Sejak akhir tahun 2001, Pemerintah Indonesia, khususnya Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, berupaya untuk merevisi Pasal 38 UU No.41/ Tahun 1999 tentang penambangan di kawasan hutan lindung. Alasanya adalah bahwa UU tersebut dapat memberikan dampak buruk bagi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan di Indonesia. Selain itu, UU tersebut menimbulkan konflik terhadap perusahaan tambang yang telah mempunyai Kontrak Karya sejak sebelum terbitnya UU No.41/ 1999. Dimana ada 22 Kontrak Karya kegiatan pertambangan yang arealnya menurut UU No.41/1999 termasuk areal hutan lindung.
Dapat dibayangkan jika usulan ini dikabulkan oleh pemerintah, maka dapat dipastikan sekitar 11,4 juta hektar kawasan hutan lindung dan hutan konservasi di Indonesia akan hilang terancam oleh masuknya 150 perusahaan tambang yang akan membuka areal pertambangan di kawasan lindung. Padahal kawasan-kawasan tersebut adalah kawasan yang kaya dengan keragaman ekologi, dihuni oleh masyarakat adat, dan merupakan daerah penyangga kehidupan. Sebagian besar kawasan lindung dan konservasi itu adalah tempat hidup dari jutaan spesies flora dan fauna yang tidak terdapat di daerah lain.
Dibagian lain Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah dan pemerimtah kabupaten saat sekarang lagi gencar-gencarnya berupaya untuk memberikan akses kepada pengusaha pertambangan untuk dapat masuk dan menambang di hutan lindung, khususnya di Hutan Lindung Bukit Batu Batikap dan sekitarnya di Barito Utara. Upaya tersebut dilakukan dengan cara membuka peluang perubahan status hutan lindung menjadi hutan produksi, sehingga dengan begitu dapat dialihfungsikan menjadi kawasan untuk pertambangan. Dengan begitu, hampir dipastikan bahwa aktifitas pertambangan di kawasan hutan lindung akan berjalan mulus, karena pemda Kalimantan Tengah memalui Bappeda, Dinas Pertambangan dan Dinas Kehutanan sudah memberikan lampu hijau.
Sudah barang tentu upaya keras pemerintah daerah Kalimantan Tengah ini ada udang dibalik batu-nya yaitu janji dari investor yang katanya akan memberikan pemasukan bagi kantong pemda dan kantong pejabat didaerah. Sehingga dengan gigih disiasati agar alih fungsi hutan lindung berjalan mulus. Bahkan ironisnya instansi pengelola dan bertanggungjawab terhadap hutan menyatakan bahwa kawasan hutan lindung Bukit Batu Batikap sudah dalam keadaan kritis. Anehnya dengan kondisi yang [katanya] demikian, bukannya mengupayakan untuk di rehabilitasi, dijaga dan di lestarikan, malahan mau dialih fungsikan, sehingga nampak jelas bahwa Dinas Kehutanan merupakan institusi yang sangat tidak mampu mengelola hutan lindung.
Nafsu dari Pemda untuk melakukan alih fungsi hutan lindung menjadi kawasan pertambangan, mestinya tidak hanya berdasar atas kemauan dan bahkan dorongan provokatif dari investor PT. Maruwei Coal semata, melainkan harus melalui studi independen yang mendalam untuk menentukan kelayakan dan arah pengelolaan hutan lindung Bukit Batu Batikap dimasa depan.
Kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung dan konservasi secara keseluruhan harus dilarang, alasannya antara lain ;
Pertama, adanya perlakuan tidak adil oleh pemerintah terhadap penduduk lokal. UU tentang konservasi melarang penduduk lokal melakukan kegiatan destruktif terhadap hutan lindung.
Namun ironisnya saat ini perusahaan tambang justru akan diberi peluang untuk melakukan kegiatan yang jelas-jelas sangat destruktif terhadap hutan lindung. Jika pemerintah memberikan ijin kepada satu atau dua perusahaan saja, maka hal ini akan memberikan inspirasi kepada jutaan penduduk lokal, yang mempunyai hak secara adat, untuk mengeskploitasi hutan lindung.
Pemerintah seharusnya membenahi peraturan-peraturan mengenai hutan konservasi dan hutan lindung yang berkaitan dengan penduduk lokal. Penduduk lokal harus diinformasikan mengenai UU yang berkaitan dengan kehidupan mereka dan memberikan waktu pada mereka untuk berpikir apakah perusahaan tambang akan menguntungkan atau merugikan mereka.
