Wednesday, March 21, 2007

Bupati Barut Diminta Tindaklanjuti Surat Gubernur

PALANGKARAYA, Palangka Post.

Permasalahan sengketa lahan antara PT Antang Ganda Utama (AGU) dengan masyarakat tujuh desa dalam wilayah tiga kecamatan di kabupaten Barito Utara yaitu Montallat, Gunung Timang dan Teweh Tengah, yang berbuntut terjadinya pemblokiran oleh masyarakat terhadap jalan menuju perkebunan, yaitu Bupati Barito Utara, Ir H yuliansyah MM, diminta untuk menindaklanjuti surah Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang SH, No.118.45/1332/Ek tanggal 8 Oktober 2005 tentang Revisi Keputusan Bupati Barito Utara No.188.45/447/2003 tanggal 15 September 2003 dan Keputusan Bupati No.188.45/411/2004 tanggal 27 Juli 2004.

Adapun Keputusan Bupati No.188.45/447/2003 Perihal tentang izin lokasi dan Keputusan Bupati Barito Utara tentang pola pengembangan/kemitraan usaha menyangkut proporsi saham dan atau kebun plasma.

Koordinatir Save Our Borneo (SOB), Nordin kepada P.Post, Surat Gubernur tersebut meminta Bupati Barito Utara untuk mengambil langkah-langkah antara lain supaya diadakan kembali musyawarah antara Pemerintah Kab Barito Utara, masyarakat tujuh desa dan PT Antang Ganda Utama untuk menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan semua pihak dengan tetap mengacu pada ketentuan dalam instruksi Gubernur Kalimantan Tengah No.17 tahun 2004 dan ketentuan pasal 5 ayat (2) huruf b,c,d,e,f serta pasal 6 angka 3 dan angka 4 Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah No.357/Kpts/HK350/5/2002 dan Perda No.3 tahun 2003.

Kemudian, dalam revisi surat dan keputusan Bupati Barito Utara supaya dicantumkan secara eksplisit/tegas/jelas mengenai pola pengembangan/kemitraan usaha antara perusahaan dengan masyarakat setempat sebagaimana Intruksi Gubernur Kalimantan Tengah No.154/2004.

Menururt Nordin, karena Bupati Barito Utara tidak menindak lanjuti Surat Gubernur Kalteng itulah, dilapangan permasalahan makin berkembang sehinga terjadi pemblokiran oleh masyarakat terhadap aktivitas kegiatan perusahaan kelapa sawit tersebut, yang berlangsung beberapa minggu terakhir.

“ Semua itu karena konflik antara masyarakat tujuh desa dengan PT AGU oleh Bupati setempat,” tambah mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) kalteng ini, yang mengaku baru dua hari yang lalu turun kelokasi sengketa lahan untuk mendampingi sejumlah warga yang dimintai keterangan oleh pihak berwajib setempat dalam kasus aksi pemblokiran jalan tersebut.

Nordin juga mengemukakan, sebagai solusi dan jalan pemecahan permasalahan ini adalah dengan mengembalikan dan mengakui hak hak masyarakat, serta melakukan negoisasi ulang tentang pola kemitraan yang akan dikembangkan dalam perkebunan kelapa sawit tersebut.

Adapun lahan dan kebun yang sudah dibangun seluas 3.600 hektare (sudah tidak ada masalah) dan lahan inti seluas 17.996 hektare sesuai dengan keputusan BPN yang dikeluarkan terdiri dari 3 HGU masing masing No.23/HGU/BPN/94 tanggal 10 mei 1994 seluas 3.217 hektare, No.90/HGU/BPN/04 tanggal 18 Oktober 2004 seluas 6.343 hektare dan No.41/HGU/BPN/05 tanggal 25 april 2005 seluas 8.436 hektare.
Enam Juta Hektare Lahan Kritis di Kaltim

Lahan kritis di Kalimantan Timur sudah mencapai 6 juta hektare yang membutuhkan penanganan serius sebagai upaya mengurangi kawasan kritis akibat degradasi hutan yang terus terjadi. [Gubernur Kaltim, H Suwarna AF pada Rapat Koordinasi Perencanaan Pembangunan Kehutanan Daerah (Rakorenbanghutda) Kaltim, di Hotel Mesra, Selasa (14/3) melalui Asisten II Sekprov Kaltim, Nusyirwan Ismail]

Menurutnya luasan degradasi hutan di Kaltim rata-rata mencapai 500 ribu ha setiap tahun, akibat praktek pebalakan liar dan pembukaan lahan oleh masyarakat yang kurang terkendali. “Pemerintah menyadari pemberantasan illegal logging tidak bisa ditawar-tawar lagi, wajib dilaksanakan semaksimal mungkin dan bukan hanya menjadi slogan semata," katanya.

