Tuesday, December 30, 2008

Konflik ; PT. SSM [Musim Mas Group] dan Warga Kanyala + Tanah Putih

Seputar Kanyala

Desa Kanyala merupakan salah satu desa yang berada dipinggir sungai Kanyala yang bermuara langsung ke sungai Mentaya yang mengalir ke Laut Jawa melalui Kota Sampit. Akses menuju desa ini dapat dijangkau melaui jalur sungai dengan menggunakan speedboat ataupun taksi air.

Jarak tempuh dari Sampit, Ibukota Kabupaten Kotawaringin Timur kurang lebih 45 km dengan waktu tempuh sekitar 3 jam melalui kota besi. Sedangakan untuk mencapi desa ini mengunakan jalan darat dapat ditempuh melewati jalan perusahaan sawit PT. Sukajadi Sawit Mekar [SSM] masuk dari simpang Sebabi Ibokta Kecamatan Telawang di Kilometer 98 jalan raya Sampit - Pangkalanbun.

Penduduk desa Kanyala kebanyakan berasal dari suku Dayak Tomuan dan Katingan yang sudah lama bermukim di wilayah ini sejak Indonesia belum merdeka. Diperkirakan penduduk Desa Kanyala ini berasal dari Katingan hal ini ditandai dengan bahasa dominan yang digunakan adalah bahasa Katingan.

Desa Kanyala pada awalnya merupakan daerah pendukuhan yang digunakan masyarakat untuk berladang sejak tahun 1920-an dan mulai menetap dan bermukim di wilayah ini sekitar tahun 1940-an. Hingga saat ini desa Kanyala terdiri dari 10 pemukiman yang terpencar dan tersebar disepanjang sungai Kanyala yaitu Bukit Kupang, Dukuh Musim, Ladah Tuan, Dukuh Datu, Bangalun, Sei Bugis, Luwuk Rangas, Bukit Lapeh, Bukit Linang dan Tumbang Binjai.

Sebelumnya wilayah ini merupakan bagian dari Desa Palagan yaitu sebuah Desa di Sungai Seranau namum pada tahun 2003 dimekarkan menjadi Desa Kanyala yang definitif. Secara administrasi Desa Kanyala terdiri dari 8 RT (rukun tetanga) dan merupakan bagian dari Kecamatan Telawang yang baru dimekarkan dari Kecamatan Kota Besi pada tahun 2005.

Secara geografis Desa Kanyala memanjang di sungai Kanyala yang panjangnya sekitar 20 km yang mebentang dari timur ke barat dan bermuara di sungai Mentaya, desa ini berbatasan dengan Desa Hanjalipan disebelah utaranya, sebelah timur dengan Desa Simpur dan sebelah barat dengan Desa Sebabi sedangkan disebelah selatan berbatasan dengan Desa Palangan dan Desa Tanah Putih.

Jumlah penduduk Desa ini adalah sekitar 1900 jiwa ( ± 400 KK ) dengan mata pencaharian utamanya adalah petani karet dan peladang.

Sejarah pengelolaan sumber daya alam wilayah Desa Kanyala sebelumnya merupakan areal konsensi perusahaan HPH PT. Mentaya Kalang yang beroperasi sejak tahun 1970-an hingga tahun 1996.

Pada tahun 2001 sebagian wilayah di desa Kanyala menjadi lokasi areal rebosiasi DAK-DR seluas 840 ha karena masih merupakan kawasan hutan produksi. Pada tahun 2004 mulai masuk konsensi pertambangan kuasa tambang (KP) yaitu PT. Sari Ramin / Ming San Jaya yang kemudian dibeli oleh PT. Kota Besi Iron Mining yang bergerak dalam pertambangan biji besi selaus 1.500 ha dengan masa jangka waktu ekspolitasi selama 30 tahun.

Berdekatan dengan kedua perusahaan tambang bijih besi diatas tadi juga terdapat KP. Bijih besi milik PT. Feron Tambang Kalimantan seluas 160 Ha. Dengan masa jangka waktu eksplorasi selam tiga tahun sejak tahun 2005-2008 namu kenyataanya sudah melakukan aktivitas (eksploitasi).