Kedua, secara hukum tidak ada dasar bagi DPR untuk memberikan perijinan kepada perusahaan tambang. Perbuatan ini justru bertentangan dengan hukum karena UU yang berkaitan belum di cabut. Celakanya DPR lebih berorientasi pada duit, daripada menyelematkan kehidupan dalam jangka panjang.
Ketiga, kekhawatiran pemerintah bahwa masalah ini akan diajukan arbitrase internasional oleh perusahaan tambang asing tidaklah beralasan. Kecil sekali kemungkinan kasus ini akan dimenangkan oleh perusahaan tambang, karena di dalam Kontrak Karya tercantum bahwa setiap perusahaan tambang harus mengikuti setiap peraturan yang berlaku di Indonesia, dari tahun ke tahun. Justru jika Indonesia tidak dapat menjaga dan melestarikan hutannya yang merupakan bagian dari paru-paru dunia, pemerintah justru akan mendapat sorotan dari masyarakat internasional.
Sangatlah keliru jika pemerintah, berpendapat bahwa Indonesia akan mengalami pertumbuhan ekonomi hanya dari kegiatan pertambangan. Sebagai contoh, di Papua ada PT. Freeport, di Sulawesi ada PT. Newmont dan PT. INCO, di Kalimantan ada PT. KEM dan PT. Indo Muro Kencana dll, tapi apakah daerah tersebut mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi? Justru sebaliknya, kawasan tambang memberikan konstribusi yang sangat signifikan terhadap kekerasan, pelanggaran HAM, berkembangnya penyakit AIDS, meningkatnya korupsi, kerusakan lingkungan yang luar biasa, dsb.
Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, selain UU No.41/ Tahun 1999 masih ada beberapa peraturan yang melarang kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung, yaitu UU No.5/ Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam, intinya melarang berbagai bentuk kegiatan yang mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan pelestarian alam; yang di dalam salah satu klausulnya menyatakan bahwa force majeure meliputi: “ ...perintah atau petunjuk yang merugikan dari setiap pemerintahan de jure atau de facto atau perangkatnya atau sub divisinya.”
Jika pemerintah dan DPR tetap akan memberikan ijin pada perusahaan-perusahaan pertambangan untuk melakukan kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi, maka Indonesia, yang sebelumnya memiliki hutan nomor dua terluas di dunia, harus bersiap-siap kehilangan hutan beserta seluruh kekayaan keanekaragaman hayati di dalamnya.
Padahal, tidak semua negara di dunia ini bisa seberuntung Indonesia. Dengan posisi geografisnya yang terletak di khatulistiwa, sehingga alamnya subur dan kaya, menyebabkan Indonesia dapat memiliki hutan yang sangat luas dengan keanekaragaman dan kekayaan ekosistemnya. Hal ini menyebabkan Indonesia memiliki julukan negara dengan ‘mega biodiversity’. Keanekaragaman hayati Indonesia tercatat memiliki sekitar 27.500 spesies tumbuhan berbunga (10 persen dari seluruh tumbuhan dunia), 1.539 spesies burung (17 persen dari seluruh burung di dunia), 515 spesies satwa mamalia (12 persen dari seluruh spesies reptilia di dunia), dan 270 spesies amfibia (16 persen dari seluruh amfibia di dunia). Hampir seluruh spesies tersebut tidak terdapat di negara lain. Hal ini menunjukkan pentingnya hutan lindung dipertahankan, bukan hanya bagi bangsa Indonesia, tetapi juga bangsa lain. Sebagian besar kekayaan spesies yang disebutkan diatas terdapat di dalam hutan. Hal ini merupakan alasan mengapa bangsa Indonesia harus mempertahankan dan memelihara hutannya, khususnya hutan lindung dan hutan konservasinya.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Bukannya dilestarikan, justru laju kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia menyebabkan kondisi hutan di Indonesia sudah sampai pada tahap kritis, sudah pada titik yang tidak dapat diperbaiki lagi. Dalam 10 tahun terakhir terjadi kerusakan hutan seluas 1,6 juta ha setiap tahunnya. Sementara data terakhir menunjukkan bahwa kawasan hutan yang telah rusak lebih dari 43 juta ha. Hal ini terutama disebabkan oleh penebangan liar, pembakaran hutan, perkebunan skala besar serta kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan HPH dan HTI.
Satu-satunya jenis hutan yang masih mempunyai harapan berada dalam kondisi baik atau dapat diperbaiki adalah hutan lindung dan kawasan konservasi. Hutan konservasi adalah kawasan hutan yang berciri khas tertentu untuk melindungi keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Sedangkan hutan lindung adalah hutan yang berfungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah instrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah.
Dengan keluarnya kebijakan pemerintah yang memberikan lampu hijau bagi kegiatan pertambangan di hutan lindung dan di kawasan konservasi, maka hal ini akan semakin memperburuk kondisi kehutanan. Lebih dari 100 kawasan hutan lindung terancam oleh rencana masuknya 150 perusahaan, dengan 22 perusahaan yang mendapat prioritas, yang akan membuka areal pertambangan di kawasan tersebut. Celakanya legislatif pusat dan daerah justru tertarik mengusulkan untuk mengubah status dan fungsi peruntukan hutan agar masalah itu tidak berlarut-larut. Barangkali hal ini muncul ketika ada kecendrungan bahwa saat ini sumber daya mineral yang tersisa hanya ada di kawasan hutan lindung. Menyadari kondisi tersebut, tentunya pemerintah dan legislatif – yang lebih tepat disebuit sebagai public relation (PR) dari perusahaan-perusahaan tambang - akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan izin tambang di kawasan lindung.
Jika mimpi buruk ini, yaitu berubahnya hutan lindung dan hutan konservasi menjadi areal pertambangan, benar-benar menjadi kenyataan, maka dihimbau kepada seluruh penduduk Indonesia, terutama yang tinggal di perkotaan, untuk segera datang berkunjung ke hutan-hutan di Indonesia. Bahkan kalau perlu berkemah di sana untuk terakhir kalinya. Sebelum pada akhirnya hutan di Indonesia beserta kekayaannya hanya tinggal kenangan. Sebelum nantinya kita, dan juga generasi mendatang, hanya bisa memandang hutan beserta isinya melalui foto-foto di majalah dan televisi.
Konsesi Pertambangan yang terdapat di kawasan lindung secara keseluruhan harus dilarang (totally banned), termasuk juga konsesi pertambangan batu bara yang akan masuk di Kalimantan Tengah – PT. MARUWEI COAL dari group BHP Billiton karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak menjamin adanya kepastian pemberdayaan masyarakat, ekonomi dan lingkungan dimasa datang.
Dapat dibayangkan jika usulan ini dikabulkan oleh pemerintah, maka dapat dipastikan sekitar 11,4 juta hektar kawasan hutan lindung dan hutan konservasi di Indonesia akan hilang terancam oleh masuknya 150 perusahaan tambang yang akan membuka areal pertambangan di kawasan lindung. Padahal kawasan-kawasan tersebut adalah kawasan yang kaya dengan keragaman ekologi, dihuni oleh masyarakat adat, dan merupakan daerah penyangga kehidupan. Sebagian besar kawasan lindung dan konservasi itu adalah tempat hidup dari jutaan spesies flora dan fauna yang tidak terdapat di daerah lain.
Dibagian lain Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah dan pemerimtah kabupaten saat sekarang lagi gencar-gencarnya berupaya untuk memberikan akses kepada pengusaha pertambangan untuk dapat masuk dan menambang di hutan lindung, khususnya di Hutan Lindung Bukit Batu Batikap dan sekitarnya di Barito Utara. Upaya tersebut dilakukan dengan cara membuka peluang perubahan status hutan lindung menjadi hutan produksi, sehingga dengan begitu dapat dialihfungsikan menjadi kawasan untuk pertambangan. Dengan begitu, hampir dipastikan bahwa aktifitas pertambangan di kawasan hutan lindung akan berjalan mulus, karena pemda Kalimantan Tengah memalui Bappeda, Dinas Pertambangan dan Dinas Kehutanan sudah memberikan lampu hijau.
Sudah barang tentu upaya keras pemerintah daerah Kalimantan Tengah ini ada udang dibalik batu-nya yaitu janji dari investor yang katanya akan memberikan pemasukan bagi kantong pemda dan kantong pejabat didaerah. Sehingga dengan gigih disiasati agar alih fungsi hutan lindung berjalan mulus. Bahkan ironisnya instansi pengelola dan bertanggungjawab terhadap hutan menyatakan bahwa kawasan hutan lindung Bukit Batu Batikap sudah dalam keadaan kritis. Anehnya dengan kondisi yang [katanya] demikian, bukannya mengupayakan untuk di rehabilitasi, dijaga dan di lestarikan, malahan mau dialih fungsikan, sehingga nampak jelas bahwa Dinas Kehutanan merupakan institusi yang sangat tidak mampu mengelola hutan lindung.
Nafsu dari Pemda untuk melakukan alih fungsi hutan lindung menjadi kawasan pertambangan, mestinya tidak hanya berdasar atas kemauan dan bahkan dorongan provokatif dari investor PT. Maruwei Coal semata, melainkan harus melalui studi independen yang mendalam untuk menentukan kelayakan dan arah pengelolaan hutan lindung Bukit Batu Batikap dimasa depan.
Kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung dan konservasi secara keseluruhan harus dilarang, alasannya antara lain ;
Pertama, adanya perlakuan tidak adil oleh pemerintah terhadap penduduk lokal. UU tentang konservasi melarang penduduk lokal melakukan kegiatan destruktif terhadap hutan lindung.
Namun ironisnya saat ini perusahaan tambang justru akan diberi peluang untuk melakukan kegiatan yang jelas-jelas sangat destruktif terhadap hutan lindung. Jika pemerintah memberikan ijin kepada satu atau dua perusahaan saja, maka hal ini akan memberikan inspirasi kepada jutaan penduduk lokal, yang mempunyai hak secara adat, untuk mengeskploitasi hutan lindung.
Pemerintah seharusnya membenahi peraturan-peraturan mengenai hutan konservasi dan hutan lindung yang berkaitan dengan penduduk lokal. Penduduk lokal harus diinformasikan mengenai UU yang berkaitan dengan kehidupan mereka dan memberikan waktu pada mereka untuk berpikir apakah perusahaan tambang akan menguntungkan atau merugikan mereka.
Kedua, secara hukum tidak ada dasar bagi DPR untuk memberikan perijinan kepada perusahaan tambang. Perbuatan ini justru bertentangan dengan hukum karena UU yang berkaitan belum di cabut. Celakanya DPR lebih berorientasi pada duit, daripada menyelematkan kehidupan dalam jangka panjang.
Ketiga, kekhawatiran pemerintah bahwa masalah ini akan diajukan arbitrase internasional oleh perusahaan tambang asing tidaklah beralasan. Kecil sekali kemungkinan kasus ini akan dimenangkan oleh perusahaan tambang, karena di dalam Kontrak Karya tercantum bahwa setiap perusahaan tambang harus mengikuti setiap peraturan yang berlaku di Indonesia, dari tahun ke tahun. Justru jika Indonesia tidak dapat menjaga dan melestarikan hutannya yang merupakan bagian dari paru-paru dunia, pemerintah justru akan mendapat sorotan dari masyarakat internasional.
Sangatlah keliru jika pemerintah, berpendapat bahwa Indonesia akan mengalami pertumbuhan ekonomi hanya dari kegiatan pertambangan. Sebagai contoh, di Papua ada PT. Freeport, di Sulawesi ada PT. Newmont dan PT. INCO, di Kalimantan ada PT. KEM dan PT. Indo Muro Kencana dll, tapi apakah daerah tersebut mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi? Justru sebaliknya, kawasan tambang memberikan konstribusi yang sangat signifikan terhadap kekerasan, pelanggaran HAM, berkembangnya penyakit AIDS, meningkatnya korupsi, kerusakan lingkungan yang luar biasa, dsb.
Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, selain UU No.41/ Tahun 1999 masih ada beberapa peraturan yang melarang kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung, yaitu UU No.5/ Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam, intinya melarang berbagai bentuk kegiatan yang mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan pelestarian alam; yang di dalam salah satu klausulnya menyatakan bahwa force majeure meliputi: “ ...perintah atau petunjuk yang merugikan dari setiap pemerintahan de jure atau de facto atau perangkatnya atau sub divisinya.”
Jika pemerintah dan DPR tetap akan memberikan ijin pada perusahaan-perusahaan pertambangan untuk melakukan kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi, maka Indonesia, yang sebelumnya memiliki hutan nomor dua terluas di dunia, harus bersiap-siap kehilangan hutan beserta seluruh kekayaan keanekaragaman hayati di dalamnya.
