Wednesday, May 17, 2006

BURUK RUPA CERMIN DIPECAH


Awal : Problematika Kehutanan Indonesia

Nilai ekonomis hutan yang diperoleh melalui kayu kurang dari 10 persen dari nilai total keberadaan hutan. Lebih mengenaskan lagi, eksploitasi kayu itu dilakukan dengan menghancurkan nilai yang lain, seperti ketersediaan air, keanekaragaman hayati, dan potensi ekowisata. Pengelolaan hutan sangat bersifat sektoral dan terbukti tidak dapat mencegah kerusakan hutan. Kawasan hutan dikelola oleh Departemen Kehutanan, tetapi produk kehutanan dikelola menurut hitungan industri oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag).

Izin pengembangan industri perkayuan terus diterbitkan oleh Deperindag sehingga kapasitas industri perkayuan terus meningkat. Kapasitas terpasang industri perkayuan saat ini sekitar 60 juta meter kubik. Padahal, kemampuan produksi hutan berdasarkan konsep pengelolaan hutan lestari hanya 6,8 juta meter kubik. Angka jatah tebang resmi ini ditetapkan oleh Departemen Kehutanan. Di sini terlihat bentuk kebijakan antar departemen yang tidak sinkron.

Kesenjangan permintaan bahan baku industri dengan penyediaan kayu dipenuhi melalui penebangan liar. Menteri Kehutanan M Prakosa menegaskan, ketimpangan ini merupakan salah satu faktor pemicu penebangan liar dari sisi internal. Membiarkan industri kehutanan yang kelebihan kapasitas tumbuh dengan mengandalkan pemenuhan bahan baku melalui penebangan liar tak ubahnya membiarkan penyakit kanker terus berkembang. Kanker ini pada akhirnya akan mematikan industri itu sendiri dan merusak hutan yang masih tersisa.

Selain digunakan untuk memasok kelebihan permintaan bahan baku di dalam negeri, penebangan liar juga mengalirkan kayu ke negara-negara tetangga. Data dari International Tropical Timber Organization (ITTO) pada tahun 2000, misalnya, menunjukkan ekspor kayu bulat Indonesia ke Malaysia tercatat 578.390 meter kubik. Padahal, catatan ekspor resmi hanya tertulis 7.860 meter kubik.

Kerusakan kehutanan Indonesia juga tak lepas dari perkara korupsi. Suap pada pejabat dan aparat keamanan sering mengakibatkan penebangan liar berjalan aman. Ketika dilakukan razia, surat keterangan dapat saja didatangkan meskipun kayu ditebang secara ilegal. Penebangan kayu secara liar dan peredaran kayu ilegal saat ini mencapai 50,7 juta meter kubik per tahun dengan kerugian negara mencapai Rap. 30,42 triliun per tahun dengan luas hutan yang rusak atau tidak berfungsi secara maksimal, mencapai 43 juta hektare dan laju kerusakan hutan 4 tahun terakhir mencapai 2,1 juta per tahun [B.Post 30/5/04].

Dari ketimpangan suplai bahan baku industri, dapat diperkirakan 80 persen penebangan kayu di Indonesia dilakukan secara ilegal. Artinya, pemerintah dan 200 juta rakyat Indonesia hanya mencicipi devisa dari 20 persen penebangan yang dilakukan dengan sah, sementara 80 persen lagi keuntungan penebangan beredar pada para cukong dan orang-orang tertentu. Dengan menggunakan akal sehat, sulit ditemukan keuntungan melanjutkan penebangan hutan untuk mempertahankan porsi 20 persen dan kehilangan 80 persen nilai ekonomi selebihnya. Belum lagi penghancuran hutan dan bencana alam yang akan terus memakan korban dan biaya sosial yang tinggi.