Pada rentang waktu tahun 2004-2006 ada 3 buah perusahaan perkebunan sawit mulai masuk di wilayah ini yaitu PT. Sukajadi Sawit Mekar (19.000 Ha), PT. Maju Aneka Sawit (19.000 Ha) dan terakhir perusahaan perkebunaa yang juga masuk di wilayah desa Kanyala adalah PT. Karunia Kencana Permai Sejati 19.000 ha.(Wilmar Group)

Penguasaan wilayah oleh perusahaan sawit dan pertambangan tersebut mengakibatkan semakin sempitnya ruang keloala masayarakat sehingga mengciptakan konflik yang berkepanjangan. Konflik bukan saja terjadi dengan masyarakat lokal juga konflik terjadi antara konsesi sawit dengan KP tambang terjadi tumpang tindih yaitu antara PT. SSM dan PT. Feron Kalimantan Mining.

Masuknya PT. Sukajadi Sawit Mekar (SSM) dan Maju Aneka Sawit (MAS)

PT. Sukajadi Sawit Mekar merupakana salah satu perusahaan sawit yang banyak menciptakan konflik dengan masyarakat. Sejak masuknya perusahaana pada tahun 2004 telah banyak penolakan yang dilakukan oleh masyarakat.
Untuk memperoleh lahan di desa Kanyala perusahaan menggunakan aparat desa dengan aparat kepolisian untuk membebaskan lahan-lahan masyarakat. Aparat desa biasanya terdiri dari kepala desa (saat itu kepala desanya masih Pejabat Sementara -Pjs karena baru di mekarkan dari Desa Palangan) bersama perangkat pemerintahan desa lainya, selain itu juga tokoh-tokoh adat termasuk damang kepala adat dan tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap berpengaruh di Desa Kanyala dilibatkan untuk meredam penolakan oleh masyarakat.

PT. SSM beropersi dengan memperoleh Izin Prinsip meluai surat No. 525.26/54/II/Ekbang/2004 yang di terbitkan oleh Bupati Kotawaringin Timur untuk melaksanakan pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas + 18.000 Ha pada tanggal 27 Pebruari 2004.

Kemudian berselang setengah bulan saja telah diterbitkan Ijin Lokasi pada tanggal 12 Maret 2004 dengan nomor surat No. 193.460.42 untuk keperluan pembangunan perkebunan Kelapa Sawit seluas + 16.300 ha di Desa Sebabi, Kanyala dan Tanah Putih Kecamatan Kota Besi berdasarkan hasil pengecekan lapangan oleh tim dari Kantor Pertanahan Kotawaringin Timur.

Selanjutnya Izin Usaha Perkebunan (IUP) diperoleh oleh PT. SSM dari Bupati Kotawaringin Timur dengan surat No. 525.26/38/I/Ekbang/2005. untuk melakukan pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas + 12.386,27 Ha di Desa Sebabi, Kanyala dan Tanah Putih Kecamatan Kota Besi.

Berdasarkan surat perijinan tersebut PT. SSM mulai membabat dan melakukan pembukaan lahan di sekitar areal lokasi yang diberikan ijin termasuk areal Reboisasi proyek Gerakan Nasional Rehabilitasi HUtan dan Lahan [GNRHL] yang statusnya masih berada di hutan produksi berdasarkan peta kadastral padu serasi Departemen Kehutanan tahun 1999.

Selain PT. Suka jadi Sawit Mekar (SSM), perusahaan yang masuk di wilayah ini adalah PT. Maju Aneka Sawit (MAS) dengan luasan 19.000 ha yang beroperasi berdasarkan ijin lokasi yang dikeluarkan oleh Bupati Kotim pada tanggal 23 Juni 2004.

Kedua perusahaan perkebunan sawit ini merupakan perusahaan yang tergabung dalam Group Musimas sebuah holding perusahaan yang bergerak di bidang industri sawit yang berkantor pusat di Medan. Musimas Group ini memiliki industri terpadu di bisnis minyak kelapa sawit mulai dari perkebunan kelapa sawit, pabrik CPO, pabrik refinery, pabrik sabun, pabrik margarine dan oleochimical.

Musimas Group hingga tahun 2008 telah memiliki 122.512 ha kebun sawit dari 8 perusahaan yang tersebar di lima provinsi di Indonesia dimana 4 perusahaan berada di Kalimantan Tengah tepatnya di Kabupaten Kotawaringin Timur termasuk 2 perusahaan di atas.

PT. Sukajadi Sawit Mekar pada tahun 2007 mengajukan untuk memperoleh sertifikat RSPO sebagai salah satu cara untuk memperoleh citra bersih sebagaimana yang tertuang dalam prinsip dan criteria RSPO. Sayang, kenyataan dilapangan masih jauh dari harapan dimana masih banyak tersisa konflik dan perbuatan yang tidak layak yang dipraktekan oleh perusahaan dalam memperoleh lahan-lahan milik masyarakat termasuk kuburan juga digusur tanpa ampun, sementara pihak-pihak yang di anggap merugikan dibungkam dengan cara-cara yang tidak manusiawi bahkan diintimidasi dan penjarakan (kriminalisasi).


Konflik Berkelanjutan SSM vs Warga

Konflik masyarakat dengan perkebunan sawit (PT. SSM dan PT. MAS) mulai mengemuka ketika proses pembukaan perkebuanan pihak perusahaan menggunakan cara intimidasi dan penipuan tanpa sosialiasai di tingkat masyarakatnya. Banyak lahan-lahan masyarakat yang digusur tanpa proses ganti rugi bahkan sebagian ladang karet dan jelutung serta kebun rotan masyarakat musnah digusur.

Perilaku ini menyebabakan kemarahan dan penolakan dari masyarakat disekitar pembukaan areal yaitu Desa Sebabi, Tanah putih dan Kenyala.

Pada tanggal 24 April 2005 masyarakat sempat membuat portal jalan milik PT. SSM sebagai bentuk protes terhadap pembukaan perkebunan sawit di desa mereka namun tidak ditanggapi oleh perusahaan malah menurunkan kepolisian untuk membubarkan dan mengintimidasi masyarakat.

Tidak berhenti disitu pada tanggal 4 Juni 2005 masyarakat kemudian menekan pemerintah daerah dan DPRD Kotim dengan melakukan aksi di kantor DPRD yang diikuti hampir 500 orang masyarakat Kanyala menuntut dicabutnya izin perusahaan PT. SSM dan PT. MAS karena dianggap merugikan dan mencaplok tanah-tanah masyarakat.

Masyarakat saat itu diterima oleh pimpinan DPRD Kotim juga perwakilan pemerintah yaitu Kadisbun Kab. Kotim. Dalam pertemuan tersebut terungkap bahwa memang ada sebagian tanah-tanah masyarakat yang digarap oleh perusahaan karena bukti-bukti yang kuat yang di bawah oleh masyarakat tentang penyerobotan tanah yang dilakukan oleh perusahaan.

Hasil pertemuan tersebut memutuskan perusahaan harus menghentikan operasinya sebelum semua persoalan selesai, namun pihak perusahaan tidak mengindahkan keputusan tersebut, akibatnya masyarakat mengadukan persoalan ini dengan mendatangi DPRD Kalteng dan diterima oleh Komisi B DPRD Kalteng yang dihadiri oleh RYM Subandi, HM Asera, Ir Borak Milton dan Ir Artaban.

Dalam pertemuan tersebut Komisi B DPRD Propinsi Kalteng berjanji untuk turun kelapangan dan mengkordinasikan hal ini dengan pemerintah Kotawaringin timur.

Semua upaya yang dilakukan oleh masyarakat tidak pernah membuahkan hasil dan tidak pernah di selesaikan sehingga mengakibatkan konflik masih terus saja berlanjut hingga saat ini.

Kasus yang mengemuka adalah kasus pencaplokan tanah milik leluhur Langkai TN yang sempat di penjara karena mempertahankan hak atas tanahnya yang sudah dikelola secara turun temurun oleh keluarganya sejak tahun 1943.

Bukan hanya masyarakat Kanyala yang menderita atas pencaplokan tanah-tanah oleh PT. SSM dan PT. MAS bahkan di desa Tanah Putih, kuburan masyarakat digusur oleh pihak perusahaan tanpa sepengetahuan ahli waris. Selain pengusuran kuburan banyak tanah-tanah masyarakat yang di gusur walaupun sudah memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT) dari pemerintah desa bahkan segel adat sejak jaman kolonial Belanda.

Kejadian terakhir pada tanggal 29 November 2008 warga desa Tanah Putih Dusun Bukit Limas melakukan pemblokiran di lahan sebagai bentuk protes atas pengusuran lahan milik mereka oleh PT. SSM. Mereka membangun perkemahan di lokasi yang dianggap menjadi konflik, namun aksi masyarakat bukannya di selesaikan dengan persuasif malah dilakukan tindakan reperesif oleh aparat kepolisian dengan membubarkan dan membawa barang-barang beruapa tenda adan alat masak milik warga.


