Friday, May 26, 2006

Selamat Datang Sawit, Selamat Datang Kaum Landless


Landless adalah istilah bagi suatu kaum yang tidak mempunyai tanah atau sebuah bangsa atau suku bangsa yang keberadaannya nyata tetapi sesungguhnya dia tidak mempunyai tanah atau lahan untuk mengambangkan kehidupan dan mata pencariannya. Contoh bangsa-bangsa demikian seperti Palestina, bangsa Aborigin di Australia dan bangsa Indian di Amerika.

Di Indonesia juga sebagian besar masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa adalah kaum landless yang tidak mempunyai tanah lagi, petani atau kelompok agraris yang sangat besar di Pulau Jawa sesungguhnya hanyalah petani penggarap dan bukan pemilik tanah. Disamping tanahnya sudah direbut sebagai tanah negara yang dikelola oleh Perum Perhutani, juga berubah fungsi menjadi kawasan industri.

Kalimantan Tengah yang dihuni oleh sebagian besar masyarakat adat Dayak dari berbagai sub-suku serta beberapa suku lainnya pada saatnya juga akan menjadi kaum landless. Masyarakat Adat Dayak akan kehilangan tanahnya, kebunnya, beje-nya, kaleka nya, pahewan-nya dan tanah-tanah keramatnya.

Indikasi kearah ini sudah sangat nampak, landless sudah diambang mata. Kalau mau bukti perhitungan dan fakta-fakta berikut akan membawa anda menjadi yakin kalau orang Dayak akan kehilangan tanahnya dalam jangka tidak sampai 10 tahun lagi.

Fakta 1 : Pada tahun 2003 Pemerintah daerah dan DPRD Kalteng dengan gagah telah mengesahkan Perda No. 8 Tahun 2003 tentang RTRWP Kalteng - yang sesungguhnya juga masih kontroversial dan ditentang NGOs karena ada alih fungsi hutan secara manifulatif untuk meloloskan tambang-tambang raksasa - dengan membagi-bagi peruntukan tanah secara sepihak tanpa konsultasi dengan masyarakat sebagai bagian tak terpisahkan dari bangsa yang mendiami wilayah Kalteng sejak ratusan bahkan ribuan tahun.

Pejabat Pemerintah kita tidak sadar bahwa kedudukan dan martabat yang disandangnya sekarang berasal dari usaha moyangnya mengelola tanah. Tanah yang menghasilkan rotan, getah, nasi dan duit untuknya sekolah. Ternyata kemudian kepintarannya digunakan hanya untuk merampas tanah-tanah rakyat. Sungguh kita betul-betul telah menjadi bangsa yang sial, sekali lagi sial.

Fakta 2 : Tahun 2004 sekitar awal tahun sampai dengan bulan Mei 2004 Gubernur Kalimantan Tengah menggulirkan rencana spektakulernya untuk mengembangkan perkebunan sawit jutaan hectare [sesungguhnya bukan sejuta hectare]. Rencana ini tentu saja tidak lepas dari pengaruh dan propaganda canggih kaum kapitalis yang bermaksud mengusaia tanah-tanah rakyat Kalteng untuk pembangunan perkebunan sawit miliknya.

Sayang-sungguh sayang pejabat kita yang telah berhasil menjadi “orang” karena tanah dan hasil diatasnya terbuai dan mabuk dengan bujukan ini, sehingga dengan gampang mengorbankann tanah-tanah rakyat untuk dijadikan perkebunan skala raksasa, milik konglomerat. Sungguh sekali lagi wacana ekonomi kerakyatan betul-betul hanya dilidah dan bualan busuk saja. Ekonomi tetap bertumpu pada pertumbuhan yang selama krisis terbukti tidak mampu membendung badai keterpurukan ekonomi bahkan krisis multidimensional.

Pertumbuhan ekonomi dengan basis konglomerasi sangat mudah untuk melarikan modal dan hanya meninggalkan sisa-sisa ampas dan pencemaran serta keterbengkalaian bersama derita rakyat.