Menurut dia, selain kegiatan illegal logging, rehabilitasi hutan harus ditangani serius dan sungguh-sungguh dengan komitmen moral dari tingkat pusat sampai daerah. Karena masalah ini sekarang menjadi persoalan nasional.

Diakui dalam pembangunan hutan dan kehutanan tidaklah mudah. Sebab banyak permasalahan dan tantangan yang perlu diantisipasi. Bukan saja masalah illegal logging tetapi juga masalah lain antara lain kebakaran hutan yang belum sepenuhnya mampu diatasi, dan status kawasan hutan yang belum mantap, sehingga ada peluang untuk merusak kawasan hutan untuk kepentingan sesaat.

Dia juga mengakui bahwa penyediaan lapangan kerja bidang kehutanan rendah sementara kebutuhan lahan untuk berbagai kepentingan sangat tinggi. Selain itu masih lemahnya disiplin serta komitmen beberapa pihak terhadap penyelenggaraan pembangunan hutan dan kehutanan yang akhirnya ikut andil mempercepat proses kerusakan hutan.

Sumber : http://kaltim.go.id/articles/print.php/1302

Tuesday, March 20, 2007

Ekologi Kalimantan Rusak Parah
Jakarta, Kompas -05-07-06

  • Tingkat keamanan ekologi Pulau Kalimantan saat ini berada di bawah standar aman. Itu terlihat dari rata-rata tutupan lahan hutan primer terhadap daerah aliran sungai (DAS) yang sudah di bawah angka minimum 30 persen.
  • Sebuah kajian menunjukan bahwa, kondisi tersebut menyebabkan wilayah Kalimantan setiap tahun mengalami banjir dan tanah longsor. Masyarakat Kalimantan hanya menuai banjir dan longsor akibat kerusakan ekologi yang sangat parah.
  • Pada tahun 2004, jika dirata-ratakan pada tingkat pulau, presentasi tutupan hutan alam primer terhadap DAS di Kalimantan hanya berkisar pada angka 20 persen. Jika dilihat per provinsi, rata-rata tutupan hutan primer terhadap DAS di Kalimantan Timur hanya 29 persen. Menyusul Kalimantan Barat 20 persen, Kalimantan Selatan 19 persen, dan Kalimantan Tengah 13 persen.
  • Data Departemen Kehutanan (2004) menunjukkan bahwa kawasan hutan lindung yang sudah kehilangan hutan di Kalimantan mencapai 1,8 juta hektar. Sementara kawasan hutan produksi yang juga sudah tidak berhutan 8,2 juta hektar.
  • Diperkirakan pada akhir 2006 tutupan lahan hutan primer terhadap DAS di Kalimantan akan terus menyusut hingga pada kisaran 15 persen, atau setengah dari kebutuhan angka minimum standar aman ekologi.
  • Kalau sudah tidak aman secara ekologis, tentu secara berangsur akan menjadi tidak aman secara ekonomi. Sangat besar biaya yang harus diambil dari APBD atau APBN untuk menanggulangi bencana alam yang terjadi.Penelitian Greenomics ; nilai divestasi modal ekologis untuk pengendalian tanah longsor bisa mencapai Rp 25,47 triliun per tahun, dan untuk pengaturan gangguan ekosistem serta tata air Rp 10,80 triliun per tahun. Nilai divestasi itu hanya parsial, belum termasuk kerugian karena hilangnya keragaman hayati dan lainnya.
Siaran Pers Bersama
WALHI Kalimantan Tengah
dan Save Our Borneo

Pengirim : WALHI Kalteng dan SOB
Kontak person : Satriadi dan Nordin

Cabut Perijinan yang Salahi Tata Ruang sebelum Revisi RTRWP”
Sawit dan Tambang Penjajah Gaya Baru di Sokong Kebijakan



(Palangkaraya), WALHI Kalimantan Tengah dan Save Our Borneo meyakini bahwa RTRWP yang sedang gencar-gencarnya dibahas untuk di revisi tidak lain hanya dilandasi dengan kepentingan penguasaan kawasan [hutan dan non-hutan] untuk kepentingan corporate [asing dan nasional]. Sayangnya justru wakil-wakil rakyat dan pemerintah daerah ini justru sangat tebuai dengan mimpi pertumbuhan ekonomi dari hasil membagi-bagi kawasan tersebut. Sedikitpun tidak terbetik perspektif kemandirian dan pemerataan ekonomi real kerakyatan, keadilan distribusi sumber-sumber agraria sebagai alat produksi rakyat, ketahanan pangan mandiri masyarakat local dan pengelolaan potensi bencana dari rencana revisi RTRW yang ada.


WALHI Kalimantan Tengah dan Save Our Borneo mensinyalir bahwa revisi tata ruang yang sedang di bahas sesunguhnya adalah karena ingin melakukan legalisasi atas praktik-praktik inskonsistensi dan melawan hukum yang telah dilakukan oleh beberapa pejabat pemerintah selama ini, terutama oleh beberapa bupati yang dengan sporadic memberikan ijin lokasi untuk perkebunan kelapa sawit dan insdustri ekstraktif [tambang] di areal-areal yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Untuk melakukan proses “pencucian dosa” tersebut, maka jalan paling sederhana adalah merubah peruntukan ruang sesuai dengan apa yang diinginkannya. Karena jika tidak, maka bukan tidak mungkin praktik-praktik ”penjualan lahan” ini pada saatnya akan bermasalah dengan hukum, seperti yang sudah terjadi dengan Gubenur Kalimantan Timur Suwarna AF.


Ironisnya, justru asset bangsa ini telah dijual, setidaknya digadaikan oleh pengambil keputusan pemerintahan sendiri, kepada modal Negara asing, padahal bentuk penjajahan paling mutakhir saat ini [neo-kolonialisme dan neo-liberalisme] adalah penjajahan modal, sehingga sesungguhnya antek dari penjajah gaya baru ini adalah pejabat yang menjual ijin-ijin pemilikan lahan untuk perkebunan dan industri ektraktif lainnya.


Sebagai contoh, WALHI Kalimantan Tengah dan Save Our Borneo mencatat bahwa sebanyak 346.188 ha areal hutan yang sesungguhnya tidak pantas dan belum boleh diberikan ijin untuk perkebunan kelapa sawit, sudah diberikan oleh Bupati Kabupaten Seruyan. Celakanya, pada tahun 2005, setidaknya 7 diantara ijin-ijin tersebut telah dijual kepada PPB Oilpalm-Malaysia [yang akan merger dengan Wilmar dan Cargill-USA].


Berikut daftar perusahaan yang dijual kepada PPB Oilpalm Bhd- Malaysia pada Oktober 2005 :

1. PT. Pukun Mandiri Lestari / Seruyan [19.000 ha] seharga Rp. 950 juta

2. PT. Bulau Sawit Bajenta / Seruyan [15.000 ha] seharga Rp. 375 juta

3. PT. Alam Sawit Permai / Seruyan [16.160 ha] seharga Rp. 950 juta

4. PT. Benua Alam Subur / Seruyan [16.160 ha] seharga Rp. 950 juta

5. PT. Bawak Sawit Tunas Belum / Seruyan [15.000 ha] seharga Rp. 285 juta

6. PT. Hamparan Sawit Eka Malan / Seruyan [20.000ha] seharga Rp. 285 juta

7. PT. Petak Malan Sawit Makmur / Seruyan [19.680 ha] seharga Rp. 283 juta

Sumber : Annual report PPB Oilpam Bhd, 2005



WALHI Kalimantan Tengah dan Save Our Borneo juga mencatat bahwa nilai penjualan sejumlah 7 perusahaan itu adalah sekitar 4.28 M dari luas 141.680 ha. Ini betul-betul nyata praktik broker penjual perijinan saja dan sangat mengkhianati nilai-nilai kebangsaan. Ada sinyalemen kuat bahwa perusahaan-perusahaan yang diberikan ijin ini dimiliki oleh famili dan kerabat dari pejabat tertinggi kabupaten, sehingga dapat dikatakan bahwa sangat kental aroma KKN-nya.


Dengan melihat sedikit dari contoh diatas, maka kami WALHI Kalimantan Tengah dan Save Our Borneo harus menyatakan bahwa revisi RTRWP ini hanyalah kedok bagi-bagi areal saja, dan pada intinya hanya kedok untuk memuluskan bisnis kalangan elite pejabat dan elite politik yang berkolaborasi dengan kaum neo-kolonialis. Oleh karena itu WALHI Kalimantan Tengah dan Save Our Borneo menuntut agar rencana revisi RTRWP dibatalkan, kecuali pemberian ijin-ijin penguasaan kawasan [terutama kebun, tambang dan kehutanan dan konservasi] yang menyalahi tata ruang selama ini dicabut terlebih dahulu. Karena pemberian ijin-ijin oleh pemerintah yang demikian betul-betul telah mengacaukan penataan ruang wilayah di Kalimantan Tengah.

# # #



Comunication :



Satriadi, Executive Director of WALHI Central Kalimanta
n
Jl. Cik Ditiro No. 16 Palangkaraya-Kalimantan Tengah
Telpon / Fax : 0536-............../3238382
Mobile : 08125090926
E-mail : satriadi@walhi.or.id or kalteng@walhi.or.id


Nordin, Save Our Borneo Co-ordinator

Jl. Aries No. 38 Komp. Amaco Palangkaraya-Kalimantan Tengah
Telpon [office] : 0536-3228100
Mobile : 08125080346
E-mail: nordin1211@yahoo.com.sg or sob_movement@yahoo.com.sg