Konflik Lahan dengan Tambang Bijih Besi


Konflik tidak saja terjadi dengan masyarakat local tetapi juga terjadi dengan konsensi pertambangan antara PT. SSM dengan PT. Feron Kalimantan Mining dan PT. Sari Ramin yang bergerak di bidang pertambangan biji besi.

Konflik ini sempat memanas karena masing-masing pihak menggangap bahwa lokasi merupakan hak mereka karena telah diberikan ijin oleh pemerintah. Hal ini membuat marah masyarakat yang kemudian memportal jalan-jalan milik kedua perusahaan tersebut, karena menganggap bahwa sesunguhnya yang memiliki areal lokasi tersebut adalah masyarakat. Menurut warga kawasan tersebut sudah dikelola secara turun temurun sedangkan pihak perusahaan hanya memperoleh ijin dari pemerintah tanpa punya sejarah pengelolaan terhadap kawasan yang tiba-tiba datang dan memiliki luasan tanah yang begitu besar.

Dalam menyelesaikan persoalan dan konflik PT. SSM cenderung lebih senang menggunakan aparat kepolisian dan pemerintah desa. Sudahs angat jelas pihak-pihak initidak berpihak pada rasa keadilan dimana masyarakat dimana masyarakat selalu ditempatkan sebagai pihak yang tidak memilki hak atas pengelolaan kawasan. PAdahal sejarah membuktikan, sesungguhnya sebelum masuknya konsesnsi sawit dan tambang di wilayah ini masyarakat sudah lama mengelola kawasan tersebut secara turun temurun berdasarakan kearifan local dalam mengelola sumber daya alamnya.


Pelanggaran oleh Perusahaan

Sumber konflik yang terjadi sesunguhnya di mulai dari pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh PT. SSM sejak pertama masuk di wilayah Kanyala dan sekitarnya, sementara cara penyelesaian konflik dengan masyarakat selau menggunakan aparat kepolisian untuk intimidasi tanpa meneyelesaikanya langsung dengan masyarakat.
Berikut adal beberapa dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan:
  1. PT. SSM ketika masuk diwilayah desa Kanyala dan sekitarnya tidak melakukan sosialisasi tentang rencana pembukaan perkebunan sawit. Kalau ada itu hanya dilakukan kepada segelintir orang yaitu ke pihak aparat pemerintah desa.
  2. Dalam menangani konflik cenderung menggunakan aparat kepolisian dan pemerintah desa tanpa berusaha untuk menyelesaikan langsung dengan masyarakat.
  3. PT. SSM melakukan penggusuran tanah-tanah milik masyarakat tanpa ganti rugi yang layak, sedangkan masyarakat yang tidak mau menyerahkan lahan ditipu bahkan dipaksa untuk menyerahkan lahan sebagaimana yang terjadi terhadap saudara Langkai TN.
  4. PT. SSM melakukan penggusuran terhadap tanah-tanah yang sudah memiliki surat keterangan tanah milik masyarakat antara lain:
  • Langkai TN (surat keterangan bukti hak menurut hukum adat tahun 1997 seluas ± 150 Ha di desa Kanyala yang ditandatangi oleh kepala Desa Palangan, Kepala Dusun Luwuk Rengas dan Damang kepala adat dan saksi sebatas) lahan tersebut garap oleh PT. Suka jadi Sawit Mekar
  • Jantan Bin Leger (surat tanah yang berlokasi di Desa Tanah Putih, Sungai Rasak Dukuh Sati) yang digarap oleh PT. Maju Aneka Sawit
  • Leger Judi (surat pernyataan pengakuan tanah tahun 2003 seluas 400.000 meter persegi di wilayah dukuh Sati Desa Tanah Putih yang disahkan oleh Kepala Desa Tanah Putih dan Kepala Dukuh Sati dan saksi sebatas) yang digarap oleh PT. Maju Aneka Sawit.
  • Siker Judi (surat Pernyataan Pengakuan Tanah di wilayah sungai Seranau Dukuh Sati Desa Tanah Putih pada tahun 2003 seluas 400.000 meter persegi yang disahkan oleh Kepala Desa Tanah Putih dan Kepala Dukuh Sati beserta saksi sebatas) yang digarap oleh PT. Maju Aneka Sawit.
  • Menggo Nuhan (surat Keterangan Hak Atas Tanah Ulayat Hukum Adat, wilayah Tanah Putih tahun 2006 seluas 119.072 meter persegi (11,90 ha) yang di tandatanagi oleh Sekertaris Desa Tanah Putih, Keapla Desa Tanah Putih dan Damang Kepala Adat Kecamatan Kota Besi dan saksi sebatas) yang digarap oleh PT. Maju Aneka Sawit.
  • Akir Bin Saun (surat pernyataan tanah seluas 65.550 meter persegi tahun 2006 yang di tandatangai oleh ketua RT 02 Desa Tanah Putih dan Kepala Desa Tanah Putih beserta saksi sebatas) yang di garap oleh PT. Maju Aneka Sawit
  • Akir Bin Saun (surat Pernyataan Tanah seluas 9.450 meter persegi tahun 2006 yang di tandatangai oleh Ketua RT 02 Tanah Putih dan Kepala Desa Tanah Putih) yang di garap oleh PT. Maju Aneka Sawit
5. Penggusuran 2 buah kuburan masyarakat, keluarga Apin di Desa Tanah Putih oleh PT. Maju Aneka Sawit (lokasi berdasarkan GPS berada pada titik Kordinat S 02º 31’07 E 112º 35’30)
6. PT. SSM melakukan penggarapan di areal lokasi reboisasi DAK DR, seluas 840 ha yang di tanam sekitar 1. 092. 587 batang pohon (mahone/ campuran)
7. PT. SSM mengarap lokasi di wilayah kawasan hutan produksi tanpa ijin pelepasan kawasan hutan dari menteri kehutan sesuai peratutan yang berlaku.
8. Mempidanakan masyarakat (Saudara Langkai TN dan Jon Senturi) dengan aduan yang mengada-ada, yaitu perbuatan tidak menyenangkan.

