Friday, September 21, 2007

Licence to Kill Tata Ruang

Sebagai sebuah produk kebijakan, maka Raperda RTRWP Kalimantan Tengah yang sedang dan terus dibahas [meskipun tersendat-sendat karena kentalnya kepentingan investasi] harus menghindari blunder kebijakan (policy failure) ;

  • Pertama, kebijakan tersebut jangan sampai ”mendewakan” sistem monokultur. Monokultur jelas mengingkari keanekaragaman hayati hutan Indonesia, memberikan harga yang rendah (undervalued) hasil-hasil hutan non kayu lainnya yang juga bernilai ekonomis, serta membahayakan fungsi hutan sebagai sumber pangan Inonesisia
  • Kedua, pembangunan jangan menggunakan pendekatan massif [besar-besaran-spectakuler] seperti kasus Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektare. Seiring dengan dibukanya kran investasi besar-besaran, maka pengelolaan kawasan hutan dan non-hutan selalu ditekankan dengan skala masif. Akibatnya terjadi perubahan bentang alam besar-besaran dalam waktu singkat, yang tidak memberikan kesempatan bagi lahan tersebut untuk memulihkan dirinya (self-recovery).
  • Ketiga, tidak berpihak kepada rakyat banyak. Ini ditandai dengan tidak adanya perlindungan dan pengharagaan terhadap ekonomi rakyat yang berskala kecil. Rakyat tidak dapat lagi mengelola hasil hutan, seperti madu, damar ataupun getah, karena mereka tidak diperbolehkan masuk ke areal HPH, HTI ataupun perkebunan besar. Padahal mereka ada lebih dahulu dari para pengusaha tersebut. Dan hasil hutan non-kayu di atas telah ditebangi oleh para pengusaha, karena dianggap tidak bernilai ekonomis justru digantikan dengan kelapa sawit.

Akibat utama dari blunder kebijakan di atas adalah, kerusakan lingkungan seketika dan bersifat akumulatif seperti terjadinya banjir dan longsor. Rentan terhadap kebakaran hutan, dan untuk jangka waktu panjang merusak fungsi lahan dan hutan sebagai lumbung makanan, obat-obatan dan penyerap karbon (carbon-sink) dunia yang diyakini sebagai salah satu penyebab terganggunya iklim di dunia.

Rusaknya tatanan sosial masyarakat yang hidupnya bergantung pada pengelolaan wilayah kelolanya. Ketika secara paksa dan mendadak mereka harus kehilangan akses terhadap sumber daya hutan, maka mereka dimiskinkan secara paksa. Keahlian yang mereka punyai dalam meramu dan mengelola sektor kehutanan menjadi tidak terpakai. Akibatnya mereka kehilangan mata pencahariannya dan kehilangan kemampuan untuk mengurus keluarganya. Secara akumulatif, kejadian di atas akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia di suatu region dan menghasilkan generasi yang bingung dan tidak mampu beradaptasi dengan suasana baru.

Terjadi pula pelanggaran hak asasi manusia dalam pengelolaan sumber daya alam. Sumber daya alam adalah milik publik, yang seharusnya dikelola untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Ketika koncoisme dalam pengelolaan SDA terjadi, maka terjadi pula pengingkaran atas barang publik tersebut. Lebih jauh, setiap “penyelesaian” sengketa sumber daya alam selalu dibarengi intimidasi dan kekerasan oleh negara. Usaha menyelesaikan sengketa secara damai dan tanpa kekerasan belum pernah direspon dengan baik oleh pihak negara.

Praktek Kebijakan.

Meskipun kebijakan kenversi hutan dan perkebunan besar kelapa sawit tidak mengakomodasikan kepentingan politik rakyat untuk mendapatkan pengakuan dalam mengakses sumber data alam, dalam implementasinya diperparah tindakan para pengusaha yang masih banyak melakukan penimpangan untuk mendapatkan keuntungan dan penghisapan sumber ekonomi rakyat. Praktek melakukan mark up dalam penyediaan lahan, menyalahgunakan izin pemanfaatan kayu dan land clearing dalam pembukaan lahan dengan pembakaran, adalah contoh yang kerap ditemui di lapangan. Birokrasi pemerintahan yang berwenang dengan pelaksanaan konversi hutan dan penyediaan areal untuk perkebunan besar, begitu mudah mengeluarkan perizinan sehingga menguatkan tuduhan adanya persekongkolan antara birokrat dengan pengusaha.

Kebijakan konversi hutan dan pengembanagn perkebunan besar, baik ditinjau dari sisi substansi maupun implementasi di lapangan, telah mengakibatkan permasalahan yang sangat kompleks dalam pengelolaan sektor kehutanan dan perkebunan. Hal yang nyata terlihat dari kebijakan tersebut, telah memberikan kemudahan usaha bagi kelompok kecil konglomerat yang memiliki modal besar dan akses terhadap lingkaran elit kekuasaan sehingga memberi keuntungan bagi kelompok ini begitu besar.

Dari sisi lain, kelompok besar rakyat yang selama ini mengusahakan sumber daya hutan menurut konsep pengetahuan lokal dan aturan hukum adat menjadi termarjinalisasi oleh pengusahaan perkebunan besar. Dengan demikian, perangkat kebijakan konversi hutan dan perkebunan besar kelapa sawit, menimbulkan dampak ketidakadilan, yakni pengusaha atau investor yang merupakan kelompok kecil dari aktor yang mendapat bagian keuntungan terbesar dan rakyat yang merupakan bagian terbesar yang justru paling dirugikan.

No comments: