Wednesday, June 20, 2007

“Bantai yang Dibantai”

Pencaplokan Tanah Warga oleh PT. Antang Ganda Utama

Bantai dalam istilah lokal adalah sebuah hamparan peladangan dan areal tani hutan untuk peladangan dan atau yang kemudian menjadi perkebunan yang dikelola secara gilir balik oleh komunitas masyarakat di Kabupaten Barito Utara, baik oleh komunitas adat Bakumpai,Tawoyan, Lawangan, Bentian, Maanyan, Dusun Bayan, Dusun Malang dll.

Sebuah bantai, yang biasa juga disebut Tompong biasanya dimiliki oleh sedikitnya 5 keluarga yang membuka pada awalnya secara ramai-ramai dan gotong royong [handep]. Semakin hari berjalan, waktu berlalu, bantai semakin melebar sesuai dengan system ladang gilir balik. Ladang yang lama ditanami dengan tanaman keras, semacam buah-buahan, rotan dan karet.

Sebuah bantai dipimpin oleh seorang Kepala Bantai yang merupakan orang yang dituakan atau orang yang permulaan mengajak dan memotivasi untuk membuka bantai tersebut. Penunjukan kepala bantai ini hanya dilakukan secara lisan dan disepakati secara moral. Kepala Bantai mempunyai tugas untuk mengatur kerja-kerja peladangan, misalnya handep, atau menentukan dan mengajak musyawarah anggota bantai untuk mencari dan mengatur lokasi ladang baru.

Lokasi bantai berada tidak di dalam kampung, jaraknya bisa satu jam sampai 3 jam perjalanan kaki atau antara 4 sampai 8 km. Karena jaraknya yang cukup jauh, maka peladang bantai membuat pondok untuk menginap sekaligus untuk menjaga bantai-nya dari gangguan hama dan binatang pemangsa. Sampai dengan selesainya musim panen, dan sejalan dengan umur pondok yang memang dibuat hanya untuk sementara, maka peladang kembali ke kampong. Selanjutnya kembali lagi pada musim tanam ladang baru, dimana bekas ladang lama sudah mulai ditanami dengan tanaman keras produktif.

Pengelolaan bantai ini belakangan mengalami masalah. Penyebabnya berbagai hal misalnya adanya stigmasi sebagai peladang berpindah dan perambah hutan, juga karena adanya “perebutan” lahan dengan industri ektraktif tambang dan lebih jauh lagi juga dengan perkebunan skala raksasa kelapa sawit. Bantai yang tersisa dan masih bisa dikelola hanya yang berada diluar konsesi tambang dan perkebunan kelapa sawit. Tidak jarang sekelompok komunitas disuatu kampong sudah tidak mempunyai areal untuk bantai lagi, untuk ini terpaksa ikut berladang di bantai milik warga dari kampong lain yang masih ada.

Bantai vs Kebun PT. Antang Ganda Utama

Sebagai sebuah pembelajaran, bantai-bantai yang berada di Desa Hajak, Dusun Sikuy, Dusun Pandran Jari dan beberapa kampung lain di Kecamatan Teweh Tengah, Gunung Timang dan Montalat dapat dikatakan sudah musnah, di caplok oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Antang Ganda Utama, sebuah anak perusahaan dari Makin Group [Gudang Garam].

Sampai saat ini, setidaknya telah diidentifikasi ada 14 bantai yang dicaplok, dimusnahkan dan dirubah menjadi kebun kelapa sawit, sehingga membuat warga setempat kehilangan alat produksi pertanianya berupa lahan dan tanah untuk lading dan perkebunan.

Daftar nama Bantai di Desa Hajak dan Dusun Sikuy - Kecamatan Teweh Tengah yang dicaplok untuk perkebunan kelapa sawit PT. Aantang Ganda Utama.

  1. Bantai Nalau Kilip I
  2. Bantai Nalau Kilip II
  3. Bantai Nalau Kilip III
  4. Bantai Simpang Keruh I
  5. Bantai Simpang Keruh II
  6. Bantai Simpang Keruh III
  7. Bantai Junjung Payung
  8. Bantai Mangan Danun I
  9. Bantai Mangan DAnum II
  10. Bantai Taruh Raya
  11. Bantai Orum
  12. Bantai Bina Warga
  13. Bantai Ariau Bulau, dan
  14. Bantai Karet ADB

Musnahnya bantai - bantai diatas akibat pengembangan perkebunan kelapa sawit PT. Antang Ganda Utama pada tahun 2003 telah memunculkan konflik lahan antara warga dengan PT. Antang Ganda Utama. Sebagian besar warga merasa tidak pernah memberikan ijin atau menghibahkan lahan-lahan bantai tersebut kepada perusahaan. Tetapi PT. AGU telah membuka dan mengganti bantai mereka dengan kelapa sawit.

Proses ”pembantaian” bantai ini tidak lepas dari peranan beberapa orang warga yang dapat disebut oportunis dan petualang broker lahan. Sebut saja misalnya beberapa bantai yang disebutkan oleh PT. AGU telah dihibahkan melalui program ”tali asih” dengan ganti rugi sebesar Rp. 500.000,- per hektare, yaitu :

  1. Bantai Simpang Keruh I, sebenarnya dibroker dan diserahkan secara sepihak oleh seorang warga desa Hajak berinisial JC;
  2. Bantai Simpang Keruh II, di broker dan diserahkan sepihak oleh warga desa Hajak juga yang berinisial Gun;
  3. Bantai Simpang Keruh III oleh Al warga desa Hajak;
  4. Bantai Mangan Danum I oleh warga Hajak dengan inisial Nun;
  5. Bantai Mangan Danum II oleh warga Hajak dengan inisial UE.

Anehnya, mereka yang disebut diatas masing masing berperan ganda, dimana misalnya : untuk bantai Simpang Keruh I, yang mengaku sebagai kepala bantai adalah JC dan anggotanya adalah Gun, Al, Nun dan UE serta beberpa yang lain. Demikian berikutnya, seorang kepala bantai di suatu bantai juga merangkap anggota di bantai lainya. Jadi bantai-bantai yang diserahkan kepada PT. AGU tersebut hanya terdiri dari orang-orang yang itu-itu saja.

Sebenarnya tidak hanya 5 orang ini yang terlibat, tetapi juga ada beberapa orang lagi, yang pada saat itu [2003] diangkat menjadi “humas” PT. AGU untuk urusan khusus pembebasan lahan, yaitu Daweng, Surya Baya, Hedy Gagat.

Saat ini semuanya sudah tidak bekerja untuk PT. AGU lagi. Disamping itu juga ada tersebut nama-nama lain, yaitu : Edison dan Sandia yang saat ini bekerja sebagai penjaga malam di PT. AGU yang terlibat dalam proses pencaplokan lahan warga ini dengan menjualnya secara sepihak.

Buntut dari penjualan secara sepihak oleh beberapa orang yang namanya tersebut diatas tadi, pada tahun 2004 sekelompok warga melaporkan masalah itu kepada kepolisian dan akhirnya JC dijatuhi hukuman 7 bulan penjara akibat menggelapkan uang tali asih berjumlah ratusan juta rupiah milik warga anggota bantai Simpang Keruh dan lainnya.

Sementara ketika masalah ini naik kepermukaan dan diproses secara hukum, Daweng dan Surya Baya serta Edison melarikan diri [buron] sampai pada saat JC menjalani hukuman dan menjadi tumbal dari perbuatan mereka sendiri itu. Saat inipun ketika warga bangkit menuntut pengembalian bantai-bantai tersebut Surya Baya lagi-lagi melarikan diri karena takut terkena imbas dan dituntut tanggungjawabnya atas perbuatan menjual lahan-lahan warga kepada PT. AGU pada tahun 2003 lalu.

Pecah Belah Bantai

Tidak habis dirundung malang, itulah nasib warga pengelola bantai-bantai yang telah musnah sebagian besarnya dan masih tersisa beberapanya. Setelah dicaplok oleh PT. AGU, diciptakan lagi konflik horizontal oleh kolega PT. AGU bidang kehutanan, yaitu HPH PT. Austral Byna dengan membentuk kelompok tani karet dampingan mereka. Masalahnya yang muncul adalah, lahan-lahan yang diperuntukan bagi garapan oleh kelompok tani karet binaan PT. Austral Byna ini bertumpang dan menindih dengan bantai-bantai warga.

Bantai ditindih lahan kelompok tani karet binaan PT. Austral Byna

Kelompok Tani

Bantai yang overlap

Dambung Jaya

Mangan Danum

Inu Rubei

Ariau Bulau

Sungai Wahai

Ariau Bulau


Di sinyalir oleh warga bahwa kelompok tani-kelompok tani ini hanya menjadi kaki tangan suatu kekuatan yang sulit dilihat untuk menguasa lahan-lahan yang dicurigai berisi kandungan batu bara dibawahnya. Sinyalimen ini terlihat dari anggota kelompok tani tersebut yang juga membentuk koperasi, padahal tidak jelas juntrungan usahanya dan kegiatan koperasi tersebut, sepertinya memang dalam masa kedepan mau diarahkan untuk menajdi koperasi yang mengelola Kuasa Pertambangan [KP] batu bara.

###