Tuesday, December 16, 2008

RTRWP Jalan Pintas Pemutihan Salah Ijin


“ Sebagai Pelanggaran Tata Ruang yang Masih Berlaku”

Palangkaraya, [saveourborneo]. Revisi [lebih tepatnya bongkar habis] Perda RTRWP Kalimantan Tengah 2003 yang sebenarnya masih seumur jagung dengan jelas dapat manujukan bahwa telah tejadi kesalahan fatal dalam penyusunan RTRWP 2003 atau sebaliknya telah terjadi pelanggaran fatal dan kriminal atas RTRWP 2003 tersebut.

Save Our Borneo mensinyalir terjadi kekeliruan dan kurang cermatnya penyusunan RTRWP 2003 lalu yang kemudian berimplikasi pada tindakan inkonsisten pejabat daerah dalam pemberian ijin atas kawasan, khususnya perkebunan dan pertambangan. Sebagai akibat itu semua, maka dengan sengaja telah dikeluarkan ijin-ijin pemanfataan kawasan untuk perkebunan dan pertambangan secara serampangan dan menyalahi tata ruang yang jelas-jelas berlaku.

Pemberian ijin diluar kawasan yang sudah ditentukan ini telah berlangsung sejak awal dan berlanjut terus meskipun RTRWP 2003 telah berlaku, akibatnya banyak terjadi kesalahan lokasi dan peruntukannya.

Sudah barang tentu, kondisi demikian akan berimplikasi hukum dan politis bagi pejabat pemberi ijin – yang kebanyakan adalah para bupati, yang diamini oleh rekomendasi pemerintah propinsi. Untuk menghindari resiko dan konsekwensi hukum yang bisa berakibat penjara, maka secara berjamaah digulirkan rencana revisi RTRWP dengan berbagai argumentasi yang seringkali tidak masuk akal.

Dengan demikian, revisi atau lebih tepatnya bongkar ulang RTRWP ini merupakan upaya “pemutihan” atas ijin-ijin lokasi yang sudah dikeluarkan namun menyalahi RTRWP yang berlaku. Tentu saja jalan pintasnya adalah “revisi”.

Dengan demikian, seharusnya “revisi” RTRWP ini tidak dilakukan dengan kepentingan “memutihkan” kesalahan pemberian ijin yang sudah dilakukan, bahkan kesalahan-kesalahan tersebut harus diambil tindakan, baik secara administrasi dengan cara pencabutan ijin maupun dengan cara hukum dengan cara penindakan sesuai dengan Undang-undang Penatan Ruang yang berlaku.