Padahal, tidak semua negara di dunia ini bisa seberuntung Indonesia. Dengan posisi geografisnya yang terletak di khatulistiwa, sehingga alamnya subur dan kaya, menyebabkan Indonesia dapat memiliki hutan yang sangat luas dengan keanekaragaman dan kekayaan ekosistemnya. Hal ini menyebabkan Indonesia memiliki julukan negara dengan ‘mega biodiversity’. Keanekaragaman hayati Indonesia tercatat memiliki sekitar 27.500 spesies tumbuhan berbunga (10 persen dari seluruh tumbuhan dunia), 1.539 spesies burung (17 persen dari seluruh burung di dunia), 515 spesies satwa mamalia (12 persen dari seluruh spesies reptilia di dunia), dan 270 spesies amfibia (16 persen dari seluruh amfibia di dunia). Hampir seluruh spesies tersebut tidak terdapat di negara lain. Hal ini menunjukkan pentingnya hutan lindung dipertahankan, bukan hanya bagi bangsa Indonesia, tetapi juga bangsa lain. Sebagian besar kekayaan spesies yang disebutkan diatas terdapat di dalam hutan. Hal ini merupakan alasan mengapa bangsa Indonesia harus mempertahankan dan memelihara hutannya, khususnya hutan lindung dan hutan konservasinya.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Bukannya dilestarikan, justru laju kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia menyebabkan kondisi hutan di Indonesia sudah sampai pada tahap kritis, sudah pada titik yang tidak dapat diperbaiki lagi. Dalam 10 tahun terakhir terjadi kerusakan hutan seluas 1,6 juta ha setiap tahunnya. Sementara data terakhir menunjukkan bahwa kawasan hutan yang telah rusak lebih dari 43 juta ha. Hal ini terutama disebabkan oleh penebangan liar, pembakaran hutan, perkebunan skala besar serta kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan HPH dan HTI.
Satu-satunya jenis hutan yang masih mempunyai harapan berada dalam kondisi baik atau dapat diperbaiki adalah hutan lindung dan kawasan konservasi. Hutan konservasi adalah kawasan hutan yang berciri khas tertentu untuk melindungi keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Sedangkan hutan lindung adalah hutan yang berfungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah instrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah.
Dengan keluarnya kebijakan pemerintah yang memberikan lampu hijau bagi kegiatan pertambangan di hutan lindung dan di kawasan konservasi, maka hal ini akan semakin memperburuk kondisi kehutanan. Lebih dari 100 kawasan hutan lindung terancam oleh rencana masuknya 150 perusahaan, dengan 22 perusahaan yang mendapat prioritas, yang akan membuka areal pertambangan di kawasan tersebut. Celakanya legislatif pusat dan daerah justru tertarik mengusulkan untuk mengubah status dan fungsi peruntukan hutan agar masalah itu tidak berlarut-larut. Barangkali hal ini muncul ketika ada kecendrungan bahwa saat ini sumber daya mineral yang tersisa hanya ada di kawasan hutan lindung. Menyadari kondisi tersebut, tentunya pemerintah dan legislatif – yang lebih tepat disebuit sebagai public relation (PR) dari perusahaan-perusahaan tambang - akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan izin tambang di kawasan lindung.
Jika mimpi buruk ini, yaitu berubahnya hutan lindung dan hutan konservasi menjadi areal pertambangan, benar-benar menjadi kenyataan, maka dihimbau kepada seluruh penduduk Indonesia, terutama yang tinggal di perkotaan, untuk segera datang berkunjung ke hutan-hutan di Indonesia. Bahkan kalau perlu berkemah di sana untuk terakhir kalinya. Sebelum pada akhirnya hutan di Indonesia beserta kekayaannya hanya tinggal kenangan. Sebelum nantinya kita, dan juga generasi mendatang, hanya bisa memandang hutan beserta isinya melalui foto-foto di majalah dan televisi.
Konsesi Pertambangan yang terdapat di kawasan lindung secara keseluruhan harus dilarang (totally banned), termasuk juga konsesi pertambangan batu bara yang akan masuk di Kalimantan Tengah – PT. MARUWEI COAL dari group BHP Billiton karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak menjamin adanya kepastian pemberdayaan masyarakat, ekonomi dan lingkungan dimasa datang.
No comments:
Post a Comment