Walaupun demikian buruknya pengelolaan hutan yang dijalankan pemerintahan selama orde baru dan orde setelahnya, tetapi bukan berarti bahwa hutan harus dihabiskan saja dan dikonversi untuk kebutuhan lainnya. Pilihan yang paling tepat adalah mengusahakan agar hutan tetap dapat menjamin fungsi-fungsi yang diembannya. Apabila dengan melihat kondisi hutan yang telah demikian memprihatinkan lantas memunculkan pikiran untuk mengalih fungsikan hutan untuk dikonversi bagi pertambangan atau perkebunan atau penggunaan lainnya yang nilainya jauh lebih rendah daripada melestarikan fungsi hutan, maka ibarat pepatah “ buruk rupa cermin dipecah”. Tidak becus mengalola hutan, hutan tersebut malah lebih dihancurkan.

Buruk rupa cermin dipecah ini sudah mulai terlihat dari berbagai rencana konversi hutan dalam skala yang luar biasa luasnya, misalnya proyek pengembangan perkebunan sawit jutaan hektare yang akan dikembangkan hampir diseluruh wilayah di Kalimantan, salah satunya di Kalimantan Tengah.

Data yang ada sampai sekarang menunjukan bahwa sudah lebih dari 2,5 juta ha lahan dan hutan mengajukankan ijinnya untuk perkebunan sawit [Pernyatan Kepala BPN kalteng pada harian Palangkapos, 14 Mei 2004]. Ijin tersebut diberikan kepada 203 perusahaan. Dari 2,5 juta hekatere yang dimohonkan ijinnya tersebut, 841.459 ha telah diberikan ijin. Akan tetapi baru 171.846 ha yang dibuka [21 %] dan hanya 151.947 ribu ha yang ditanami [ 18 %]. Selebihnya diperkirakan sudah dibabat kayunya, tetapi pengembangan kebun tidak dilanjutkan dan calon pengelolanya melarikan diri dengan mengembat hasil dari ijin pemanfaatan kayu di arealnya.

Biaya Murah Lingkungan dan Sosial

Tidak dapat dipungkiri bahwa peran industri perkebunan kelapa sawit bagi perekonomian Indonesia sangat strategis, dan para PENGUSAHANYA mendapatkan keuntungan besar. Disamping itu, industri perkebunan kelapa sawit mampu menciptakan lapangan kerja baru, sementara permintaan dunia terhadap minyak nabati dan berbagai produk turunan yang berasal dari minyak kelapa sawit semakin meningkat.

Namun demikian, apakah arti semuanya itu bila kehidupan kita terancam akibat semakin rusaknya hutan alam dan menyebarnya pencemaran ? Apakah berbagai kerugian yang terjadi (biaya lingkungan dan biaya sosial yang timbul) dapat dibayar dengan keuntungan yang diperoleh?

Biaya-biaya lingkungan dan sosial kebanyakan dalam industri dan perkebunan kelapa sawit tidak dimasukan dalam komponen biaya dan rencana investasi, padahal sesungguhnya harus turut diperhitungkan dalam analisis investasi perkebunan kelapa sawit. Namun demikian, perusahaan perkebunan swasta tidak pernah memasukan biaya lingkungan dan biaya sosial ini dalam Analisis finansial proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit. Hal ini terjadi karena biaya-biaya lingkungan dan sosial yang timbul tidak ditanggung (dibayar) oleh perusahaan perkebunan.

Biaya yang terjadi sebagai akibat munculnya konflik sosial berkepanjangan antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat baru kemudian harus dibayar dengan mahal oleh perusahaan setelah kegiatan bisnis perkebunan kelapa sawit berjalan. Sementara itu, masyarakat (khususnya masyarakat setempat) yang mengalami dampak negatif dari keberadaan proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit, merupakan pihak yang menanggung biaya sosial dan biaya lingkungan yang terjadi sejak awal dimulainya proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit.

Semua biaya lingkungan dan biaya sosial yang terjadi sesungguhnya menjadi biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat/negara Indonesia, bahkan turut ditanggung oleh masyarakat internasional. Oleh karena itu, para pembuat kebijakan dan khususnya para pengambil keputusan di pemerintahan dalam mengevaluasi (menilai) analisis biaya dan manfaat proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit harus turut memperhitungkan berbagai biaya lingkungan dan biaya sosial yang terjadi.

Pemusnahan Hutan Trofis

Pengembangan areal perkebunan kelapa sawit ternyata menyebabkan meningkatnya ancaman kemusnahan keberadaan hutan alam tropis. Hal ini terjadi karena pengembangan areal perkebunan kelapa sawit utamanya dibangun pada areal hutan.

Para investor lebih suka untuk membangun perkebunan kelapa sawit pada kawasan hutan konversi karena mereka mendapatkan keuntungan besar berupa kayu dari IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu) dari areal hutan alam yang dikonversi menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Praktek yang sering terjadi di lapangan, motivasi pengusaha utamanya untuk mendapatkan keuntungan besar dan cepat dari kayu IPK, setelah kayu IPK didapat areal perkebunan ditelantarkan, sehingga berubah menjadi semak belukar dan/atau lahan kritis baru (Kompas, 19 Mei 2000; Media Indonesia 11 Agustus 2000).

Dengan demikian, kegiatan konversi hutan untuk pembangunan areal perkebunan kelapa sawit telah menjadi salah satu sumber pengrusakan (deforestasi) hutan alam, dan sekaligus menjadi ancaman terhadap hilangnya kekayaan keanekaragaman hayati yang terdapat dalam ekosistem hutan hujan tropis Indonesia, serta menyebabkan berkurang/hilangnya habitat satwa liar. Laju deforestasi hutan Indonesia pada periode tahun 1985-1998 tidak kurang dari 1,6 juta hektar per tahun (Dephutbun, 2000)

Dampak negatif terhadap lingkungan menjadi bertambah serius karena dalam prakteknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada kawasan hutan konversi, melainkan juga dibangun pada kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan bahkan di kawasan konservasi yang memiliki ekosistem yang unik dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi.

Selain itu, praktek konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit ternyata seringkali menjadi penyebab utama bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Hal ini terjadi karena dalam kegiatan pembukaan lahan (land clearing) untuk membangun perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan cara membakar agar cepat dan biayanya murah.

Sebagai akibat pembukaan hutan menjadi perkebunan sawit, ekosistem hutan hujan tropis diubah menjadi areal tanaman monokultur, muncul serangan hama [belalang kembara] dan penyakit, perubahan aliran air permukaan tanah, meningkatnya erosi tanah, dan pencemaran lingkungan akibat pemakaian pupuk dan pestisida dalam jumlah yang banyak, serta berbagai dampak negatif lainnya terhadap eco-function yang dapat dihasilkan oleh ekosistem hutan alam tropis.

Pencaplokan Tanah Rakyat

Permasalahan lainnya, pembangunan areal perkebunan kelapa sawit skala besar juga telah menyebabkan dipindahkannya masyarakat lokal yang tinggal dan/atau berada di dalam wilayah pengembangan perkebunan kelapa sawit tersebut. Ganti rugi tanah pada areal pengembangan kelapa sawit seringkali menimbulkan permasalahan karena tidak dibayar dengan harga yang ‘adil’ dan ‘pantas’.

Disamping itu, sering terjadi penyerobotan (pencaplokan) lahan masyarakat adat oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit, padahal di atas tanah tersebut masih terdapat tanaman pertanian dan tanaman perkebunan masyarakat. Tindakan penyerobotan tanah masyarakat adat ini dilakukan baik secara halus maupun dengan cara paksaan, misalnya dengan cara pembakaran lahan yang telah diorganisir dengan baik oleh pihak perusahaan (Potter dan Lee, 1998b).

Sebagai akibatnya, seringkali timbul permasalahan klaim lahan oleh masyarakat setempat terhadap areal perkebunan kelapa sawit yang sedang/telah dibangun. Berbagai permasalahan ini telah menyulut permasalahan konflik sosial yang berkepanjangan dan sangat merugikan semua pihak -- terutama bagi masyarakat yang mengalami dampak negatif akibat pembangunan perkebunan kelapa sawit -- sehingga biaya sosial yang harus dibayar menjadi sangat tinggi. Konflik sosial yang terjadi akhirnya menjadi sumber resiko dan ketidakpastian bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam melakukan bisnis usahanya secara berkelanjutan

Bahaya Pencemaran dan Ketergantungan Tanah pada Pupuk

Kalimantan Tengah dipastikan akan dicemari sebanyak 4,1 milyar kg atau 4,1 juta ton pupuk apabila pembukaan perkebunan kelapa sawit 1 juta hektare jadi dilaksanakan
Pencemaran akibat pupuk tersebut akan berjalan selama 25 tahun yang rata-rata pertahunnya adalah sebanyak 167 juta kg

Perhitungan tersebut berdasarkan pada analisis dampak lingkungan sebuah perusahaan perkebunan sawit yang datanya kebetulan dapat diakses. Menurut data tersebut akan ada 5 jenis pupuk yang harus digunakan sepanjang umur sawit selama 25 tahun, yaitu Urea, TSP, MOP, Kies dan BO. Setiap tahun sawit membutuhkan Urea sedikitnya 44,88 kg/ha 35,36 kg/ha TSP, 53,04 kg/ha MOP, 33,2 ha Kies dan ,51 kg/ha untuk BO

Land Ownership dan Keadilan Alat Produksi

Menurut catatan-catatan yang dibuat oleh jaringan Sawit Watch Indonesia – sebuah jaringan advokasi untuk perkebunan sawit skala raksasa - yang berkedudukan di Bogor, sekitar 80 % persoalan yang melingkupi perkebunan sawit adalah masalah konflik lahan yang diakibatkan oleh ketidak adilan penguasaan kepemilikan tanah dan lahan.

Sebuah perusahaan perkebunan diperkirakan hanya akan efektif dan efisien serta dapat mencapai keuntungan ekonomis dalam usahanya apabila memiliki kebun dengan luasan paling tidak 6 ribu sampai 7 ribu hectare, dibawah ini perkebunan sawit tidak akan dapat memenuhi keuntungan optimal selama satu periode tanam sawit [sekitar 25 tahun]. Oleh karenanya, bagaimanapun juga sebuah PBS Sawit akan selalu berusaha untuk memperoleh konsesi seluas itu atau bahkan lebih.

Seperti telah disampaikan pada bagian terdahulu diatas, bahwa untuk memperoleh lahan tanah seluas kebutuhan PBS tersebut dilakukan dengan berbagai cara dari yang halus dengan tipu daya sampai menggunakan aparat keamanan dengan kekerasan untuk menguasai tanah-tanah rakyat dan masyarakat adat.

Pencaplokan dan penguasaan lahan-lahan dan tanah-tanah rakyat ini terjadi akibat tidak adanya pengakuan dan pengukuhan atas tanah-tanah rakyat yang dikelola dan dikuasai rakyat dan masyarakat adat dengan sistem kepemilikan yang telah di praktikan mereka secara arif dan adil. Masyarakat dalam hal ini kemudian tidak mempunyai “jaminan kemanan” atas tanah-tanahnya yang telah dikelola turun temurun sejak leluhur mereka dan akan terus dikelola seterusnya untuk anak-dan cucu dimasa depan.

“Jaminan keamanan” yang sesungguhnya sangat dibutuhkan masyarakat sampai saat ini sangat sulit dan hampir tidak mungkin diperoleh oleh rakyat akibat ketidak-berpihakan pengelola pemerintahan terhadap rakyat. Hal ini juga dikondisikan agar kaum pemodal dapat dengan mudah mengambil dan mencaplok tanah-tanah rakyat dengan jaminan dari pemerintah. Sementara bagi masyarakat lokal, untuk hanya mendapatkan pengakuan atas otentisitas dan hak kepemilikan dan hak kelolanya pemerintah sangat enggan untuk memenuhinya, bahkan memfasilitasi proses menuju “keamanan tanah” masyarakat saja sangat sulit.

Kalau dilihat dari aspek ekonomi, sesungguhnya tanah adalah alat produksi dan merupakan bagian dari modal. Oleh karena itu, bagaimanapun juga alat produksi rakyat harus diberikan jaminan keamanan, sehingga ada jaminan atas penguasaan dan kepemilikan [ownership] masyarakat atas tanah. Pemerataan ekonomi akan dapat dicapai dengan mengembangkan ekonomi kerakyatan harus tegas memberikan proteksi atas alat produksi rakyat, sehingga rakyat tidak kehilangan permanen atas alat produksinya [berupa tanah] yang mengakibatkan masyarakat akan menjadi kaum landless [kaum yang tidak memiliki tanah dan hanya menjadi buruh penggarap]

Buruh dan pengupahan

Harapan penghidupan yang lebih layak bagi pekerja [buruh] perkebunan sawit, sebaiknya untuk sementara harus dipendam dahulu. Dari hasil survey langsung dengan buruh perkebunan sawit di Kabupaten Seruyan diketahui bahwa upah buruh sawit hanya berkisar antara Rp. 12.500 – Rp. 17.500 per hari. Upah tersebut diperoleh dengan bekerja selama 8 jam efektif sejak jam 7 pagi sampai jam 3 sore. Artinya juga masih ada waktu persiapan berupa perjalanan dari rumah menuju perkebunan sebelum jam 7 pagi dan waktu pulang sesudah selesainya jam kerja pada jam 3 sore.

Dengan demikian sesungguhnya waktu yang tersita untuk bekerja di kebun selama sehari hampir 10 jam jika ditambah dengan waktu persiapan dan kepulangan. Bila melihat durasi waktu ini, maka bagi buruh perkebunan hampir tidak dapat lagi melakukan aktivitas kerja tambahan lainnya untuk menambah penghasilan dan menunjang kehidupan keluarga.

Pengembangan karier bagi buruh dan pegawai perkebunan juga sangat minim karena posisi-posisi pada struktur perusahaan perkebunan sangat sederhana dan dibuat se-efektif dan se-efisien mungkin, sebagai konsekwensi dari modal yang lambat pergulirannya. Akibatnya posisi pegawai dan pengembangan karier berjalan sangat lambat kalaupun tidak dikatakan akan stagnan saja.

Buruh sawit sangat ketergantungan dengan perusahaan. Hidup mati buruh sangat tergantung dengan “kesehatan” perusahaan yang mempekerjakannya. Apabila manajemen perusahaan berjalan dengan baik maka buruh akan dapat terus bekerja, tetapi apabila terjadi guncangan pada manajemen perusahaan buruh akan mengalami krisis yang sangat tajam. Bahkan tidak tertutup kemungkinan akan terjadi PHK besar-besaran yang tidak dapat memenuhi hak-hak buruh [misalnya pesangaon] karena keguncangan keuangan perusahaan. Jika demikian maka biaya sosial yang akan ditimbulkannya juga akan ditanggung sebagai beban pemerintah dan seluruh rakyat.

Pendapat Gubernur Kalimantan Tengah yang dilansir media massa pada bulan Mei 2004 yang menyebutkan bahwa perbandingan serapan buruh dengan luas perkebunan adalah 1 : 3, dimana setiap 1 hektare kebun sawit membutuhkan dan akan mempekerjakan 3 orang buruh [belum termasuk tenaga administrasi] sesungguhnya sangat tidak beralasan. Tidak ada perusahaan perkebunan yang mampu mengelola kebun dengan rasio buruh demikian karena cost untuk buruh terlalu tinggi dan manajemen perusahaan akan “babak-belur”.

Dari beberapa dokumen yang dimiliki oleh perusahaan perkebunan yang sudah operasional, rasio buruh dan luasan lahan maksimal adalah 5 : 1, artinya setiap 5 hektare lahan dibutuhkan buruh sebanyak satu orang. Dan kebutuhan minimal lahan untuk setiap perkebunan agar dapat mencapai benefit diperhitungkan minimal sekitar 6000 hektare. Jadi jumlah buruh sekitar 1.200 orang.

