan. Oleh karena itu penting untuk dicari solusi alternative agar semua pihak mendapatkan ketenangan dan bahkan keuntungan.

Langkah taktis yang perlu diterobos untuk meminimalisir adalah memberikan ruang terjadinya power shering atas sumber alam [tanah] yang kemudian menimbulkan terjadinya benefit shering secara otomatis.

Investasi Natura sebagai Solusi.

Investasi natura adalah investasi bukan uang yang ditanamkan dalam suatu usaha. Salah satu investasi adalah alat produksi berupa tanah/lahan usaha milik masyarakat yang selama ini telah pernah dikelola untuk berproduksi [ladang, kebun, usaha perikanan dll].

Investasi natura merupakan penyertaan andil masyarakat dalam berbagai usaha [sebagai misal perkebunan] senilai dengan tanah miliknya yang telah atau pernah dikelola/digarap untuk perkebunan. Dengan demikian, masyarakat tidak kehilangan tanah, perusahaan dapat berusaha dan pemerintah memperoleh penghasilan. Pola demikian banyak digunakan dalam usaha tambang batubara rakyat di Kalsel, walaupun kemudian yang muncul adalah masalah lingkungan ketika usaha-usaha tersebut tidak dilakukan secara professional dan sporadic serta tidak terkontrol.

Keuntungan yang didapat :
  1. Bagi masyarakat, tidak kehilangan tanah dan dalam masa depan tidak menjadi kaum landless atau kaum yang tidak mempunyai tanah lagi seperti suku Aborigin dan Indian. Disamping itu, masyarakat juga mendapatkan keuntungan real berupa deviden atau saldo usaha dari hasil pemberdayaan-pemanfaatan lahan/tanahnya oleh pemodal.
  2. Bagi Pemodal, akan memperoleh jaminan “keamanan” berusaha, mendapatkan kepercayaan rakyat dan mendapat keuntungan dari hasil mengelola tanah masyarakat. Selain itu juga mempunyai mitra masyarakat local.
  3. Bagi pemerintah, keuntungan yang didapat adalah kemudahan pendataan lahan/tanah yang selama ini amburadul, dengan demikian secara otomatis juga mendapatkan pendapatan berupa pajak bumi dan bangunan [karena datanya jelas dan pemungutannya bisa otomatis dari deviden. Selain PBB juga menghasilkan PPh dari penghasilan usaha. Yang lebih penting adalah memudahkan pendataan lahan. Pemerintah juga bisa menanamkan investasinya dalam bentuk investasi natura berupa tanah-tanah yang bukan hak rakyat.
Kendala yang dihadapi dalam hal ini adalah belum familiernya model shering demikian, disamping itu juga hal demikian sangat dihindari oleh calo-calo tanah yang sering berhubungan dan memetik keuntungan dari pola kerja penguasaan tanah selama ini. Selain itu juga dibutuhkan kerja berat untuk menyusun mekanisme yang ideal dan menguntungkan dan memuaskan segenap pihak.

2. Protokol Komunikasi Parapihak “Forum 100 [Hari]”


Latar Belakang

  • Pada kondisi saat ini dan selama ini antara banyak pihak, khususnya antara Pemerintah, NGOs, Pemodal dan masyarakat seringkali terjadi saling tuding dan saling menyalahkan. Memang tidak salah jika hal ini terjadi karena tidak adanya “jembatan” komunikasi antara berbagai pihak ini, yang dapat dijadikan ajang saling membangun pengertian, saling memahami dan saling tidak menyalahkan.
  • Ruang-ruang komunikasi formal seringkali hanya menjadi ajang adu argument bahkan debat kusir yang kemudian tidak membuahkan hasil yang memuaskan, bahkan cenderung menjadi pemicu konflik baru lagi. Masing-masing pihak bisa saja menjadi tidak saling percaya dan cenderung apriori terhadap pihak lainnya. Jika hal ini terjadi, maka bukan tidak mungkin permasalahan menjadi semakin meluas. Masing-masing pihak merasa sudah paling benar dan paling tahu semuanya, sementara pihak lainnya merasa mempunya argument yang kuat untuk mengatakan apa yang terjadi tidak sesuai dengan kenyataan dan koridor norma yang berlaku.
  • Kondisi demikian [pertentangan antar pihak dan cenderung saling menyalahkan serta mencari pembenaran masing-masing] harus segera diakhiri bagaimanapun caranya. Salah satu alternative yang barangkali patut untuk dipikirkan adalah membangun protocol komunikasi intensif dan regular antar para pihak [pemerintah, masyarakat, NGOs dan pengusaha-bisa ditambah dengan pihak lain, misalnya pers].
  • Protokol komunikasi tersebut mesti dibangun dalam suatu “ruang” bersama yang diharapkan menjadi wadah saling memberikan input, koreksi dan solusi kemasa depan. Di dalamnya juga dapat dijadikan ajang shering informasi yang kemudian dicari penyikapan bersama atas suatu hal yang berkembang.
  • Sebuah usulan untuk segera diinisiasi sebuah wadah saling shering informasi, saling mengingatkan dan saling membangun kesepahamam serta saling koreksi melalui sebuah ruang diskusi “Forum 100 Hari” [F100H] paling pantas untuk dipikirkan. Kita sebut saja “forum 100 hari” [inipun masih dalam tanda petik] maksudnya hanya kemudahan mengingatkan bahwa forum tersebut barangkali dapat dilakukan setiap 100 hari [paling tidak, jika lebih intensif atau diluar itu bisa insidentil akan lebih baik].

Fasilitator

Forum 100 hari [F100H] dapat difasilitasi oleh siapa saja, hanya untuk pertama kali perlu diambil inisiatif oleh Pemernitah daerah, yang kemudian pada saat dilaksanakan pertama kalinya dibangun kesepakatan mengenai waktu, tempat dan fasilitator kegiatan F100H berikutnya.

Partisipan

Dalam konteks yang kami sampaikan, maka tentu saja aras utamanya adalah aktor-aktor yang menjadi stakeholder dari pengelolaan asset alam, seperti sector perkebunan, kehutanan, pertambangan, kelautan dan pertanian. Di bagian lain juga ada pelaku ekonomi sector-sektor tersebut dan NGOs yang bekerja di berbagai issue seputar lingkungan dan pengelolaan asset alam. Tidak ketinggalan juga adalah masyarakat yang selama ini menjadi bagian penting dan sangat berkepentingan dengan lahan dan tanah yang menjadi modal produksi pengelolaan asset alam.

Cakupan Issue Diskusi F100H

Berbagai issue dalam forum diskusi F100H bisa dibahas, hanya saja sebaiknya dibatasi seputar pembangunan dan pengelolaan asset alam Kalimantan Tengah. Catatannya, meskipun berawal dari perbedaan pendapat, perbedaan data dan informasi serta perbedaan kepentingan, tetapi harus menghasilkan suatu kesaling-fahaman. Memang tidak mesti harus menjadi legitimasi suatu hal, namun yang menjadi penting ada proses “pencairan suasa” bagi segenap pihak.

Oleh : Nordin, Co-ordinator Save Our Borneo, Mantan Direktur WALHI Kalteng periode 1999-2002, 2002-2005, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Betang Borneo, Dewan Pertimbangan Anggota Kelompok Kerja Sistem Hutan Kerakyatan, Anggota Sawit Watch Indonesia

No comments: