Tuesday, December 30, 2008

Konflik ; PT. SSM [Musim Mas Group] dan Warga Kanyala + Tanah Putih

Seputar Kanyala

Desa Kanyala merupakan salah satu desa yang berada dipinggir sungai Kanyala yang bermuara langsung ke sungai Mentaya yang mengalir ke Laut Jawa melalui Kota Sampit. Akses menuju desa ini dapat dijangkau melaui jalur sungai dengan menggunakan speedboat ataupun taksi air.

Jarak tempuh dari Sampit, Ibukota Kabupaten Kotawaringin Timur kurang lebih 45 km dengan waktu tempuh sekitar 3 jam melalui kota besi. Sedangakan untuk mencapi desa ini mengunakan jalan darat dapat ditempuh melewati jalan perusahaan sawit PT. Sukajadi Sawit Mekar [SSM] masuk dari simpang Sebabi Ibokta Kecamatan Telawang di Kilometer 98 jalan raya Sampit - Pangkalanbun.

Penduduk desa Kanyala kebanyakan berasal dari suku Dayak Tomuan dan Katingan yang sudah lama bermukim di wilayah ini sejak Indonesia belum merdeka. Diperkirakan penduduk Desa Kanyala ini berasal dari Katingan hal ini ditandai dengan bahasa dominan yang digunakan adalah bahasa Katingan.

Desa Kanyala pada awalnya merupakan daerah pendukuhan yang digunakan masyarakat untuk berladang sejak tahun 1920-an dan mulai menetap dan bermukim di wilayah ini sekitar tahun 1940-an. Hingga saat ini desa Kanyala terdiri dari 10 pemukiman yang terpencar dan tersebar disepanjang sungai Kanyala yaitu Bukit Kupang, Dukuh Musim, Ladah Tuan, Dukuh Datu, Bangalun, Sei Bugis, Luwuk Rangas, Bukit Lapeh, Bukit Linang dan Tumbang Binjai.

Sebelumnya wilayah ini merupakan bagian dari Desa Palagan yaitu sebuah Desa di Sungai Seranau namum pada tahun 2003 dimekarkan menjadi Desa Kanyala yang definitif. Secara administrasi Desa Kanyala terdiri dari 8 RT (rukun tetanga) dan merupakan bagian dari Kecamatan Telawang yang baru dimekarkan dari Kecamatan Kota Besi pada tahun 2005.

Secara geografis Desa Kanyala memanjang di sungai Kanyala yang panjangnya sekitar 20 km yang mebentang dari timur ke barat dan bermuara di sungai Mentaya, desa ini berbatasan dengan Desa Hanjalipan disebelah utaranya, sebelah timur dengan Desa Simpur dan sebelah barat dengan Desa Sebabi sedangkan disebelah selatan berbatasan dengan Desa Palangan dan Desa Tanah Putih.

Jumlah penduduk Desa ini adalah sekitar 1900 jiwa ( ± 400 KK ) dengan mata pencaharian utamanya adalah petani karet dan peladang.

Sejarah pengelolaan sumber daya alam wilayah Desa Kanyala sebelumnya merupakan areal konsensi perusahaan HPH PT. Mentaya Kalang yang beroperasi sejak tahun 1970-an hingga tahun 1996.

Pada tahun 2001 sebagian wilayah di desa Kanyala menjadi lokasi areal rebosiasi DAK-DR seluas 840 ha karena masih merupakan kawasan hutan produksi. Pada tahun 2004 mulai masuk konsensi pertambangan kuasa tambang (KP) yaitu PT. Sari Ramin / Ming San Jaya yang kemudian dibeli oleh PT. Kota Besi Iron Mining yang bergerak dalam pertambangan biji besi selaus 1.500 ha dengan masa jangka waktu ekspolitasi selama 30 tahun.

Berdekatan dengan kedua perusahaan tambang bijih besi diatas tadi juga terdapat KP. Bijih besi milik PT. Feron Tambang Kalimantan seluas 160 Ha. Dengan masa jangka waktu eksplorasi selam tiga tahun sejak tahun 2005-2008 namu kenyataanya sudah melakukan aktivitas (eksploitasi).

Pada rentang waktu tahun 2004-2006 ada 3 buah perusahaan perkebunan sawit mulai masuk di wilayah ini yaitu PT. Sukajadi Sawit Mekar (19.000 Ha), PT. Maju Aneka Sawit (19.000 Ha) dan terakhir perusahaan perkebunaa yang juga masuk di wilayah desa Kanyala adalah PT. Karunia Kencana Permai Sejati 19.000 ha.(Wilmar Group)

Penguasaan wilayah oleh perusahaan sawit dan pertambangan tersebut mengakibatkan semakin sempitnya ruang keloala masayarakat sehingga mengciptakan konflik yang berkepanjangan. Konflik bukan saja terjadi dengan masyarakat lokal juga konflik terjadi antara konsesi sawit dengan KP tambang terjadi tumpang tindih yaitu antara PT. SSM dan PT. Feron Kalimantan Mining.

Masuknya PT. Sukajadi Sawit Mekar (SSM) dan Maju Aneka Sawit (MAS)

PT. Sukajadi Sawit Mekar merupakana salah satu perusahaan sawit yang banyak menciptakan konflik dengan masyarakat. Sejak masuknya perusahaana pada tahun 2004 telah banyak penolakan yang dilakukan oleh masyarakat.
Untuk memperoleh lahan di desa Kanyala perusahaan menggunakan aparat desa dengan aparat kepolisian untuk membebaskan lahan-lahan masyarakat. Aparat desa biasanya terdiri dari kepala desa (saat itu kepala desanya masih Pejabat Sementara -Pjs karena baru di mekarkan dari Desa Palangan) bersama perangkat pemerintahan desa lainya, selain itu juga tokoh-tokoh adat termasuk damang kepala adat dan tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap berpengaruh di Desa Kanyala dilibatkan untuk meredam penolakan oleh masyarakat.

PT. SSM beropersi dengan memperoleh Izin Prinsip meluai surat No. 525.26/54/II/Ekbang/2004 yang di terbitkan oleh Bupati Kotawaringin Timur untuk melaksanakan pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas + 18.000 Ha pada tanggal 27 Pebruari 2004.

Kemudian berselang setengah bulan saja telah diterbitkan Ijin Lokasi pada tanggal 12 Maret 2004 dengan nomor surat No. 193.460.42 untuk keperluan pembangunan perkebunan Kelapa Sawit seluas + 16.300 ha di Desa Sebabi, Kanyala dan Tanah Putih Kecamatan Kota Besi berdasarkan hasil pengecekan lapangan oleh tim dari Kantor Pertanahan Kotawaringin Timur.