Namun demikian, dalam jangka panjang persoalan perburuhan akan muncul dimana anak-anak buruh pada saatnya antara 15 – 20 tahun kedepan akan menjadi beban publik karena tidak mungkin ada ekspansi kebun bahkan semakin lama, jumlah buruh semakin harus dikurangi oleh perusahaan akibat perkembangan tehnologi. Sementara jumlah keluarga buruh semakin banyak dan lapangan kerja semakin terbatas. Ini harus dipikirkan secara serius. Penempatan buruh pada saat ini, dalam jangka pendek memang akan memberikan produktivitas dan gairah perputaran ekonomi domestik, tetapi dalam jangka panjang dan skala yang lebih luas akan meningkatkan beban pemerintah dan beban publik untuk memberikan “subsidi” kepada keluarga buruh karena minimnya penghasilan atau besarnya jumlah keluarga dan sempitnya lapangan pekerjaan lain atau masa non-produktif dari keluarga buruh tersebut.

Di Malaysia sesungguhnya isu perburuhan menjadi isu serius. Jumlah buruh asli Malaysia cukup banyak ditambah lagi dengan anak keturunannya. Tetapi kenapa mereka masih mendatangkan buruh dari Indonesia bahkan secara illegal ? Jawabannya adalah. Kerajaan, Malaysia memberikan jaminan hak buruh yang jelas kepada warga negaranya untuk mendapatkan upah minimun setiap bulannya. Upah minimun ini harus diberikan oleh manajemen secara penuh kepada buruh, bahkan jika buruh tersebut tidak dapat bekerja karena berhalangan tetap [misalnya sakit atau alat transportasi atau pabrik tidak dapat bekerja]. Berbeda dengan buruh dari Indonesia yang bekerja di Malaysia, mereka tidak mendapatkan perlindungan hukum seperti warga negaranya sendiri, oleh karenanya manajemen perkebunan sawit Malaysia senang mempekerjakan buruh dari Indonesia atau membuka perkebunan di Indonesia.

Ironisnya di Indonesia hak-hak buruh tidak dengan tegas dilindungi oleh undang-undang. Buruh lebih banyak yang menjadi sapi perahan dari perusahaan, bahkan perusahaan asing. Akibatnya buruh Indonesia baik yang bekerja di luar negeri ataupun di negeri sendiri tetap menjadi sapi perah pemodal kapitalis [bahkan pemodalnya orang asing]

Kesesuaian dan kesuburan lahan

Menurut berbagai sumber kajian mengenai tanah, status kesuburan tanah di Kalimantan Tengah termasuk dalam tanah kelas 4. Dengan status kelas 4 ini tentu saja perkebunan tidak akan memperoleh hasil yang optimal, padahal untuk mencapai keuntungan dibutuhkan hasil panen yang baik yang hanya dapat dihasilkan dari perkebunan di tanah-tanah kelas 2 atau kelas 3 seperti di Jawa dan Sumatera.

Jawaban praktis dari rendahnya kesuburan tanah Kalimantan Tengah tidak lain dan tidak bukan adalah menyediakan pertilizer [pupuk] yang memadai dan terus menerus selama periode tanam sampai tanaman sawit tidak produktif lagi [sekitar 25 tahun]. Tidak salah juga pilihan pengusaha perkebunan pada saat pembukaan lahan dengan menggunakan sistem bakar [burning], karena disamping untuk menghemat biaya sampai 1/6 dari sistem konvensiaonal, juga untuk meningkatkan kesuburan tanah pada saat bibit ditanam dengan maksud mengurangi beban biaya untuk pupuk. [untuk mengetahui kebutuhan pupuk sawit lihat tabel]

Penutup

Penulis sengaja dalam tulisan ini tidak menyampaikan kesimpulan dan atau rekomendasi, karena tujuannya adalah sebagai input awal dan harus dibicarakan lebih jauh lagi untuk tersusunya position paper bagi advokasi dan perlawanan rencana perkebunan sawit jutaan hectare di Kalimantan Tengah.

Semoga tulisan ini berguna, yang jelas tulisan ini masih “blepotan” terutama sistematika dan redaksional.

Palangkaraya, 27 Juni 2004

nordin

No comments: