Setidaknya sudah memasuki satu dekade ini, sejak tahun 1997 Indonesia dicap sebagai negara peng-export asap dan polusi keberbagai negara di Asia Tenggara. Keluhan dan protes datang betubi-tubi dari berbagai pihak, baik itu pemerintah negara asing ataupun kelompok lingkungan internasional dan nasional akibat terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
Kalimantan Tengah merupakan salah satu daerah propinsi yang dianggap turut paling bertanggungjawab atas konstribusi asap yang menimbulkan berbagai dampak multi dimensi ini. Tidak ayal lagi, hal ini menimbulkan kecemasan, kekuatiran dan keprihatinan yang kuat dari segenap pihak, tidak terkecuali pemerintah daerah.
Berbagai upaya sejak satu dekade ini sudah dilakukan untuk menaggulangi bencana ekologi kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan asap dimana-mana. Tidak tangung-tanggung, bahkan kebijakan sekaliber Undang-undang dengan tegas telah menyatakan pelarangan pembakaran, baik itu Undang-undang Kehutanan, Perkebunan ataupun Lingkungan Hidup. Demikian juga peraturan ikutannya, mulai dari Peraturan Pemerintah sampai kepada Perda Kabupaten bahkan mungkin sampai Perdes.
Kebijakan yang dikeluarkan Teras Narang tersebut mendapat aplus dari banyak bupati di Kalimantan Tengah. Hanya ada beberapa bupati / wakil bupati yang awalnya mencoba angkat bicara bahwa kebijakan tersebut akan menimbulkan masalah besar berupa keterbatasan bahkan kelangkaan dan masalah pangan [beras] pada masyarakat lokal.
Bupati Barito Timur, Bupati Kotawaringi Barat, Wakil Bupati Pulang Pisau tercatat sebagai bupati yang memberikan sanggahan terhadap kebijakan larangan pembakaran ladang untuk petani lokal yang disebut dengan ethno-agro forest ini. Sayangnya, semunya kalah dan tersapu gelombang serta memilih untuk diam, ketika disampaikan oleh Teras Narang bahwa kebijakan yang dikeluarkan bukan oleh dia sebagai gubernur, tetapi merupakan kebijakan dan peraturan dari pemerintah pusat di Jakarta.
Lagi-lagi dalam hal ini, ketika sebuah kebijakan yang tidak menimbulkan dampak merugikan bagi pejabat dan hanya menimbulkan kesusahan bagi raktyat, para pejabat daerah ramai-ramai meng-amini-nya. Tetapi lihat saja kalau kebijakan pemerintah pusat tersebut bersipat memotong kewenangan dan mengancam pundi-pundi-nya, maka dengan tegas, lantang dan garang pejabat daerah akan berteriak, bahkan lebih garang dari demonstran.
Sampai dengan bulan September 2007, apa yang dicanangkan pemerintah untuk melarang segenap pembakaran memang nampak berhasil, tapi jangan gembira dulu, ada beberapa hal yang harus dicermati, kenapa hal itu [pembakaran ladang] tidak terjadi.
Pertama, karena kemarau dan cuaca tidak sepenuhnya panas, masih disertai dengan hujan yang datang sehari atau dua hari berselang, sehingga lahan calon ladang juga tidak memungkinkan untuk dibakar.
Kedua, warga sadar betul bahwa mereka saat ini dalam sorotan dan sedikit saja ada asap maka merekalah yang akan jadi kambing hitam, sementara bisa saja akan ada pihak lainnya [misalnya perkebunan kelapa sawit] yang akan membonceng membakar dan lolos dari sorotan karena kemampuan meredam kegesitan petugas.
Apabila kebijakan larangan pembukaan ladang dengan cara membakar terus berjalan, maka suatu yang sangat mungkin terjadi adalah kelangkaan pangan akibat ketidak-mampuan warga masyarakat lokal bertani dan memproduksi pangan utama berupa beras secara mandiri dari produksi lokal.
Dalam jangka pendek, pemerintah daerah memberikan solusi instan yang tidak mungkin dilakukan secara terus menerus, dimana ”Pemprov Kalteng akan memberikan bantuan beras kepada masyarakat terutama peladang yang tidak melakukan pembakaran saat membuka lahan ” [Teras Narang, Kalteng Pos Sabtu, 8 September 2007].
Walaupun demikian beras itu hanya diberikan terhadap masyarakat yang berada di daerah-daerah rawan kebakaran hutan dan lahan. Dari inventarisasi yang kita lakukan Pemda Kalimantan Tengah terdapat 369 desa di Kalteng yang rawan kebakaran hutan dan lahan. Anehnya Gubernur berkeyakinan jumlah tersebut akan semakin kecil karena ada daerah-daerah yang saat ini sudah tidak dianggap rawan kebakaran hutan dan lahan. Padahal masalahnya bukan cuma asap, tetapi adalah ”dapur yang akan tidak berasap”.
Di beberapa tempat yang sempat terekam pembicaraan dengan warganya, kebanyakan mengeluhkan kebijakan larangan membuka ladang dengan membakar ini. Sebagian menyebutkan sebagai kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan pangan warga lokal dan akan menyebabkan ketergantungan masyarakat atas penyediaan pangan dan mata pencarian yang disediakan oleh pihak luar.
Kekuatiran ini beralasan sekali karena tidak jauh dari sebuah ladang tidak jarang berdiri kokoh perusahaan perkebunan kelapa sawit yang memiliki janji manis untuk menjadikan warga sekitar sebagai buruh harian lepas [BHL] dengan gaji paling tinggi Rp. 27.500,- perhari bekerja saja.
Sebagian lainnya menuntut tanggung jawab pemerintah atas konsekwensi mengeluarkan kebijakan larangan membuka ladang dengan cara bakar tersebut, yaitu menyediakan model pertanian non-bakar yang bisa dilakukan oleh warga, tetapi tentu dengan tehnologi yang bisa dikerjakan oleh masyarakat. Nampaknya tuntutan inipun tidak siap untuk dipenuhi pemerintah, yang bisa dilakukan saat ini adalah rencana pemberian 50 kg beras dan 5 kg gula perbulan, selama 6 bulan kepada setiap kepala keluarga petani lokal.
Suatu pandangan sangat kritis lainnya dan pendapat yang cukup masuk akal adalah bahwa kebijakan ini merupakan suatu taktik atau politik agraria berupa cara yang sistematis dan terstruktur untuk menguasai tanah-tanah rakyat secara halus dan perlahan-lahan.
Menurut Syahrun, seorang warga di Sembuluh Seruyan Kalimantan Tengah, ”Coba bayangkan saja, apabila dalam masa kedepan sampai 3 atau 5 tahun warga lokal tidak bisa dan tidak punya kesempatan lagi untuk membuka ladang karena adanya larangan mutlak terhadap pola peladangan bakar lahan, maka lahan-lahan rakyat akan menjadi tanah tak bertuan, tanah yang menjadi semak belukar dan tidak terkelola”.
”Dibagian lain, akan semakin banyak warga yang meninggalkan pekerjaan pertanian tradisional dan terpaksa pindah kepada jenis usaha lain atau menjadi buruh kasar perkebunan sawit. Selanjutnya, lahan ladang tidak terkelola, bersemak, orang-orang melupakan tradisi mengolah lahan untuk memperoleh pangan utama beras”. Kata dia menambahkan.
Kondisi demikian, akan dijadikan justifikasi dan rasionalisasi bagi kebijakan pemerintah atas kolaborasi dengan investor semakin beralasan untuk menguasai tanah-tanah rakyat untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.
”Tidak usah susah-susah memikirkannya, banyak fakta yang menunjukan bahwa jangankan tanah-tanah rakyat yang tidak terkelola dengan baik, kebun-kebun karet dan lahan kebun dan pertanian tradisional lain milik rakyatpun banyak digusur oleh kebijakan perkebunan kelapa sawit”. Kata Syahrun lagi, yang juga merukapan salah satu korban perampasan tanah oleh perusahaan.
Ironisnya, pemerintah daerah justru melihat issue larangan pembakaran ladang ini hanya dari sudut keselamatan image pemerintah daerah saja, tanpa melihat secara lebih jauh mengenai kebutuhan pangan rakyat. Memang selama ini ”wajah” pemerintah daerah selalu mendapat ”tamparan” keras setiap tahun ketika terjadi asap.
Ketika dihadapkan pada solusi jangka masa panjang kedepan, jawaban pemerintah daerah melalui Asisten II Pemprov Kalteng Titiek Sundari, adalah bahwa tim dari provinsi akan turun ke 14 kabupaten dan kota guna melakukan sosialiasi terhadap pembakaran hutan dan lahan tanpa bakar. Selain itu juga untuk mendapatkan data-data dari pihak kabupaten berapa jumlah peladang berikut lahan mereka sehingga bisa diambil suatu solusi. Tetapi rasanya apa yang disampaikan itu belum menyentuh pada solusi konkrit tentang ancaman kelangkaan pangan.
Lalu kalau ada data, apakah selamanya akan diberikan bantuan instan, selama warga tidak bisa membuka lahan baru, selama mereka belum mendapatkan teknologi lain selain membakar untuk berladang dengan hasil yang optimal, minimal sekelas saat ini ?
Bukannya lama kelamaan petani ethno agro forest ini akan berhenti bercocok tanam, kemudian beras hanya dari bantuan pemerintah dan kemudian lahannya tidak dimanfaatkan lagi kecuali untuk perkebunan sawit.
Hal yang mengejutkan bagi penulis ketika berusaha menyelesaikan tulisan sederhana ini mendapat undangan dari Sekretariat Daerah Propinsi Kalimantan Tengah untuk memberikan masukan terhadap draf Rancangan Peraturan Daerah tentang Penertiban dan Pendayagunaan Lahan Terlantar.
Dalam Draf tersebut dijelaskan bahwa :”...tanah atau lahan yang diindikasikan terlantar adalah apabila para pihak atau orang yang mengakui membuka, menguasai dan atau pernah membuka, menguasai tanah atau lahan selama dua tahun berturut-turut dengan sengaja tidak aktif memanfaatkan, mengelola, membersihkan tanah atau lahannya...”.
Konsekwensi apabila tanah atau lahan dinyatakan sebagai lahan terlantar adalah pencabutan atau pembatalan hak atas tanah atau sertifikat sekaligus bukti-bukti penguasaan pemilikan tanah atau lahan lainnya.
Dengan melihat dan mencermati sepintas apa yang akan dijalankan melalui kebijakan pemerintah propinsi ini, sudah barang tentu menjadi sangat beralasan apa yang dikemukakan oleh warga tentang sistematisnya cara-cara perampasan dan penguasaan tanah-tanah rakyat, yang dimulai dengan larangan pembukaan ladang membakar, kemudian rakyat tidak mampu lagi mengelolanya secara aktif, selanjutnya melalui perda yang akan disusun tanah-tanah rakyat tersebut dinyatakan sebagai tanah terlantar yang selanjutnya dicabut haknya atau dilakukan pemberian hak baru kepada pihak yang bersangkutan atau pihak lainnya.
*)Tulisan ini dimuat dalam harian Kalteng Pos tanggal 18 dan 19 September 2007
No comments:
Post a Comment