“Pemberian WPR Bukan Solusi Persoalan Mercury”
P. Raya [13 Juli 2004]. Bahaya mercury [Hg] yang ditimbulkan akibat penggunaannya pada pertambangan rakyat di berbagai sungai di Kalimantan Tengah tidak dapat disangkal sebagai potensi ancaman yang serius atas keselamatan dan kesehatan manusia.
Kandungan mercury pada air sungai yang dikonsumsi masyarakat menurut beberapa penelitian resmi sudah melebihi ambang batas, dan paling tidak akibat penambangan telah menyebabkan perubahan kondisi air dari aspek kemurniannya [perbuahan pada warna]. Oleh karena itu memang sesungguhnya pertambangan rakyat dialiran sungai harus ditertibkan dan ditanggulangi.
Rencana Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah untuk melakukan penertiban dengan melakukan relokasi dan memberikan Wilayah Pertambangan Rakyat [WPR] bukan solusi untuk menanggulangi ancaman bencana “manimata” di Kalimantan Tengah. WPR hanya akan memindahkan sementara waktu kucuran mercury daripada ke sungai langsung menjadi kedaratan, tetapi akhirnya juga akan berakhir ke sungai-sungai yang airnya dikonsumsi manusia.
WALHI Kalimantan Tengah melihat bahwa rencana relokasi dengan pemberian WPR sesungguhnya hanya akal bulus pemerintah untuk mengeruk pendapatan asli daerah dengan dalih menyelamatkan manusia Kalteng dari bencana mercury. Sesungguhnya dengan pemberian WPR, ancaman mercury juga tidak akan hilang begitu saja karena penambangan di sungai atau di WPR juga tetap akan menimbulkan pencemaran mercury.
Kepedulian pemerintah sebenarnya adalah karena penambangan rakyat tidak membayar pajak atau retrebusi sehingga penambangan rakyat dituding sebagai biang kerok penyebar mercury, padahal kalau mau berpikir lebih dalam, pertambangan dilokasi WPR yang akan diberikan oleh pemerintah juga tetap akan menimbulkan pencemaran mercury.
Jadi tidak betul kalau WPR dan rencana pemerintah menertibkan tambang lanting untuk menyelamatkan masyarakat dari bencana mercury. Yang betul adalah pemerintah keberatan karena tambang-tambang lanting tidak memberikan konstribusi uang. Sekali lagi orientasi utama adalah uang dan bukan kesehatan dan keselamatan rakyat.
Kalaupun pemberian WPR dikatakan dapat menghentikan ancaman terhadap bahaya mercury, yang mana dari WPR para penambang dipungut retrebusi tambang, maka harus jelas bagaimana uang yang didapat dari konstribusi tambang tersebut digunakan untuk menanggulangi ancaman bahaya mercury. Yang menjadi kebiasaan dana tersebut kemudian melebur menjadi pemasukan daerah yang penggunaannya tidak untuk memulihkan kondisi lahan atau kesehatan masyarakat atau untuk menanggulangi mercury tersebut, melainkan menjadi ladang korupsi baru.
WALHI Kalteng berpendapat, untuk menanggulangi bahaya mercury hanya dengan membatasi dan mengontrol peredaran mercury, bila perlu dilakukan moratorium penggunaan mercury, tentu saja dibarengi dengan penegakan hukum dari ketentuan tersebut secara konsisten, jika tidak maka juga hanya akan menciptakan maling-maling dan penyeludupan mercury baru yang bersekongkol dengan penegak hukum.
Sementara dibagian lain, untuk menyelamatkan kondisi sungai perlu dibuatkan peraturan daerah mengenai tata guna sungai yang mengatur tentang kegunaan sungai dan larangan-larangan bagi aktivitas yang membuat terganggunya sungai, termasuk membuang limbah berbahaya dan beracun atau aktivitas yang berdampak buruk lainnya kepada sungai. Dengan peraturan tata guna sungai ini otomatis juga akan memberatas penambangan lanting di sungai.
Kandungan mercury pada air sungai yang dikonsumsi masyarakat menurut beberapa penelitian resmi sudah melebihi ambang batas, dan paling tidak akibat penambangan telah menyebabkan perubahan kondisi air dari aspek kemurniannya [perbuahan pada warna]. Oleh karena itu memang sesungguhnya pertambangan rakyat dialiran sungai harus ditertibkan dan ditanggulangi.
Rencana Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah untuk melakukan penertiban dengan melakukan relokasi dan memberikan Wilayah Pertambangan Rakyat [WPR] bukan solusi untuk menanggulangi ancaman bencana “manimata” di Kalimantan Tengah. WPR hanya akan memindahkan sementara waktu kucuran mercury daripada ke sungai langsung menjadi kedaratan, tetapi akhirnya juga akan berakhir ke sungai-sungai yang airnya dikonsumsi manusia.
WALHI Kalimantan Tengah melihat bahwa rencana relokasi dengan pemberian WPR sesungguhnya hanya akal bulus pemerintah untuk mengeruk pendapatan asli daerah dengan dalih menyelamatkan manusia Kalteng dari bencana mercury. Sesungguhnya dengan pemberian WPR, ancaman mercury juga tidak akan hilang begitu saja karena penambangan di sungai atau di WPR juga tetap akan menimbulkan pencemaran mercury.
Kepedulian pemerintah sebenarnya adalah karena penambangan rakyat tidak membayar pajak atau retrebusi sehingga penambangan rakyat dituding sebagai biang kerok penyebar mercury, padahal kalau mau berpikir lebih dalam, pertambangan dilokasi WPR yang akan diberikan oleh pemerintah juga tetap akan menimbulkan pencemaran mercury.
Jadi tidak betul kalau WPR dan rencana pemerintah menertibkan tambang lanting untuk menyelamatkan masyarakat dari bencana mercury. Yang betul adalah pemerintah keberatan karena tambang-tambang lanting tidak memberikan konstribusi uang. Sekali lagi orientasi utama adalah uang dan bukan kesehatan dan keselamatan rakyat.
Kalaupun pemberian WPR dikatakan dapat menghentikan ancaman terhadap bahaya mercury, yang mana dari WPR para penambang dipungut retrebusi tambang, maka harus jelas bagaimana uang yang didapat dari konstribusi tambang tersebut digunakan untuk menanggulangi ancaman bahaya mercury. Yang menjadi kebiasaan dana tersebut kemudian melebur menjadi pemasukan daerah yang penggunaannya tidak untuk memulihkan kondisi lahan atau kesehatan masyarakat atau untuk menanggulangi mercury tersebut, melainkan menjadi ladang korupsi baru.
WALHI Kalteng berpendapat, untuk menanggulangi bahaya mercury hanya dengan membatasi dan mengontrol peredaran mercury, bila perlu dilakukan moratorium penggunaan mercury, tentu saja dibarengi dengan penegakan hukum dari ketentuan tersebut secara konsisten, jika tidak maka juga hanya akan menciptakan maling-maling dan penyeludupan mercury baru yang bersekongkol dengan penegak hukum.
Sementara dibagian lain, untuk menyelamatkan kondisi sungai perlu dibuatkan peraturan daerah mengenai tata guna sungai yang mengatur tentang kegunaan sungai dan larangan-larangan bagi aktivitas yang membuat terganggunya sungai, termasuk membuang limbah berbahaya dan beracun atau aktivitas yang berdampak buruk lainnya kepada sungai. Dengan peraturan tata guna sungai ini otomatis juga akan memberatas penambangan lanting di sungai.
# # #
No comments:
Post a Comment