Rencana pembangunan 1 juta ha perkebunan besar swasta sawit yang diproyeksikan Gubernur Kalimantan Tengah akan menyerap 3 orang buruh untuk setiap 1 ha kebun sawit dipastikan akan menciptakan bangsa buruh untuk rakyat Kalimantan Tengah apabila hitung-hitungan tersebut betul.
Dengan perhitungan 3 orang setiap ha-nya, maka apabila dibangun 1 juta ha kebun sawit akan menciptakan 3 juta orang rakyat Kalimantan Tengah menjadi buruh, ini belum termasuk tenaga yang bekerja di luar tersebut, misalnya dibidang administrasi.
Fakta saat sekarang di Kalimantan Tengah telah dikeluarkan izin perkebunan sawit paling tidak seluas 817.000 ha lebih. Dengan angka ini maka bila mengacu pada pernyataan Gubernur dimana setiap ha kebun sawit akan menyerap 3 orang, maka akan terserap sebanyak 2.6 juta orang buruh. Sebuah angka yang mencengangkan. Dengan angka ini maka dipastikan saat sekarang saat sekarang tidak ada pengangguran di Kalimantan Tengah, sebab jumlah penduduk di Kalimantan Tengah hanya sekitar 1,9 juta jiwa, tetapi kenyataannya masih banyak angkatan kerja di Kalimantan Tengah yang menganggur ! Dengan demikian apa yang disampaikan dan diproyeksikan oleh Gubernur mengenai buruh ini hanyalah isapan jempol saja dan patut dipertanyakan kebenarannya.
Konsekuensi lain dari proyeksi angka yang disampaikan Gubernur berupa tenaga kerja sebanyak 3 juta orang akan terserap, maka akan terjadi migrasi besar-besaran penduduk dari luar daerah ke Kalimantan Tengah 1,1 juta orang (3 juta kebutuhan tenaga kerja – 1,9 juta penduduk Kalimantan Tengah; inipun sudah dihitung Gubernur berubah profesi menjadi buruh sawit). Apabila jumlah 1,1 juta tersebut tidak terpenuhi untuk migrasi ke Kalimantan Tengah untuk menjadi bangsa buruh, maka akan muncul 2 kemungkinan logis:
Dengan perhitungan 3 orang setiap ha-nya, maka apabila dibangun 1 juta ha kebun sawit akan menciptakan 3 juta orang rakyat Kalimantan Tengah menjadi buruh, ini belum termasuk tenaga yang bekerja di luar tersebut, misalnya dibidang administrasi.
Fakta saat sekarang di Kalimantan Tengah telah dikeluarkan izin perkebunan sawit paling tidak seluas 817.000 ha lebih. Dengan angka ini maka bila mengacu pada pernyataan Gubernur dimana setiap ha kebun sawit akan menyerap 3 orang, maka akan terserap sebanyak 2.6 juta orang buruh. Sebuah angka yang mencengangkan. Dengan angka ini maka dipastikan saat sekarang saat sekarang tidak ada pengangguran di Kalimantan Tengah, sebab jumlah penduduk di Kalimantan Tengah hanya sekitar 1,9 juta jiwa, tetapi kenyataannya masih banyak angkatan kerja di Kalimantan Tengah yang menganggur ! Dengan demikian apa yang disampaikan dan diproyeksikan oleh Gubernur mengenai buruh ini hanyalah isapan jempol saja dan patut dipertanyakan kebenarannya.
Konsekuensi lain dari proyeksi angka yang disampaikan Gubernur berupa tenaga kerja sebanyak 3 juta orang akan terserap, maka akan terjadi migrasi besar-besaran penduduk dari luar daerah ke Kalimantan Tengah 1,1 juta orang (3 juta kebutuhan tenaga kerja – 1,9 juta penduduk Kalimantan Tengah; inipun sudah dihitung Gubernur berubah profesi menjadi buruh sawit). Apabila jumlah 1,1 juta tersebut tidak terpenuhi untuk migrasi ke Kalimantan Tengah untuk menjadi bangsa buruh, maka akan muncul 2 kemungkinan logis:
- Perkebunan swasta sawit tidak akan terkelola dengan baik dan tidak akan menghasilkan seperti yang diharapkan karena tidak tercukupinya tenaga kerja yang dibutuhkan (1 ha : 3 orang) serta kebun / rencana kebun akan ditinggalkan investornya sesudah kayu-kayunya dibabat.
- Bila pilihannya adalah menghidupkan terus perkebunan yang telah dan akan dikembangkan dengan menyediakan tenaga kerja lokal akibat tidak terpenuhinya migrasi penduduk luar Kalimantan Tengah untuk menjadi buruh, maka secara matematis seluruh penduduk Kalimantan Tengah harus menjadi buruh perkebunan sawit, termasuk semua pejabat, anggota DPRD dan Gubernur (bahkan juga masih belum mencukupi).
Ada beberapa hal penting lainnya yang juga harus dijadikan pertimbangan Pemerintah Daerah (Gubernur):
- Monopoli Penguasa Tanah dan Konflik Lahan; sesungguhnya Gubernur juga harus lebih banyak belajar bahwa selama ini tidak sedikit pembangunan dan pembukaan lahan untuk perkebunan sawit telah menimbulkan konflik lahan antara pengusaha dengan penduduk lokal. Pembangunan perkebunan sawit skala raksasa juga akan menimbulkan sistem monopolistik dalam penguasaan sumber-sumber agraria berupa tanah. Hal ini akibat ketidakadilan dan pemerataan penguasaan tanah dan lahan. Seseorang atau sekelompok orang yang berbaju pengusaha dapat menguasai lahan puluhan bahkan ratusan ribu ha, sementara rakyat lokal sama sekali tidak diakui hak kepemilikannya secara adat, hal ini bertentangan dengan amanat rakyat seperti termuat dalam TAP MPR. No. IX tahun 2001 tentang pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA.
- Pencemaran racun herbisida dan pestisida; dampak lain perkebunan sawit yang juga harus dipikirkan adalah pencemaran pestisida dan herbisida. Apabila perkebunan sawit memerlukan 5 liter herbisida atau pestisida setiap hektarnya, maka bila rencana pembangunan sawit 1 juta hektar dijalankan, paling tidak tanah Kalimantan Tengah akan disiram sebanyak 5 juta liter racun yang akan mengalir ke sungai-sungai di Kalimantan Tengah dan akan dikonsumsi penduduk.
- Monokulturisasi dan hama belalang; kebun sawit sesungguhnya tidak ditanam secara tumpang sari dan harus membabat secara total tanaman asal, dengan demikian akan terjadi monokulturisasi tumbuhan di areal yang sangat luas. Disamping itu juga akibat rusaknya habitat hidup binantang pemangsa semacam elang dan ular, maka tikus dan belalang kembara akan merajalela yang sampai saat sekarang belum dapat tertanggulangi dan sangat merugikan.
- Problem sosial dan kependudukan; dengan semangkin meningkatnya kebutuhan buruh baik lokal maupun migrasi maka jumlah penduduk akan semakin bertambah. Problem sosial juga akan meningkat, kriminalitas akan meningkat, kejahatan dan pelacuran akan bertambah banyak sebagai akibat pertambahan kaum buruh sawit.
- Pelarian modal kredit; berikutnya, harus juga dijadikan pelajaran berharga mengenai kasus pelarian modal kredit oleh pengusaha perkebunan sampai saat sekarang tidak jelas penyepelsaiannya (kasus PT. Surya Barokah), hendaknya Gubernur harus lebih banyak belajar mendengarkan dan mengapresiasi kondisi riil yang terjadi, bukan hanya mendengarkan laporan serba baik dari bawahannya.
No comments:
Post a Comment