Selanjutnya Izin Usaha Perkebunan (IUP) diperoleh oleh PT. SSM dari Bupati Kotawaringin Timur dengan surat No. 525.26/38/I/Ekbang/2005. untuk melakukan pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas + 12.386,27 Ha di Desa Sebabi, Kanyala dan Tanah Putih Kecamatan Kota Besi.

Berdasarkan surat perijinan tersebut PT. SSM mulai membabat dan melakukan pembukaan lahan di sekitar areal lokasi yang diberikan ijin termasuk areal Reboisasi proyek Gerakan Nasional Rehabilitasi HUtan dan Lahan [GNRHL] yang statusnya masih berada di hutan produksi berdasarkan peta kadastral padu serasi Departemen Kehutanan tahun 1999.

Selain PT. Suka jadi Sawit Mekar (SSM), perusahaan yang masuk di wilayah ini adalah PT. Maju Aneka Sawit (MAS) dengan luasan 19.000 ha yang beroperasi berdasarkan ijin lokasi yang dikeluarkan oleh Bupati Kotim pada tanggal 23 Juni 2004.

Kedua perusahaan perkebunan sawit ini merupakan perusahaan yang tergabung dalam Group Musimas sebuah holding perusahaan yang bergerak di bidang industri sawit yang berkantor pusat di Medan. Musimas Group ini memiliki industri terpadu di bisnis minyak kelapa sawit mulai dari perkebunan kelapa sawit, pabrik CPO, pabrik refinery, pabrik sabun, pabrik margarine dan oleochimical.

Musimas Group hingga tahun 2008 telah memiliki 122.512 ha kebun sawit dari 8 perusahaan yang tersebar di lima provinsi di Indonesia dimana 4 perusahaan berada di Kalimantan Tengah tepatnya di Kabupaten Kotawaringin Timur termasuk 2 perusahaan di atas.

PT. Sukajadi Sawit Mekar pada tahun 2007 mengajukan untuk memperoleh sertifikat RSPO sebagai salah satu cara untuk memperoleh citra bersih sebagaimana yang tertuang dalam prinsip dan criteria RSPO. Sayang, kenyataan dilapangan masih jauh dari harapan dimana masih banyak tersisa konflik dan perbuatan yang tidak layak yang dipraktekan oleh perusahaan dalam memperoleh lahan-lahan milik masyarakat termasuk kuburan juga digusur tanpa ampun, sementara pihak-pihak yang di anggap merugikan dibungkam dengan cara-cara yang tidak manusiawi bahkan diintimidasi dan penjarakan (kriminalisasi).


Konflik Berkelanjutan SSM vs Warga

Konflik masyarakat dengan perkebunan sawit (PT. SSM dan PT. MAS) mulai mengemuka ketika proses pembukaan perkebuanan pihak perusahaan menggunakan cara intimidasi dan penipuan tanpa sosialiasai di tingkat masyarakatnya. Banyak lahan-lahan masyarakat yang digusur tanpa proses ganti rugi bahkan sebagian ladang karet dan jelutung serta kebun rotan masyarakat musnah digusur.

Perilaku ini menyebabakan kemarahan dan penolakan dari masyarakat disekitar pembukaan areal yaitu Desa Sebabi, Tanah putih dan Kenyala.

Pada tanggal 24 April 2005 masyarakat sempat membuat portal jalan milik PT. SSM sebagai bentuk protes terhadap pembukaan perkebunan sawit di desa mereka namun tidak ditanggapi oleh perusahaan malah menurunkan kepolisian untuk membubarkan dan mengintimidasi masyarakat.

Tidak berhenti disitu pada tanggal 4 Juni 2005 masyarakat kemudian menekan pemerintah daerah dan DPRD Kotim dengan melakukan aksi di kantor DPRD yang diikuti hampir 500 orang masyarakat Kanyala menuntut dicabutnya izin perusahaan PT. SSM dan PT. MAS karena dianggap merugikan dan mencaplok tanah-tanah masyarakat.

Masyarakat saat itu diterima oleh pimpinan DPRD Kotim juga perwakilan pemerintah yaitu Kadisbun Kab. Kotim. Dalam pertemuan tersebut terungkap bahwa memang ada sebagian tanah-tanah masyarakat yang digarap oleh perusahaan karena bukti-bukti yang kuat yang di bawah oleh masyarakat tentang penyerobotan tanah yang dilakukan oleh perusahaan.

Hasil pertemuan tersebut memutuskan perusahaan harus menghentikan operasinya sebelum semua persoalan selesai, namun pihak perusahaan tidak mengindahkan keputusan tersebut, akibatnya masyarakat mengadukan persoalan ini dengan mendatangi DPRD Kalteng dan diterima oleh Komisi B DPRD Kalteng yang dihadiri oleh RYM Subandi, HM Asera, Ir Borak Milton dan Ir Artaban.

Dalam pertemuan tersebut Komisi B DPRD Propinsi Kalteng berjanji untuk turun kelapangan dan mengkordinasikan hal ini dengan pemerintah Kotawaringin timur.

Semua upaya yang dilakukan oleh masyarakat tidak pernah membuahkan hasil dan tidak pernah di selesaikan sehingga mengakibatkan konflik masih terus saja berlanjut hingga saat ini.

Kasus yang mengemuka adalah kasus pencaplokan tanah milik leluhur Langkai TN yang sempat di penjara karena mempertahankan hak atas tanahnya yang sudah dikelola secara turun temurun oleh keluarganya sejak tahun 1943.

Bukan hanya masyarakat Kanyala yang menderita atas pencaplokan tanah-tanah oleh PT. SSM dan PT. MAS bahkan di desa Tanah Putih, kuburan masyarakat digusur oleh pihak perusahaan tanpa sepengetahuan ahli waris. Selain pengusuran kuburan banyak tanah-tanah masyarakat yang di gusur walaupun sudah memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT) dari pemerintah desa bahkan segel adat sejak jaman kolonial Belanda.

Kejadian terakhir pada tanggal 29 November 2008 warga desa Tanah Putih Dusun Bukit Limas melakukan pemblokiran di lahan sebagai bentuk protes atas pengusuran lahan milik mereka oleh PT. SSM. Mereka membangun perkemahan di lokasi yang dianggap menjadi konflik, namun aksi masyarakat bukannya di selesaikan dengan persuasif malah dilakukan tindakan reperesif oleh aparat kepolisian dengan membubarkan dan membawa barang-barang beruapa tenda adan alat masak milik warga.


Konflik Lahan dengan Tambang Bijih Besi


Konflik tidak saja terjadi dengan masyarakat local tetapi juga terjadi dengan konsensi pertambangan antara PT. SSM dengan PT. Feron Kalimantan Mining dan PT. Sari Ramin yang bergerak di bidang pertambangan biji besi.

Konflik ini sempat memanas karena masing-masing pihak menggangap bahwa lokasi merupakan hak mereka karena telah diberikan ijin oleh pemerintah. Hal ini membuat marah masyarakat yang kemudian memportal jalan-jalan milik kedua perusahaan tersebut, karena menganggap bahwa sesunguhnya yang memiliki areal lokasi tersebut adalah masyarakat. Menurut warga kawasan tersebut sudah dikelola secara turun temurun sedangkan pihak perusahaan hanya memperoleh ijin dari pemerintah tanpa punya sejarah pengelolaan terhadap kawasan yang tiba-tiba datang dan memiliki luasan tanah yang begitu besar.

Dalam menyelesaikan persoalan dan konflik PT. SSM cenderung lebih senang menggunakan aparat kepolisian dan pemerintah desa. Sudahs angat jelas pihak-pihak initidak berpihak pada rasa keadilan dimana masyarakat dimana masyarakat selalu ditempatkan sebagai pihak yang tidak memilki hak atas pengelolaan kawasan. PAdahal sejarah membuktikan, sesungguhnya sebelum masuknya konsesnsi sawit dan tambang di wilayah ini masyarakat sudah lama mengelola kawasan tersebut secara turun temurun berdasarakan kearifan local dalam mengelola sumber daya alamnya.


Pelanggaran oleh Perusahaan

Sumber konflik yang terjadi sesunguhnya di mulai dari pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh PT. SSM sejak pertama masuk di wilayah Kanyala dan sekitarnya, sementara cara penyelesaian konflik dengan masyarakat selau menggunakan aparat kepolisian untuk intimidasi tanpa meneyelesaikanya langsung dengan masyarakat.
Berikut adal beberapa dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan:
  1. PT. SSM ketika masuk diwilayah desa Kanyala dan sekitarnya tidak melakukan sosialisasi tentang rencana pembukaan perkebunan sawit. Kalau ada itu hanya dilakukan kepada segelintir orang yaitu ke pihak aparat pemerintah desa.
  2. Dalam menangani konflik cenderung menggunakan aparat kepolisian dan pemerintah desa tanpa berusaha untuk menyelesaikan langsung dengan masyarakat.
  3. PT. SSM melakukan penggusuran tanah-tanah milik masyarakat tanpa ganti rugi yang layak, sedangkan masyarakat yang tidak mau menyerahkan lahan ditipu bahkan dipaksa untuk menyerahkan lahan sebagaimana yang terjadi terhadap saudara Langkai TN.
  4. PT. SSM melakukan penggusuran terhadap tanah-tanah yang sudah memiliki surat keterangan tanah milik masyarakat antara lain:
  • Langkai TN (surat keterangan bukti hak menurut hukum adat tahun 1997 seluas ± 150 Ha di desa Kanyala yang ditandatangi oleh kepala Desa Palangan, Kepala Dusun Luwuk Rengas dan Damang kepala adat dan saksi sebatas) lahan tersebut garap oleh PT. Suka jadi Sawit Mekar
  • Jantan Bin Leger (surat tanah yang berlokasi di Desa Tanah Putih, Sungai Rasak Dukuh Sati) yang digarap oleh PT. Maju Aneka Sawit
  • Leger Judi (surat pernyataan pengakuan tanah tahun 2003 seluas 400.000 meter persegi di wilayah dukuh Sati Desa Tanah Putih yang disahkan oleh Kepala Desa Tanah Putih dan Kepala Dukuh Sati dan saksi sebatas) yang digarap oleh PT. Maju Aneka Sawit.
  • Siker Judi (surat Pernyataan Pengakuan Tanah di wilayah sungai Seranau Dukuh Sati Desa Tanah Putih pada tahun 2003 seluas 400.000 meter persegi yang disahkan oleh Kepala Desa Tanah Putih dan Kepala Dukuh Sati beserta saksi sebatas) yang digarap oleh PT. Maju Aneka Sawit.
  • Menggo Nuhan (surat Keterangan Hak Atas Tanah Ulayat Hukum Adat, wilayah Tanah Putih tahun 2006 seluas 119.072 meter persegi (11,90 ha) yang di tandatanagi oleh Sekertaris Desa Tanah Putih, Keapla Desa Tanah Putih dan Damang Kepala Adat Kecamatan Kota Besi dan saksi sebatas) yang digarap oleh PT. Maju Aneka Sawit.
  • Akir Bin Saun (surat pernyataan tanah seluas 65.550 meter persegi tahun 2006 yang di tandatangai oleh ketua RT 02 Desa Tanah Putih dan Kepala Desa Tanah Putih beserta saksi sebatas) yang di garap oleh PT. Maju Aneka Sawit
  • Akir Bin Saun (surat Pernyataan Tanah seluas 9.450 meter persegi tahun 2006 yang di tandatangai oleh Ketua RT 02 Tanah Putih dan Kepala Desa Tanah Putih) yang di garap oleh PT. Maju Aneka Sawit
5. Penggusuran 2 buah kuburan masyarakat, keluarga Apin di Desa Tanah Putih oleh PT. Maju Aneka Sawit (lokasi berdasarkan GPS berada pada titik Kordinat S 02º 31’07 E 112º 35’30)
6. PT. SSM melakukan penggarapan di areal lokasi reboisasi DAK DR, seluas 840 ha yang di tanam sekitar 1. 092. 587 batang pohon (mahone/ campuran)
7. PT. SSM mengarap lokasi di wilayah kawasan hutan produksi tanpa ijin pelepasan kawasan hutan dari menteri kehutan sesuai peratutan yang berlaku.
8. Mempidanakan masyarakat (Saudara Langkai TN dan Jon Senturi) dengan aduan yang mengada-ada, yaitu perbuatan tidak menyenangkan.

Tuesday, December 16, 2008

RTRWP Jalan Pintas Pemutihan Salah Ijin


“ Sebagai Pelanggaran Tata Ruang yang Masih Berlaku”

Palangkaraya, [saveourborneo]. Revisi [lebih tepatnya bongkar habis] Perda RTRWP Kalimantan Tengah 2003 yang sebenarnya masih seumur jagung dengan jelas dapat manujukan bahwa telah tejadi kesalahan fatal dalam penyusunan RTRWP 2003 atau sebaliknya telah terjadi pelanggaran fatal dan kriminal atas RTRWP 2003 tersebut.

Save Our Borneo mensinyalir terjadi kekeliruan dan kurang cermatnya penyusunan RTRWP 2003 lalu yang kemudian berimplikasi pada tindakan inkonsisten pejabat daerah dalam pemberian ijin atas kawasan, khususnya perkebunan dan pertambangan. Sebagai akibat itu semua, maka dengan sengaja telah dikeluarkan ijin-ijin pemanfataan kawasan untuk perkebunan dan pertambangan secara serampangan dan menyalahi tata ruang yang jelas-jelas berlaku.

Pemberian ijin diluar kawasan yang sudah ditentukan ini telah berlangsung sejak awal dan berlanjut terus meskipun RTRWP 2003 telah berlaku, akibatnya banyak terjadi kesalahan lokasi dan peruntukannya.

Sudah barang tentu, kondisi demikian akan berimplikasi hukum dan politis bagi pejabat pemberi ijin – yang kebanyakan adalah para bupati, yang diamini oleh rekomendasi pemerintah propinsi. Untuk menghindari resiko dan konsekwensi hukum yang bisa berakibat penjara, maka secara berjamaah digulirkan rencana revisi RTRWP dengan berbagai argumentasi yang seringkali tidak masuk akal.

Dengan demikian, revisi atau lebih tepatnya bongkar ulang RTRWP ini merupakan upaya “pemutihan” atas ijin-ijin lokasi yang sudah dikeluarkan namun menyalahi RTRWP yang berlaku. Tentu saja jalan pintasnya adalah “revisi”.

Dengan demikian, seharusnya “revisi” RTRWP ini tidak dilakukan dengan kepentingan “memutihkan” kesalahan pemberian ijin yang sudah dilakukan, bahkan kesalahan-kesalahan tersebut harus diambil tindakan, baik secara administrasi dengan cara pencabutan ijin maupun dengan cara hukum dengan cara penindakan sesuai dengan Undang-undang Penatan Ruang yang berlaku.

Ijin perkebunan kelapa sawit yang diberikan oleh para bupati yang berada dalam kawasan hutan mestinya dicabut terlebih dahulu, untuk kemudian dilakukan peneliatian dan sinkronisasi konfrehensip atas kelayakan dan kepatutan kawasan tersebut dialih fungsikan. Pengalih-fungsian kawasan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik ekologi dan sosialnya dijamin akan menimbulkan kerawanan social dan bencana ekologis.

Tidak jarang pemberian ijin untuk perkebunan kelapa sawit justru berada diatas kebun-kebun, ladang dan belukar yang menjadi alat produksi masyarakat, akibatnya sejak dari awal proyek-proyek dimaksud menuai konflik.

Dibagian lain, karena ketidak telitian dalam alih fungsi kawasan hutan, meyebabkan terjadi degradasi fungsi lahan untuk membendung bencana ekologis, baik banjir, kekeringan, kebakaran dan pemanasan iklim.

Save Our Borneo kembali menegaskan agar bongkar ulang RTRWP tidak dilakukan sebelum status-status kawasan dikembalikan dulu seperti semula. Juga harus dilakukan penyelidikan dan penindakan atas manipulasi dan kesalahan sengaja pada pemberian ijin-ijin lokasi untuk proyek-proyek perkebunan, pertambangan, transmigarasi dan lain-lain.

Kasus alih fungsi hutan di Kalimantan Tengah merupakan hal serupa dan sebangun dengan kasus di Sumatera Selatan dan Pulau Bintan yang melibatkan banyak pejabat melakukan tindakan kolotif dan koruptif. Oleh karenanya aparat hukum bahkan KPK harus bertindak dengan cepat sebelum “pemutihan” ijin manipulatif tersebut terjadi melalui “bongkar ulang” RTRWP.

###

Lagi, Sawit Berbuah Konflik

Tarang bin Udil berada diatas kuburan orangtuanya, Udil bin Tingas yang tepat berada dijalan blok perkebunan kelapa sawit PT. Mustika Sembuluh [Wilmar Group]

“ Wilmar Gusur Kuburan di Tanah Putih”

Palangkaraya, [saveourborneo]. Krisis moral nampaknya memang betul-betul menghinggapi pengusahaan perkebunan kelapa sawit. Bahkan sebuah group perkebunan kelapa sawit raksasa seperti Wilmar International Limited melalui anak perusahaannya PT. Mustika Sembuluh dengan garang telah memberangus kebun-kebun bahkan pekuburan warga.

Sejumlah warga Desa tanah Putih Kecamatan Talawang Kotim melaporkan kepada SOB bahwa setidaknya sampai saat ini ada 8 kepala kuburan yang diluluh lantakan oleh PAT. Mustika Sembuluh [Wilmar Group] di Tanah Putih.

Sejak tahun 2005 sampai saat ini kuburan yang dibouldozer secara keji oleh PT. Mustika Sembuluh masih berantakan, bahkan disalah satu lokasi pekuburan dengan 2 kepala didalamnya telah dijadikan jalan diatasnya.

Tarang bin Udil, ahli waris kuburan yang telah digusur menjadi jalan kebun sawit pada blok MS-3/122 tersebut mengatakan, perusahaan dengan seenaknya mau memberikan konpensasi berupa uang sejumlah 90-an juta untuk 8 makam dimaksud, sedangkan secara moral mereka tidak mau bertangung jawab.

Pengaduan ahli waris lainnya, Umbung bin Jahun bahwa ada 6 makam dan sandung keluargnya yang juga mau diberikan penggantian oleh perusahaan bersama-sama dengan keluarga Tarang, tetapi mereka menolaknya.

Keduanya menginginkan agar perusahan, disamping memberikan konpensasi yang lebih memadai untuk tiwah keluarga mereka, juga harus membuat pernyataan bahwa dalam waktu kedepan dan sampai selamanya tidak akan pernah lagi melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan masyarakat, apalagi sampai menggusur kuburan.

Pada perundingan yang di mediasi yang dilakukan oleh Damang Kepala Adat di Tanah Putih dan Camat Talawang dengan tegas mereka tolak jika perusahaan tidak mau menyetujui untuk membuat sumpah janji tidak mengulanginya lagi dimanapun dan kapanpun itu.

Selanjutnya, para ahli waris berencana mengadukan perbuatan pidana perusakan kuburan trsebut ke olres Kotim, mereka berharap agar Polres Kotim memang menjadi polisi rakyat, bukan polisi perusahaan.
-------------------


Saturday, September 27, 2008

Elegi buat Langkai


Langkai, bujang keling dari Kampung Kanyala Kecamatan Kota Besi Kabupaten Kotim-Kalteng tidak habis dirundung apes. Karenanya dia berteriak menyampaikan bahwa dia dan kawan serta sanak saudaranya secara tegas meminta, mendesak dan menuntut untuk dikembalikannya hak mereka atas tanah yang telah dikelola secara adat sejak tahun 1943 berlokasi di Desa Kanyala Kecamatan Kota Besi Kotawaringin Timur.

Diceritakan olehnya bahwa tanah dimaksud seluas 150 hektare dengan panjang 1.500 m, lebar 1.000 m merupakan asal usul dari waris orangtua / kakek mereka. Tanah dimaksud secara sepihak dan tanpa proses persetujuan dari ahli waris pemiliknya digarap secara paksa dan tidak sah oleh PT. Sukajadi Sawit Mekar [PT. SSM] pada tahun 2006 antara bulan Februari-Agustus 2006.

Proses penggarapanya dimulai dengan upaya paksa masuknya PT. SSM, sejak bulan Maret 2006 dengan mengirimkan sejumlah karyawan untuk melakukan pembersihan dan pembabatan pada lahan yang pada saat itu telah berisi tanam tumbuh berupa Jelutung, Karet, Rotan, Buah-buahan dll.

Dalam upaya untuk mepertahankan tanah dan lahan termasuk kebun diatasanya, Langkai TN. telah mengalami perlakuan yang kurang baik dari perusahaan PT. SSM dan cenderung dapat dikatakan tidak kondusif untuk menyelesaikan sengketa lahan tanah kebun dimaksud secara baik-baik.

Pada tanggal 21 Maret 2006 General Manager PT. SSM [Rusli Salim] mendatangi Langkai TN untuk membujuk agar yang bersangkutan selaku kuasa ahli waris keseluruhan untuk mau melepaskan lahan tanah dimaksud kepada PT. SSM, tetapi yang bersangkutan tidak bersedia.

Berikutnya pada tanggal 23 Maret 2006 serombongan karyawan PT. SSM datang ke lokasi lahan tanah dan secara sepihak melakukan pembabatan dan perintisan untuk dijadikan acuan land clearing bagi pembersihan lahan oleh PT. SSM, kegitan ini diketahui oleh saudara Langkai TN, kemudian Langkai TN mengajak para karyawan tersebut kepondoknya untuk memberitahukan bahwa lahan tersebut tidak dijual atau diserahkan untuk PT. SSM, dimana akhirnya serombongan karyawan itu pulang dan mengadukan penolakan Langkai TN kepada General Manager PT. SSM.

GM PT. SSM [Rusli Salim alias Atong] bukannya menghentikan rencananya mencaplok lahan tanah yang sudah dikelola warga sejak lama itu, melainkan malah melaporkan kepada Polisi di Pospol Sebabi bahwa Langkai TN melakukan pengancaman dengan senjata tajam [Mandau].

Tanggal 25 Maret 2006 Langkai TN ditangakap oleh sejumlah oknum Pospol Simpang Sebabi suruhan Atong [Rusdi Salim]. Langkai TN selanjutnya digiring ke Polsek Kota Besi. Di Polsek Kota Besi, yang bersangkutan dituduh melakukan tindak pidana pengancaman dengan senjata tajam [Mandau] kepada buruh-karyawan PT. SSM yang mau membabat lahan tanah milik warga Kanyala.

Karena tidak dapat dibuktikan dan tidak dapat ditemukan saksi yang dapat memperkuat tuduhan mengada-ada yang disampaikan oleh polisi tentang pengancaman, akhirnya dengan suatu tipu muslihat polisi dan PT.SSM mengajak damai dengan suatu surat perdamaian yang ditanda tangani tanpa dilihat dan dibaca apalagi diberikan rangkap lampirannya lebih dahulu kepada Langkai TN.

Dalam keadaan terpaksa, gelap dan tipu muslihat, Langkai TN menandatangi surat tersebut. Sayangnya hanya berselang beberapa menit setelah menanda tangi surat perdamaian itu Langkai TN dimasukan kedalam bui Polsek Kota Besi.

Selama 42 hari Langkai TN ditahan di tahanan Polsek Kotabesi, selanjutnya dilimpahkan ke Kejaksanaan Negeri Sampit, dengan tuduhan yang justru sangat aneh, yaitu pencemaran nama baik, tanpa ada pelapor atau pihak yang dicemarkan dan semua tuduhan absurd. Setelah 13 kali proses persidangann yang terkesan sangat dipaksakan, Langkai TN divonis 5 bulan kurungan badan dan dibebaskan sepenuhnya pada tanggal 23 Agustus 2006.

Sayangnya sekembalinya yang bersangkutan dari menjalani hukuman yang tidak jelas kesalahan yang dilakukannya, lahan tanah yang semula menjadi pokok masalah sudah diratakan dan berganti dengan kelapa sawit yang digarap secara sepihak oleh PT. SSM ketika Langkai TN berada dalam kurungan.

Kali ini Langkai TN dkk. menegaskan bahwa mereka akan terus mengupayakan untuk mengambil alih lahan kebun tanah.
-------

Ot Danum di Lewu Tumbang Habangoi


Masyarakat adat selalu terpojokkan dan terintimidasi keberadaannya oleh pemerintah. Hak ulayat yang dimiliki adat selalu terkalahkan oleh kepentingan ekonomi dan politik. Perekonomian masyarakat adat yang semula berbasis pada sumberdaya hutan dihancurkan oleh HPH dan proyek perkebunan yang diandalkan pemerintah. Ladang, damar, madu, rotan yang semula sebagai sumber ekonomi hilang. Konflik sosial timbul. Ekosistem dihancurkan oleh sistem monokultur perkebunan dan rakyat yang tadinya pemilik lahan hanya jadi buruh. Kemandirian rakyat berubah menjadi tergantung oleh perusahaan. Keanekaragaman hayati hilang, lingkungan rusak. Belum lagi tudingan pemerintah terhadap sistem perladangan berpindah yang merusak hutan. Deforestasi timbul dan menjadi kekhawatiran pemerintah (katanya), tetapi selalu saja peladangan berpindah yang dilakukan masyarakat adat disalahkan
Arogansi penguasa terasa dalam teorinya bahwa deforestasi merupakan proses bertahap yang dikendalikan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan komunitas. Sedangkan dalam pandangan komunitas sendiri (baca: masyarakat adat) deforestasi merupakan suatu proses stokastis yang dikendalikan oleh unsur eksternal (faktor-faktor ekonomi politik). Sikap dan pandangan pemerintah tersebut di era Indonesia baru sekarang ini sudah harus dilenyapkan. Menghargai kearifan tradisional masyarakat adat dalam pengelolaan lingkungan hidup, mempertahankan dan memberdayakannya sudah harus menjadi peran stake holder agar unsur eksternal yang mengancam kelestarian keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup dapat dibendung.

Faktor eksternal yang penyebab deforestasi sudah terasa di desa Tumbang Habangoi. Keberadaan HPH mewakili kondisi tersebut selain dorongan ekonomi yang membawa segilintir masyarakat masuk hutan menebang pohon. Secara umum hutan masih terjaga. Bertahannya kondisi fisik lingkungan yang masih baik dan terjaga di desa Habangoi didukung oleh tradisi adat yang masih ada dalam mengelola lingkungan. Namun demikian untuk mengantisipasi terkikis dan hilangnya pola-pola kebiasaan tradisi dalam filsafat hidup suku Ot Danum dalam berinteraksi dan mengelola lingkungannya perlu suatu kegiatan studi yang mengeksplorasi kearifan tradisional yang mereka miliki serta mendokumentasikannya.

Desa Tumbang Habangoi

Habangoi merupakan desa paling hulu aliran sungai Samba, DAS Katingan. Sekaligus pintu masuk Taman Nasional Bukit Raya Bukit Raya. Secara administratif desa Habangoi masuk dalam wilayah Kecamatan Sanaman Mantikei, Kabupaten Katingan, Propinsi Kalimantan Tengah.

Penduduk didesa utamanya etnis Dayak Ot Danum yang komunitasnya tersebar di setiap hulu DAS utama di Kalimantan Tengah dan sampai luar perbatasan dengan Kalimantan Barat dengan bahasa keseharian adalah Dohoi

Pengakuan secara adat wilayah Habangoi di sebelah utara dibatasi oleh Bukit Raya, sebelah selatan dengan anak sungai Samba: Rahanjang yang merupakan perbatasan dengan desa Nusa Kutau. Secara adimistratif pemerintahan luas wilayah desa diakui seluas 25 ha.

Jumlah penduduk Habangoi kurang lebih 500 jiwa, dengan jumlah KK 108. Tidak semua warga berada di desanya sebagian tinggal di dukuh-dukuh tempat ladang. Sekitar 50-an warga usia sekolah belajar di luar. Warga dewasa ada yang kerja di camp Rahanjang atau masuk hutan menebang kayu. Jumlah murid Sekolah Dasar satu-satunya di Habagoi adalah 132 anak.

Pola pertanian “berpindah” atau dalam istilah Dohoi: Dullang Duli sampai sekarang masih berlaku. Ladang (Khumo) masyarakat yang berada jauh dari desa dibangun pondokan (dukuh) berupa rumah panggung dengan ukuran luas rata-rata 6-8 m2, dengan lantai jemur di bagian muka. Khumo yang saling berdekatan dengan anggota warga lain dibangun sekumpulan dukuh-dukuh yang diistilahkan dengan pedukuhan. Salah satu pedukuhan yang dekat dengan Habangoi adalah Manyahai yang berada di seberang Camp Nusantara Plywood (karena lokasinya disebut juga Camp Rahanjang). Khumo masyarakat terpisah-pisah letaknya ada yang dipinggir sungai dan ada yang di dalam.

Dalam membuka Khumo hingga panen semua dilakukan bersama-sama yang dikenal dengan istilah Handop dimana semuanya diawali dengan kebiasan–kebiasan adat. Sebelum membuka Hutan masyarakat melakukan upacara Ngumu dimana masyarakat menyembelih ayam atau babi sebagai tumbal, darahnya dipercikkan ke kayu-kayu yang akan ditebang karena dipercaya bahwa di batang pohon-pohon tersebut bersemayam Ottu, roh penunggu kayu-kayu tersebut. Upacara persembahan darah ini diharapkan agar roh tersebut akan pindah dari lahan yang akan dibuka. Khusus pohon Lunuk (beringin) mereka sebelum menebangnya perlu Acca (sajen) sebagai persembahan untuk ottu penunggu pohon tersebut.

Dalam memilih lahan yang akan dibuka masyarakat Habangoi tidak berani menebang bila di dekat daerah yang akan dibuka mereka mendengar suara burung Tingang bernyanyi dan akan memilih lahan lainnya untuk dibuka. Selain itu ada larangan adat bagi mereka untuk menebang pohon Tangis.

Sifat kegotong royongan terasa kental sekali pada seluruh proses mulai dari membuka lahan sampai memanen hasil pertanian. Dalam menggarap satu lahan bisa melibatkan 20 sampai 40 orang atau 3 atau 4 keluarga mulai dari usia anak sekolah sampai orang tua tergantung besar lahan yang akan digarap. Si pemilik lahan dalam kegiatan ini hanya menyediakan konsumsi selama kerja berlangsung. Pada acara ngumu selain sesajen disediakan pula makanan dan minuman Baram atau tuak yang merupakan minuman tradisional yang sangat digemari orang dewasa Habangoi dan merupakan minuman wajib bagi semua orang yang terlibat dalam kegiatan ini.

Setelah pohon-pohon ditebang dibiarkan beberapa hari hingga seminggu untuk proses pengeringan untuk kemudian dibakar istilah dohoi-nya NYAHA. Untuk daerah tertentu masa pengeringan bisa sampai setahun melihat tingkat kesuburan tanahnya. Tapi ini sangat jarang sekali karena mereka biasanya selalu dapat memilih tanah yang tingkat kesuburannya memadai. Sebelum dibakar simpukan kayu dikumpulkan dibagian tengah dan dipotong-potong agar tidak menjalar keluar, kegiatan ini disebut NUTU. Dalam pembakaran lahan masyarakat memiliki kearifan tradisional sendiri yaitu lahan yang telah siap dibakar pada batas ladang dibuat sekat bakar (bahasa Dohoinya: NYA’AT) dan pada lokasi tertentu telah ditunggu beberapa orang yang bertugas menjaga api dan memadamkannya bila dirasa akan membakar tumbuhan di luar lahan yang akan digarap. Sampai saat ini pola pembakaran lahan tradisional seperti ini tidak sampai menyebabkan timbulnya kasus kebakaran hutan.

Setelah proses pembakaran dan dilanjutkan membersihkan ladang dari sisa–sisa pembakaran maka dimulailah proses menunggal yang kembali dilakukan upacara yang sama dengan nama upacara Nyemitik. Bila lahan yang dibuka bersama-sama dengan keluarga lain dan letaknya bersebelahan di buat batas dengan menyusun kayu sebagai batas sekaligus jalan yang lebarnya 1 m.

Dalam kegiatan menugal kembali dilakukan bergotong royong dimana kaum laki-laki membuat lobang benih (menugal atau Nuhkan) dan para wanitanya memasukan benih padi (apang paroi) ke dalam lobang dan kemudian ditutup kembali dengan tanah yang dikenal dengan istilah meminyi. Selama menunggu masa panen dilakukan pemeliharaan seperti Membawau atau membersihkan rumput ( gulma). Bila tumbuhan padi terserang hama orang Habangoi telah lama memiliki teknologi pembasmi hama yaitu Rabun. Yang merupakan kegiatan pengasapan lahan yang dilakukan pada sore hari selama 3 hari dengan membakar tanaman-tanaman tertentu yang berfungsi untuk mengobati penyakit tanaman seperti ulat, daun layu dan berbintik-bintik.

Setelah itu masa yang dinantikan Panen atau Ngotom yang disambut kembali dengan upacara sebagai rasa kegembiraan dan ucapan syukur. Dalam upacara ini selain memberikan sesajen sebagai ucapan syukur masyarakat juga melaksanakan makan bersama sebagai ungkapan rasa kegembiraan. Sebelum hasil panen padi diolah/dikonsumsi sekaligus memberkati peralatan yang digunakan selama panen yaitu upacara Pokuman Batu sebagai persembahan kepada Urai.

Lahan yang telah dipanen bisa terus ditanami sampai tahun ke dua. Sebelum ditinggalkan lahan yang berada tidak jauh dari sungai ditanami dengan bibit rotan untuk yang jauh ke dalam mulai 30 tahun terakhir ini ditanami dengan karet, namun ini tidak semuanya dilaksanakan ada yang membiarkannya membelukar dan menjadi hutan muda.

Selain berladang masyarakat memanfaatkan hutan untuk mencari rotan dan berburu serta memanfaatkan keanekaragaman tanaman sebagai pengobatan tradisional. Dimana pengobatan modern terlalu jauh untuk dijangkau dari desa Habangoi.

Dalam memasarkan hasil hutan rotan masyarakat menjual ke pengumpul di desa atau langsung dijual ke Tumbang Samba, untuk hasil buruan, ikan dan sayur-sayuran selain dikomsumsi sendiri dijual pada camp perusahaan Nusatara Plywood. Sedangkan padi digunakan untuk konsumsi sendiri. pemrosesan rotan mentah, pengasapan sampai pengeringan sebelum dijual ke Tb. Samba dikerjakan oleh pengumpul di desa dengan memperkerjakan anak-anak sampai dewasa.

Pranata adat Habangoi yang termasuk suku Ot Danum sangat kuat dan lengkap mengatur kehidupan mereka seperti: Adat tentang perkawinan: Adat Koruh, tata pergaulan: Adat Basa, tata susila: Adat Dusa. Hamil di luar nikah: adat ngolanyun, merusak anak pungut: adat Laban, adat kematian: pepahtoi, adat pembagian harta waris: puat damuk, adat perjanjian: Janjik Pakhat, tentang kelestarian lingkungan: Lowung Pamolum, Pantangan: pemali/pali.

Khusus pada hari-hari tertentu ada larangan adat yang melarang memegang parang/mandau atau melakukan pekerjaan-pekerjaan berat seperti beberapa hari setelah ada musibah orang meninggal, ketika pelaksanaan tiwah dan ada waktu setiap bulannya dimana saat hari bulan purnama hari ke 16 sistem penanggalan bulan tidak boleh melakukan kegiatan apapun seperti berladang atau menebang pohon.


Penulis : Edy Subhany : Pokker SHK Kalimantan Tengah

Wednesday, September 03, 2008

yang tersisa

Bandingkan dengan luasnya konsesi WILMAR di kalteng [saja] mencapai 288 ribu hektare. [foto atas]

Pondok inilah yang tersisa bersama sejengkal tanah yang menjadi penopang hidup rakyat, setelah dirampas untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit.
[foto bawah]
====================

15 Product Darah Rakyat







Berikut ada beberapa produk dari kelapa sawit yang umum diperdagangkan. Produk ini banyak dihasilkan dengan cara merampas tanah rakyat dan menipu penduduk lokal. Kadang juga dengan intimidasi atau melakukan praktik adu domba konflik horizontal.

Bahwa produk ini disebut-sebut sebagai produk yang berasal dari sawit lestari, hanya omong kosong. Bahwa hasil produk sawit dapat dkatagorikan sebagai produk katagori "BIO" sudah sangat pasti dusta besar. kenapa ? Sawit menggunakan herbisida, pestisida, fertilizer dll...sawit juga memberangus hutan dan lahan, mulai kayu2 besar sampai rumput ilalang dibasmi oleh sawit. lalu juga, lahan bekas sawit tidak dapat dipastikan untuk dapat digunakan lagi bagi komoditas lainnya. So..bagaimana bisa dikatakan terbaharukan, lestari, ramah lingkungan ??
  1. Minyak Sawit Kasar atau Crude Palm Oil (CPO), Berupa minyak yang agak kental berwarna kuning jingga kemerah-merahan. CPO mengandung asam lemak bebas (EFA) 5% dan mengandung banyak Carolene atau pro vitamin E (800-900 ppm). Titik lunak berkisar antara 33-34 °C.
  2. Minyak Inti Kelapa Sawit atau Palm Kernel (PKO); Berupa minyak putih kekuning-kuningan yang diperoleh dari proses ekstraksi inti buah tanaman kelapa sawit. Kandungan asam lemak sekitar 5 %.
  3. Inti Kelapa Sawit atau Palm Kernel; Merupakan buah tanaman kelapa sawit yang telah dipisahkan dari daging buah dan tempurungnya serta selanjutnya dikeringkan. Kandungan minyak yang terkandung di dalam inti sekitar 50 % dan kadar FFA-nya sekitar 5 %.
  4. Bungkil Inti Kelapa Sawit atau Palm Kernel Cake; Bungkil inti kelapa sawit merupakan daging inti kelapa sawit yang telah diambil minyaknya. Minyak dihasilkan melalui proses pemerasan mekanis atau proses ekstraksi dengan pelarut yang lazim dipergunakan. Bungkil mengandung sekitar 2 % minyak.
  5. Pretreated Palm Oil; Pretreated palm oil merupakan minyak yang diperoleh dari proses deguming dan prebleaching untuk persiapan “physical refining” minyak daging buah. Kadar FFA pretreated palm oil sekitar 5 %. Nilai titik lunaknya adalah 33-39 °C.
  6. Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBD Palm Oil); RBD palm oil merupakan minyak kelapa sawit yang telah mengalami proses refinasi lengkap. RBD mengandung FFA 0,15 % yang berwarna kuning kejingga-jinggaan dengan titik lunak antara 30-39 °C. RBD Palm Oil hanya digolongkan dalam satu jenis mutu.
  7. Crude Palm Fatty Acid; Adalah asam lemak yang diperoleh sebagai hasil sampingan dari refinasi lengkap CPO dan fraksi-fraksinya, kandungan asam lemak bebasnya mencapai 89 %.
  8. Crude Palm Oil; Berupa minyak yang berwarna merah sampai jingga. Minyak ini diperoleh dari fraksinasi CPO dengan kadar FFA 5 %. Nilai titik lunak CPO maksimum 24 °C.
  9. Preteated Palm Olein; Adalah minyak yang diperoleh dari proses deguming dan prebleaching untuk persiapan “physical refining” fraksi cair CPO. Pretreated palm olein berwarna merah kekuning-kuningan dan memiliki kadar FFA sebesar 5%. Nilai titik lunaknya adalah 24 °C.
  10. RBD Palm Olein; Adalah minyak yang berwarna kekuning-kuningan. RBD palm olein diperoleh dari CPO yang telah mengalami refinasi lengkap. Kadar FFA-nya sekitar 0,15 % dan titik lunak maksimumnya adalah 24 °C.
  11. Crude Palm Stearin; Crude palm stearin merupakan lemak berwarna kuning sampai jingga kemerah-merahan yang diperoleh dari proses fraksinasi CPO. Crude palm stearin memiliki kadar FFA sebesar 5 % dan nilai titik lunak sekitar 48 °C.
  12. Pretreated Palm Stearin ; Pretreated palm stearin adalah lemak yang diperoleh dari proses degumming dan prebleaching untuk persiapan “physical refining” fraksi padat CPO. Pretreated palm stearin memiliki kandungan FFA sebesar 5 % dan nilai titik lunak 48 °C.
  13. RDB Palm Stearin; Adalah fraksi lemak yang berasal dari CPO yang telah mengalami refinasi lengkap. RBD palm stearin memiliki kadar FFA sebesar 0,2 %. Nilai titik lunaknya sama dengan Crude Palm Stearin, hanya warnanya lebih kuning.
  14. Palm Acid Oil; Palm acid oil adalah asam lemak yang berasal dari CPO yang telah mengalami proses netralisasi dengan soda kaustik dan dilanjutkan dengan proses pengasaman dengan asam sulfat. Palm acid oil memiliki kandungan FFA sebesar 50 % dengan total kadar lemak maksimum 95 %.
  15. Crude Palm Kernel Fatty Acid; Crude palm fatty acid adalah asam lemak yang diperoleh sebagai hasil sampingan dari refinasi lengkap minyak inti sawit (PKO) dan fraksi-fraksinya. Kadar FFA-nya minimum 70 %.
========================

Banjir Sawit




Bencana Ekologi Banjir vs Sawit......

Sawit datang Banjir Menerjang


Hujan deras sepanjang malam sejak Minggu 24.08.2008 sampai dengan pagi hari Senin 25.08.2008 yang mengguyur daerah hulu dan area sekitar perkebunan kelapa sawit di kabupaten Seruyan [sekitar Kecamatan Hanau dan Seruyan Tengah] telah mengakibatkan banjir besar di Km 113 dan 108 ruas jalan Sampit - Pangkalan Bun selama 24 jam.


Akibat banjir itu jalan penghubung antara Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kotawaringain Barat yang berada di Kabupaten Seruyan terputus total selama 24 jam sejak jam 10 pagi 25.07.08 baru bisa dilalui pada keesokan harinya.

Banjir memang tidak memakan korban jiwa tetapi setidaknya ada 2 mobil yang hanyut terperosok kemudian terbawa arus. Di lokasi banjir km 113 sebuah colt citizen L300 milik PT. Bina Sawit Abadi Pratama terjungkal, sedangkan di km 108 terguling dan hanyut sebuah truck pengangkut CPO.

Menurut warga setempat, banjir kerap terjadi di sekitar lokasi itu, apalagi lokasi tersebut juga merupakan arus sungai Rungau yang bermuara ke Danau Sembuluh. tetapi kali ini banjirnya terlalu besar dan lama, mungkin disebabkan terbukanya lahan diareal sekitar DAS Rungau dibagian hulu sampai ke Tangar akibat perkebunan kelapa sawit.

Friday, March 21, 2008

Demo Anti Sawit dalam Seminar


Kawan2 aktivis SOB melakukan aksi demo menentang perkebunan kelapa sawit bertepatan dan pada kesempatan dalam ruangan Seminar Nasional Kelapa Sawit yang sedang dibuka oleh Gubernur Kalimantan Tengah [12.2.2008]

Thursday, January 10, 2008

the Contras



"we green the earth".......................
good propaganda, man....................

Bagaimana dengan pohon-pohon yang kamu tebang ? satwa yang kamu bunuh ? sungai yang kamu tutup ? danau yang kamu keruhkan ? ladang dan kebun rakyat yang kamu gusur ?

Sepertinya memang harus dinyatakan perang terhadap perampok hajat hidup manusia dan perusak lingkungan ini.

Say no to forest crime !
SELAMATKAN SUMBER-SUMBER KEHIDUPAN MANUSIA DARI CENGKRAMAN SEGELINTIR PERAMPOK BERBAJU PERKEBUNAN

RSPO Omong Kosong, Penjarahan tetap Berjalan




RSPO Omong Kosong, Hutan tetap juga dihancurkan untuk membangun kebun kelapa sawit.
Lokasi Pengambilan Foto di PT. Kerry Sawit Indonesia II, Desa Sembuluh, Kecamatan danau Sembuluh Kabupaten Seruyan pada tanggal 5 Jauari 2008.

Masihkah ada yang mau bilang sawit tidak merusak hutan, tidak menghancurkan sumber kehidupan manusia dan masihkan juga ada yang mau bilang sawit ramah terhadap lingkungan ?

===========================

Tinggal satu



Tersisa sebatang pohon saja lagi.
HCVF...???? Mana Forest-nya...
Jgn ngaco, cuma melegitimisai sawit saja tu HCVF...
Bulshit deh..