Ijin perkebunan kelapa sawit yang diberikan oleh para bupati yang berada dalam kawasan hutan mestinya dicabut terlebih dahulu, untuk kemudian dilakukan peneliatian dan sinkronisasi konfrehensip atas kelayakan dan kepatutan kawasan tersebut dialih fungsikan. Pengalih-fungsian kawasan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik ekologi dan sosialnya dijamin akan menimbulkan kerawanan social dan bencana ekologis.

Tidak jarang pemberian ijin untuk perkebunan kelapa sawit justru berada diatas kebun-kebun, ladang dan belukar yang menjadi alat produksi masyarakat, akibatnya sejak dari awal proyek-proyek dimaksud menuai konflik.

Dibagian lain, karena ketidak telitian dalam alih fungsi kawasan hutan, meyebabkan terjadi degradasi fungsi lahan untuk membendung bencana ekologis, baik banjir, kekeringan, kebakaran dan pemanasan iklim.

Save Our Borneo kembali menegaskan agar bongkar ulang RTRWP tidak dilakukan sebelum status-status kawasan dikembalikan dulu seperti semula. Juga harus dilakukan penyelidikan dan penindakan atas manipulasi dan kesalahan sengaja pada pemberian ijin-ijin lokasi untuk proyek-proyek perkebunan, pertambangan, transmigarasi dan lain-lain.

Kasus alih fungsi hutan di Kalimantan Tengah merupakan hal serupa dan sebangun dengan kasus di Sumatera Selatan dan Pulau Bintan yang melibatkan banyak pejabat melakukan tindakan kolotif dan koruptif. Oleh karenanya aparat hukum bahkan KPK harus bertindak dengan cepat sebelum “pemutihan” ijin manipulatif tersebut terjadi melalui “bongkar ulang” RTRWP.

###

Lagi, Sawit Berbuah Konflik

Tarang bin Udil berada diatas kuburan orangtuanya, Udil bin Tingas yang tepat berada dijalan blok perkebunan kelapa sawit PT. Mustika Sembuluh [Wilmar Group]

“ Wilmar Gusur Kuburan di Tanah Putih”

Palangkaraya, [saveourborneo]. Krisis moral nampaknya memang betul-betul menghinggapi pengusahaan perkebunan kelapa sawit. Bahkan sebuah group perkebunan kelapa sawit raksasa seperti Wilmar International Limited melalui anak perusahaannya PT. Mustika Sembuluh dengan garang telah memberangus kebun-kebun bahkan pekuburan warga.

Sejumlah warga Desa tanah Putih Kecamatan Talawang Kotim melaporkan kepada SOB bahwa setidaknya sampai saat ini ada 8 kepala kuburan yang diluluh lantakan oleh PAT. Mustika Sembuluh [Wilmar Group] di Tanah Putih.

Sejak tahun 2005 sampai saat ini kuburan yang dibouldozer secara keji oleh PT. Mustika Sembuluh masih berantakan, bahkan disalah satu lokasi pekuburan dengan 2 kepala didalamnya telah dijadikan jalan diatasnya.

Tarang bin Udil, ahli waris kuburan yang telah digusur menjadi jalan kebun sawit pada blok MS-3/122 tersebut mengatakan, perusahaan dengan seenaknya mau memberikan konpensasi berupa uang sejumlah 90-an juta untuk 8 makam dimaksud, sedangkan secara moral mereka tidak mau bertangung jawab.

Pengaduan ahli waris lainnya, Umbung bin Jahun bahwa ada 6 makam dan sandung keluargnya yang juga mau diberikan penggantian oleh perusahaan bersama-sama dengan keluarga Tarang, tetapi mereka menolaknya.

Keduanya menginginkan agar perusahan, disamping memberikan konpensasi yang lebih memadai untuk tiwah keluarga mereka, juga harus membuat pernyataan bahwa dalam waktu kedepan dan sampai selamanya tidak akan pernah lagi melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan masyarakat, apalagi sampai menggusur kuburan.

Pada perundingan yang di mediasi yang dilakukan oleh Damang Kepala Adat di Tanah Putih dan Camat Talawang dengan tegas mereka tolak jika perusahaan tidak mau menyetujui untuk membuat sumpah janji tidak mengulanginya lagi dimanapun dan kapanpun itu.

Selanjutnya, para ahli waris berencana mengadukan perbuatan pidana perusakan kuburan trsebut ke olres Kotim, mereka berharap agar Polres Kotim memang menjadi polisi rakyat, bukan polisi perusahaan.
-------------------