Sunday, September 30, 2007

Palmoil on the forest


Most of palm oil plantation were develop on the forest and clear cutting timber

It is sustainable palm oil ?


And that time, there's only dried woods and palm oil
monoculture. It all caused by the greedy people in the world.

Friday, September 21, 2007

Siapa tahu anda mau berusaha : Proses Perijinan Perkebunan

Dasar SK MENTAN No. 357/Kms/HK.350/5/2002 tentang " Penyelesaian Ijin Usaha Perkebunan diberikan oleh :

  1. Gubernur, apabila lokasi lahan usaha perkebunan berada pada lintas wilayah Daerah Kabupaten/Kota;
  2. Bupati/Walikota, apabila lokasi lahan usaha perkebunan di Wilayah Daerah Kabupaten/Kota.

Dari segi pengelolaan Usaha Perkebunan di kategorikan atas :

  1. Usaha Perkebunan adalah kegiatan untuk melakukan usaha budidaya atau usaha industri perkebunan
  2. Usaha Budidaya perkebunan adalah serangkaian kegiatan pengusahaan tanaman perkebunan yang meliputi kegiatan pratanam, penanam,pemeliharaan tanaman dan pemanenan termasuk perubahan jenis tanaman;
  3. Usaha industri perkebunan adalah serangkaian kegiatan pengolahan produksi tanaman perkebunan yang bertujuan untuk memperpanjang daya simpan atau meningkatkan nilai tambah;
  4. Perusahaan Perkebunan adalah badan usaha yang berbadan hukum meliputi koperasi, badan usaha milik daerah dan badan usaha milik swasta yang melakukan usaha bidang perkebunan;
  5. Group perusahaan adalah beberap perusahaan yang sahamnnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh pemegang saham yang sama, baik atas nama perorangan maupun perusahaan;
  6. Izin usaha perkebunan yang selanjutnya disebut IUP adalah ijin tertulis yang wajib dimiliki perusahaan untuk dapat melakukan usaha budidaya perkebunan dan atau usaha industri perkebunan;
  7. Surat Pendaftaran Usaha Perkebunan yang selanjutnya disebut SPUP adalah surat yang diberikan oleh pejabat pemberi ijin yang berlaku layaknya IUP;
  8. Klasifikasi kebun adalah kegiatan untuk menilai tingkat kinerja perusahaan perkebunan dalam pengolahan usaha perkebunan dalam kurun waktu tertentu;
  9. Wisata Perkebunan yang selanjutnya disebut Wisata Agro adalah suatu bentuk kegiatan yang memanfaatkan usaha perkebunan sebagai obyek wisata dengan tujuan untuk diversifikasikan usaha, perluasan kesempatan kerja dan promosi usaha perkebunan;
  10. Kriteria adalah ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan sesuatu;
  11. Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibekukan sebagai patokan dalam melakukan kegiatan;


PEDOMAN PEMIKIRAN

Pedoman Perizinan Usaha Perijinan Bertujuan untuk :

  • Memberikan pedoman pelaksanaan perizinan usaha perkebunan;
  • Bahan pengendalian dan pembinaan pemanfaatan sumber daya alam untuk usaha perkebunan.

Ruang Lingkup Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan ini meliputi;

  • Jenis, luas maksimum dan pola pengembangan usaha;
  • Syarat-syarat perizinan usaha perkebunan;
  • Tata cara perizinan usaha perkebunan

JENIS PENGEMBANGAN USAHA

Jenis usaha perkebunan terdiri dari usaha budidaya perkebunan dan usaha perkebunan

  • Usaha Budidaya perkebunan yang terdiri atas budidaya tanaman skala besar yang harus diusahakan oleh perusahaan perkebunan dan usaha budidaya tanaman skala yang kecil yang dapat dilakukan oleh petani pekebun
  • Usaha Industri Pekebunan Terdiri Dari :

  1. Industri gula pasir dari tebu;
  2. Industri ekstrasi dari kelapa sawit;
  3. Industri teh hitam dan teh hijau;
  4. Industri Latex
  5. Industri penguapan dan pengeringan kopi;
  6. Industri pengupasan dan pengeringan kakao;
  7. Industri pengupasan dan pengeringan lada;
  8. Industri pengupasan kapas;
  9. Industri perkebunan lainnya yang bertujuan untuk memperpanjang daya simpan.

LUAS MAKSIMUM PENGEMBANGAN USAHA

  • Usaha budidaya perkebunan yang luas lahannya 25 Ha atau lebih wajib memiliki IUP;
  • Usaha budidaya perkebunan yang luas lahannya kurang dari 25 Ha wajib dilakukan pendaftaran oleh pemberi izin;
  • Luas lahan budidaya perkebunan untuk 1 perusahaan atau group perusahaan ditetapkan sebagai berikut:

  1. Luas maksimum lahan usaha perkebunan adalah 20.000 Ha dalam satu provinsi atau 100.000 Ha untuk seluruh Indonesia, kecuali usaha perkebunan tebu;
  2. Luas maksimun lahan usaha tebu adalah 60.000 Ha dalam satu provinsi atau 150.000 Ha untuk seluruh Indonesia.

SYARAT-SYARAT PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN

Usaha-usaha perkebunan dapat dilakukan oleh perorangan warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia meliputi Koperasi, Perseroan Terbatas (PT), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Untuk memperoleh izin, perusahaan perkebunan wajib memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

  1. Akte Pendirian dan Perubahan yang terakhir;
  2. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
  3. Rencana Kerja Usaha Perkebunan;
  4. Surat Keterangan Berdomisili;
  5. Rekomendasi dari instansi Pertanahan;
  6. Pertimbangan ketersediaan lahan dari Instansi Kehutanan sepanjang kawasan hutan;
  7. Rekomendasi teknis kesesuai lahan dari kepala Dinas yang membidangi Usaha Perkebunan Provinsi, Kabupaten, Kota setempat yang didasarkan pada perencanaan makro, perwilayahan komoditi dan RUTR;
  8. Pernyataan pengusahaan lahan perusahaan atau group bahwa usaha perkebunan belum melampaui batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 7;
  9. Pernyataan mengenai pola pengembangan yang dipilih dan dibuat dalam akte notaris;
  10. Peta calon lokasi dengan skala 1:100.000;
  11. Surat persetujuan dokumen AMDAL dari komisi AMDAL Daerah;
  12. Pembangunan pabrik hasil perkebunan wajib dilakukan secara terpadu dengan jaminan pasokan bahan baku dari kebun sendiri;
  13. Apabila pasokan bahan baku dari kebun sendiri tidak mencukupi dapat dipenuhi dari sumber lain melalui perusahaan patungan dengan menempuh salah satu pola yang ditetapkan;
  14. Pengembangan pabrik pengolahan hasil perkebunan disesuaikan dengan perkembangan penanaman dan produksi kebun.

TATA CARA PERIJINAN

  • Perusahaan perkebunan yang lokasi perkebunannya berada pada lintas daerah Kabupaten dan atau kota, Permohonan Izin Usaha disampaikan kepada Gubernur dengan tembusan Menteri Pertanian , dalam hal : Direktur Jenderal Bina Perkebunan Departemen Pertanian;
  • Perusahaan Perkebunan yang lokasi lahan usaha perkebunan disuatu wilayah daerah Kabupaten dan atau kota, permohonan Izin Usahanya disampaikan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan Menteri Pertanian dalam hal ini Direktur Jenderal Bina Perkebunan Departemen Pertanian;
  • Gubernur, Bupati atau Walikota menolak permohonan Izin Usaha Perkebunan dari pemohon dalam jangka waktu tertentu memberikan jawaban menyetujui atau menolak perizinan usaha perkebunan.
  • Dalam hal Gubernur, Bupati atau Walikota menyetujui permohonan Izin Usaha wajib memberikan alasan penolakan secara tertulis;
  • Dalam hal Gubernur, Bupati atau Walikota menyetujui permohonan Izin Usaha Perkebunan Maka Gubernur atau Bupati atau Walikota dalam jangka waktu tertentu memberikan Surat Keputusan Pemberian Izin Usaha Perkebunan.
  • Apabila dalam jangka waktu tertentu sejak permohonan diterima dengan lengkap Gubernur, Bupati atau Walikota tidak memberikan jawaban menyetujui atau menolak permohonan izin usaha perkebunan, maka permohonan memenuhi persyaratan untuk disetujui;
  • Perusahaan perkebunan yang telah memiliki izin usaha perkebunan dengan jenis tanaman tertentu yang akan melakukan perubahan jenis tanaman harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari pemberi izin;
  • Untuk memperoleh persetujuan permohonan dilengkapi dengan :

  1. Foto Copy IUP dan Hak Guna Usaha (HGU)
  2. Akte pendirian perusahaan dan perubahan yang terakhir;
  3. Rencana kerja (proposal) yang berisi tentang alasan dilakukannya perubahan jenis tanaman serta rencana pengembangan tanaman pengganti;
  4. Surat dukungan perubahan jenis tanaman dari lembaga penelitian yang terkait.

  • Perusahaan perkebunan yang telah memiliki izin usaha perkebunan yang akan mengadakan perluasan kapasitas pabrik terlebih dahulu wajib memperoleh izin penambahan kapsitas pabrik permohonan dilengkapi dengan :

  1. Foto copy IUP dan Hak Guna Usaha (HGU);
  2. Akte pendirian perusahaan dan perubahan yang terakhir;
  3. Rencana kerja (proposal) yang berisi tentang alasan dilakukannya peningkatan kapasitas pabrik, pasokan bahan baku serta rencana kegiatan peningkatan kapasitas;
  4. Surat Rekomendasi perluasan kapasitas pabrik dari kepala dinas Perkebunan.

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Perusahaan perkebunan yang telah memperoleh izin perkebunan wajib :

  • Menyelesaikan hak atas tanah selambat-lambatnya 2 tahun sejak diterbitkannya IUP;
  • Merealisasikan pembangunan kebun sesuai dengan rencana kerja yang telah disusun dan disesuaikan perencanaan makro pembangunan perkebunan secara regional;
  • Mengelola usaha perkebunannya secara profesional, transparan, partisipatif, berdaya guna dan berhasil guna;
  • Membuka lahan tanpa bakar dan mengelola sumber daya alam secara lestari;
  • Melaporkan kegiatan diversifikasi usaha selain usaha pokok perkerbunan, seperti usaha wisata agro, kepada Instansi Pembina teknis Perkebunan dan memperoleh izin diversifikasi usaha perkebunan dari Instasi terkait sesui dengan ketentuan yang berlaku;
  • Menumbuhkan dan memberdayakan masyarakat/koperasi setempat;
  • Melaporkan perkembangan usaha secara berkala setiap 6 bulan sekali pada pemberi izin dengan tembusan Menteri Pertanian dalam hal ini Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan dan Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian.
  • Dalam hal mengelola wisata agro perusahaan wajib menjaga keamanan plasma nutfah dengan mencegah berjangkitnya organisme pengganggu tumbuhan. Pembinaan dan Pengawasan Usaha usaha perkebunan diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai lingkup kewenanganna.
  • Dalam rangka pembinaan dan pengawan dilakukan evalusi secara berkala berdasarkan laporan perkembangan usaha perkebunan melalui kegiatan klarifikasi kebun yang hasilnya diinformasikan kepada Direktru Jenderal Bina Produksi Perkebunan.

Licence to Kill Tata Ruang

Sebagai sebuah produk kebijakan, maka Raperda RTRWP Kalimantan Tengah yang sedang dan terus dibahas [meskipun tersendat-sendat karena kentalnya kepentingan investasi] harus menghindari blunder kebijakan (policy failure) ;

  • Pertama, kebijakan tersebut jangan sampai ”mendewakan” sistem monokultur. Monokultur jelas mengingkari keanekaragaman hayati hutan Indonesia, memberikan harga yang rendah (undervalued) hasil-hasil hutan non kayu lainnya yang juga bernilai ekonomis, serta membahayakan fungsi hutan sebagai sumber pangan Inonesisia
  • Kedua, pembangunan jangan menggunakan pendekatan massif [besar-besaran-spectakuler] seperti kasus Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektare. Seiring dengan dibukanya kran investasi besar-besaran, maka pengelolaan kawasan hutan dan non-hutan selalu ditekankan dengan skala masif. Akibatnya terjadi perubahan bentang alam besar-besaran dalam waktu singkat, yang tidak memberikan kesempatan bagi lahan tersebut untuk memulihkan dirinya (self-recovery).
  • Ketiga, tidak berpihak kepada rakyat banyak. Ini ditandai dengan tidak adanya perlindungan dan pengharagaan terhadap ekonomi rakyat yang berskala kecil. Rakyat tidak dapat lagi mengelola hasil hutan, seperti madu, damar ataupun getah, karena mereka tidak diperbolehkan masuk ke areal HPH, HTI ataupun perkebunan besar. Padahal mereka ada lebih dahulu dari para pengusaha tersebut. Dan hasil hutan non-kayu di atas telah ditebangi oleh para pengusaha, karena dianggap tidak bernilai ekonomis justru digantikan dengan kelapa sawit.

Akibat utama dari blunder kebijakan di atas adalah, kerusakan lingkungan seketika dan bersifat akumulatif seperti terjadinya banjir dan longsor. Rentan terhadap kebakaran hutan, dan untuk jangka waktu panjang merusak fungsi lahan dan hutan sebagai lumbung makanan, obat-obatan dan penyerap karbon (carbon-sink) dunia yang diyakini sebagai salah satu penyebab terganggunya iklim di dunia.

Rusaknya tatanan sosial masyarakat yang hidupnya bergantung pada pengelolaan wilayah kelolanya. Ketika secara paksa dan mendadak mereka harus kehilangan akses terhadap sumber daya hutan, maka mereka dimiskinkan secara paksa. Keahlian yang mereka punyai dalam meramu dan mengelola sektor kehutanan menjadi tidak terpakai. Akibatnya mereka kehilangan mata pencahariannya dan kehilangan kemampuan untuk mengurus keluarganya. Secara akumulatif, kejadian di atas akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia di suatu region dan menghasilkan generasi yang bingung dan tidak mampu beradaptasi dengan suasana baru.

Terjadi pula pelanggaran hak asasi manusia dalam pengelolaan sumber daya alam. Sumber daya alam adalah milik publik, yang seharusnya dikelola untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Ketika koncoisme dalam pengelolaan SDA terjadi, maka terjadi pula pengingkaran atas barang publik tersebut. Lebih jauh, setiap “penyelesaian” sengketa sumber daya alam selalu dibarengi intimidasi dan kekerasan oleh negara. Usaha menyelesaikan sengketa secara damai dan tanpa kekerasan belum pernah direspon dengan baik oleh pihak negara.

Praktek Kebijakan.

Meskipun kebijakan kenversi hutan dan perkebunan besar kelapa sawit tidak mengakomodasikan kepentingan politik rakyat untuk mendapatkan pengakuan dalam mengakses sumber data alam, dalam implementasinya diperparah tindakan para pengusaha yang masih banyak melakukan penimpangan untuk mendapatkan keuntungan dan penghisapan sumber ekonomi rakyat. Praktek melakukan mark up dalam penyediaan lahan, menyalahgunakan izin pemanfaatan kayu dan land clearing dalam pembukaan lahan dengan pembakaran, adalah contoh yang kerap ditemui di lapangan. Birokrasi pemerintahan yang berwenang dengan pelaksanaan konversi hutan dan penyediaan areal untuk perkebunan besar, begitu mudah mengeluarkan perizinan sehingga menguatkan tuduhan adanya persekongkolan antara birokrat dengan pengusaha.

Kebijakan konversi hutan dan pengembanagn perkebunan besar, baik ditinjau dari sisi substansi maupun implementasi di lapangan, telah mengakibatkan permasalahan yang sangat kompleks dalam pengelolaan sektor kehutanan dan perkebunan. Hal yang nyata terlihat dari kebijakan tersebut, telah memberikan kemudahan usaha bagi kelompok kecil konglomerat yang memiliki modal besar dan akses terhadap lingkaran elit kekuasaan sehingga memberi keuntungan bagi kelompok ini begitu besar.

Dari sisi lain, kelompok besar rakyat yang selama ini mengusahakan sumber daya hutan menurut konsep pengetahuan lokal dan aturan hukum adat menjadi termarjinalisasi oleh pengusahaan perkebunan besar. Dengan demikian, perangkat kebijakan konversi hutan dan perkebunan besar kelapa sawit, menimbulkan dampak ketidakadilan, yakni pengusaha atau investor yang merupakan kelompok kecil dari aktor yang mendapat bagian keuntungan terbesar dan rakyat yang merupakan bagian terbesar yang justru paling dirugikan.

Larangan Bakar Ladang bagi Petani Ethno-Agro Forest ; Politik Penguasaan Lahan Terselubung-Sistematis

Setidaknya sudah memasuki satu dekade ini, sejak tahun 1997 Indonesia dicap sebagai negara peng-export asap dan polusi keberbagai negara di Asia Tenggara. Keluhan dan protes datang betubi-tubi dari berbagai pihak, baik itu pemerintah negara asing ataupun kelompok lingkungan internasional dan nasional akibat terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.

Kalimantan Tengah merupakan salah satu daerah propinsi yang dianggap turut paling bertanggungjawab atas konstribusi asap yang menimbulkan berbagai dampak multi dimensi ini. Tidak ayal lagi, hal ini menimbulkan kecemasan, kekuatiran dan keprihatinan yang kuat dari segenap pihak, tidak terkecuali pemerintah daerah.

Berbagai upaya sejak satu dekade ini sudah dilakukan untuk menaggulangi bencana ekologi kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan asap dimana-mana. Tidak tangung-tanggung, bahkan kebijakan sekaliber Undang-undang dengan tegas telah menyatakan pelarangan pembakaran, baik itu Undang-undang Kehutanan, Perkebunan ataupun Lingkungan Hidup. Demikian juga peraturan ikutannya, mulai dari Peraturan Pemerintah sampai kepada Perda Kabupaten bahkan mungkin sampai Perdes.

Sejak awal Juli 2007, saat memasuki musim kemarau, Pemerintah melalui Pemerintah daerah, dalam hal ini Gubernur Kalimantan Tengah dengan garang menandaskan bahwa tidak dibenarkan adanya pembukaan ladang oleh petani lokal dengan cara membakar.

Sekilas kebijakan ini nampak merupakan kebijakan yang sangat populis, ramah lingkungan dan memberikan kesan bahwa kebijakan ini sangat memperhatikan efek besar dari adanya bencana ekologis kebakaran hutan yang setiap tahun mengancam Kalimantan Tengah dan bahkan Kalimantan serta Indonesia secara umum.

Kebijakan yang dikeluarkan Teras Narang tersebut mendapat aplus dari banyak bupati di Kalimantan Tengah. Hanya ada beberapa bupati / wakil bupati yang awalnya mencoba angkat bicara bahwa kebijakan tersebut akan menimbulkan masalah besar berupa keterbatasan bahkan kelangkaan dan masalah pangan [beras] pada masyarakat lokal.

Bupati Barito Timur, Bupati Kotawaringi Barat, Wakil Bupati Pulang Pisau tercatat sebagai bupati yang memberikan sanggahan terhadap kebijakan larangan pembakaran ladang untuk petani lokal yang disebut dengan ethno-agro forest ini. Sayangnya, semunya kalah dan tersapu gelombang serta memilih untuk diam, ketika disampaikan oleh Teras Narang bahwa kebijakan yang dikeluarkan bukan oleh dia sebagai gubernur, tetapi merupakan kebijakan dan peraturan dari pemerintah pusat di Jakarta.

Lagi-lagi dalam hal ini, ketika sebuah kebijakan yang tidak menimbulkan dampak merugikan bagi pejabat dan hanya menimbulkan kesusahan bagi raktyat, para pejabat daerah ramai-ramai meng-amini-nya. Tetapi lihat saja kalau kebijakan pemerintah pusat tersebut bersipat memotong kewenangan dan mengancam pundi-pundi-nya, maka dengan tegas, lantang dan garang pejabat daerah akan berteriak, bahkan lebih garang dari demonstran.

Sampai dengan bulan September 2007, apa yang dicanangkan pemerintah untuk melarang segenap pembakaran memang nampak berhasil, tapi jangan gembira dulu, ada beberapa hal yang harus dicermati, kenapa hal itu [pembakaran ladang] tidak terjadi.

Pertama, karena kemarau dan cuaca tidak sepenuhnya panas, masih disertai dengan hujan yang datang sehari atau dua hari berselang, sehingga lahan calon ladang juga tidak memungkinkan untuk dibakar.

Kedua, warga sadar betul bahwa mereka saat ini dalam sorotan dan sedikit saja ada asap maka merekalah yang akan jadi kambing hitam, sementara bisa saja akan ada pihak lainnya [misalnya perkebunan kelapa sawit] yang akan membonceng membakar dan lolos dari sorotan karena kemampuan meredam kegesitan petugas.

Apabila kebijakan larangan pembukaan ladang dengan cara membakar terus berjalan, maka suatu yang sangat mungkin terjadi adalah kelangkaan pangan akibat ketidak-mampuan warga masyarakat lokal bertani dan memproduksi pangan utama berupa beras secara mandiri dari produksi lokal.

Dalam jangka pendek, pemerintah daerah memberikan solusi instan yang tidak mungkin dilakukan secara terus menerus, dimana ”Pemprov Kalteng akan memberikan bantuan beras kepada masyarakat terutama peladang yang tidak melakukan pembakaran saat membuka lahan ” [Teras Narang, Kalteng Pos Sabtu, 8 September 2007].

Walaupun demikian beras itu hanya diberikan terhadap masyarakat yang berada di daerah-daerah rawan kebakaran hutan dan lahan. Dari inventarisasi yang kita lakukan Pemda Kalimantan Tengah terdapat 369 desa di Kalteng yang rawan kebakaran hutan dan lahan. Anehnya Gubernur berkeyakinan jumlah tersebut akan semakin kecil karena ada daerah-daerah yang saat ini sudah tidak dianggap rawan kebakaran hutan dan lahan. Padahal masalahnya bukan cuma asap, tetapi adalah ”dapur yang akan tidak berasap”.

Di beberapa tempat yang sempat terekam pembicaraan dengan warganya, kebanyakan mengeluhkan kebijakan larangan membuka ladang dengan membakar ini. Sebagian menyebutkan sebagai kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan pangan warga lokal dan akan menyebabkan ketergantungan masyarakat atas penyediaan pangan dan mata pencarian yang disediakan oleh pihak luar.

Kekuatiran ini beralasan sekali karena tidak jauh dari sebuah ladang tidak jarang berdiri kokoh perusahaan perkebunan kelapa sawit yang memiliki janji manis untuk menjadikan warga sekitar sebagai buruh harian lepas [BHL] dengan gaji paling tinggi Rp. 27.500,- perhari bekerja saja.

Sebagian lainnya menuntut tanggung jawab pemerintah atas konsekwensi mengeluarkan kebijakan larangan membuka ladang dengan cara bakar tersebut, yaitu menyediakan model pertanian non-bakar yang bisa dilakukan oleh warga, tetapi tentu dengan tehnologi yang bisa dikerjakan oleh masyarakat. Nampaknya tuntutan inipun tidak siap untuk dipenuhi pemerintah, yang bisa dilakukan saat ini adalah rencana pemberian 50 kg beras dan 5 kg gula perbulan, selama 6 bulan kepada setiap kepala keluarga petani lokal.

Suatu pandangan sangat kritis lainnya dan pendapat yang cukup masuk akal adalah bahwa kebijakan ini merupakan suatu taktik atau politik agraria berupa cara yang sistematis dan terstruktur untuk menguasai tanah-tanah rakyat secara halus dan perlahan-lahan.

Menurut Syahrun, seorang warga di Sembuluh Seruyan Kalimantan Tengah, ”Coba bayangkan saja, apabila dalam masa kedepan sampai 3 atau 5 tahun warga lokal tidak bisa dan tidak punya kesempatan lagi untuk membuka ladang karena adanya larangan mutlak terhadap pola peladangan bakar lahan, maka lahan-lahan rakyat akan menjadi tanah tak bertuan, tanah yang menjadi semak belukar dan tidak terkelola”.

”Dibagian lain, akan semakin banyak warga yang meninggalkan pekerjaan pertanian tradisional dan terpaksa pindah kepada jenis usaha lain atau menjadi buruh kasar perkebunan sawit. Selanjutnya, lahan ladang tidak terkelola, bersemak, orang-orang melupakan tradisi mengolah lahan untuk memperoleh pangan utama beras”. Kata dia menambahkan.

Kondisi demikian, akan dijadikan justifikasi dan rasionalisasi bagi kebijakan pemerintah atas kolaborasi dengan investor semakin beralasan untuk menguasai tanah-tanah rakyat untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.

”Tidak usah susah-susah memikirkannya, banyak fakta yang menunjukan bahwa jangankan tanah-tanah rakyat yang tidak terkelola dengan baik, kebun-kebun karet dan lahan kebun dan pertanian tradisional lain milik rakyatpun banyak digusur oleh kebijakan perkebunan kelapa sawit”. Kata Syahrun lagi, yang juga merukapan salah satu korban perampasan tanah oleh perusahaan.

Ironisnya, pemerintah daerah justru melihat issue larangan pembakaran ladang ini hanya dari sudut keselamatan image pemerintah daerah saja, tanpa melihat secara lebih jauh mengenai kebutuhan pangan rakyat. Memang selama ini ”wajah” pemerintah daerah selalu mendapat ”tamparan” keras setiap tahun ketika terjadi asap.

Ketika dihadapkan pada solusi jangka masa panjang kedepan, jawaban pemerintah daerah melalui Asisten II Pemprov Kalteng Titiek Sundari, adalah bahwa tim dari provinsi akan turun ke 14 kabupaten dan kota guna melakukan sosialiasi terhadap pembakaran hutan dan lahan tanpa bakar. Selain itu juga untuk mendapatkan data-data dari pihak kabupaten berapa jumlah peladang berikut lahan mereka sehingga bisa diambil suatu solusi. Tetapi rasanya apa yang disampaikan itu belum menyentuh pada solusi konkrit tentang ancaman kelangkaan pangan.

Lalu kalau ada data, apakah selamanya akan diberikan bantuan instan, selama warga tidak bisa membuka lahan baru, selama mereka belum mendapatkan teknologi lain selain membakar untuk berladang dengan hasil yang optimal, minimal sekelas saat ini ?

Bukannya lama kelamaan petani ethno agro forest ini akan berhenti bercocok tanam, kemudian beras hanya dari bantuan pemerintah dan kemudian lahannya tidak dimanfaatkan lagi kecuali untuk perkebunan sawit.

Hal yang mengejutkan bagi penulis ketika berusaha menyelesaikan tulisan sederhana ini mendapat undangan dari Sekretariat Daerah Propinsi Kalimantan Tengah untuk memberikan masukan terhadap draf Rancangan Peraturan Daerah tentang Penertiban dan Pendayagunaan Lahan Terlantar.

Dalam Draf tersebut dijelaskan bahwa :”...tanah atau lahan yang diindikasikan terlantar adalah apabila para pihak atau orang yang mengakui membuka, menguasai dan atau pernah membuka, menguasai tanah atau lahan selama dua tahun berturut-turut dengan sengaja tidak aktif memanfaatkan, mengelola, membersihkan tanah atau lahannya...”.

Konsekwensi apabila tanah atau lahan dinyatakan sebagai lahan terlantar adalah pencabutan atau pembatalan hak atas tanah atau sertifikat sekaligus bukti-bukti penguasaan pemilikan tanah atau lahan lainnya.

Dengan melihat dan mencermati sepintas apa yang akan dijalankan melalui kebijakan pemerintah propinsi ini, sudah barang tentu menjadi sangat beralasan apa yang dikemukakan oleh warga tentang sistematisnya cara-cara perampasan dan penguasaan tanah-tanah rakyat, yang dimulai dengan larangan pembukaan ladang membakar, kemudian rakyat tidak mampu lagi mengelolanya secara aktif, selanjutnya melalui perda yang akan disusun tanah-tanah rakyat tersebut dinyatakan sebagai tanah terlantar yang selanjutnya dicabut haknya atau dilakukan pemberian hak baru kepada pihak yang bersangkutan atau pihak lainnya.

Cara-cara demikian sudah bisa dibaca sejak awal sebagai suatu kepentingan penguasaan tanah oleh segelintir pihak pengembang perkebunan dan industri agro lainnya yang disokong secara nyata oleh pimpinan daerah yang sebenarnya dipilih dan didukung oleh rakyat, tetapi kemudian bertindak untuk kepentingan investasi dan pemilik modal tanpa menoleh lagi konstituennya. Kaluapun menoleh, hanyalah dalam kerangka retorika dan pesona.

*)Tulisan ini dimuat dalam harian Kalteng Pos tanggal 18 dan 19 September 2007