Kembali kepada soal landless dan keterkaitannya dengan fakta 1 dan fakta 2, maka akan saya tampilkan angka-angka berdasar fakta 1 yang berimplikasi pada fakta 2 seterusnya berimplikasi pada landless masyarakat Dayak.

Dalam RTRWP Kalteng sesuai dengan Perda no. 8 Tahun 2003 hanya ada 2 peruntukan lahan yang memungkinkan dikelola oleh “rakyat” [dalam tanda petik karena masih ada pertanyaan-rakyat yang mana ?], yaitu Kawasan Pengembangan Produksi [KPP] dan Kawasan Pemukiman dan Peruntukan Lainnya [KPPL]. Selebihnya merupakan peruntukan kawasan seperti Cagar Alam, Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, Kawasan Hidrologi, Kawasan Ekosistem Air Hitam dan lain-lain sejumlah 18 items. Kawasan tersebut dapat dikatakan tidak dapat dikelola oleh rakyat secara normal, kecuali dengan prosedure khusus yang sangat berbelit atau bahkan merupakan kawasan “terlarang”.

KPP Kalteng diperuntukan seluas 2.789.108,09 ha dan KPPL seluas 1.920.054,79 ha. Atau secara keseluruhan luasnya kalau dijumlahkan adalah 4.709.162.88 ha.
Dengan luasan demikian, kita akan mulai berhitung mengenai porsi ideal bagi petani atau masyarakat pengelola tanah, dimana banyak literatur menyebutkan luasan ideal bagi petani atau pengelola tanah adalah sekitar 2 hektare [belum termasuk untuk pemukiman dan pekarangan].

Lalu tengoklah angka jumlah penduduk Kalteng saat ini [saja], jumlahnya sekitar 1,9 juta orang [belum diperhitungkan pertumbuhan penduduk dalam waktu 10 tahun kedepan]. Dengan angka penduduk yang demikian, idelanya harus dialokasikan tanah sebagai persiapan kedepan paling tidak seluas 1,9 juta X 2 ha, yaitu sebanyak 3.800.000 ha.

Dalam jangka 10 tahun kedepan, barangkali tanah seluas itu dapat dijadikan sebagai ladang seluas 0,5 haektare, kebun seluas 0.4 hektare, perumahan dan pekarangan 0,2 hektare, sisanya adalah untuk kuburan kalau kita semua telah mati dan pasti mati.

Memang KPP dan KPPL di Kalteng yang dimuat dalam RTRWP lebih luas dari kebutuhan ideal pemilikan tanah bagi rakyat, tetapi………….angka 4.709.162.88 ha KPP dan KPPL tersebut telah lebih dahulu dikuasai dan diperuntukan bagi perkebunan skala raksasa [sawit] yang luasnya diprediksikan sekitar 2,5 juta hectare. Jadi sisanya hanya tinggal 2.2 juta ha saja. Kalau mau dibagikan secara ideal maka angka tersebut hanya akan memberikan gambaran bahwa setiap orang di kalteng saat ini hanya akan memiliki rasio atas tanah seluas 1,16 hektare.

Peluang rakyat untuk mendapatkan “keamanan” atas tanahnya untuk dapat memperoleh kedaulatan atas pengelolaan lahan dan tanahnya sesungguhnya sudah dibuka dan terbuka melalui TAP MRP No. IX tahun 2001 Tentang pembaruan Agraria dan pengelolaan Sumberdaya Alam. Bahkan dalam Sidang Umum MPR Tahun 2003 memutuskan bahwa TAP MPR No. IX tetap berlaku sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam ketetapan tersebut. Dus….kemudian ditambah lagi dengan Hasil sidang Komisi C tentang Saran yang merumuskan beberapa hal terkait dengan materi tersebut, yang salah satunya adalah “…mempermudah dan mempermurah proses sertifikasi tanah untuk rakyat kecil, khusunya para petani…”.

Tetapi kemudian apa yang terjadi, saran dan ajuran tetap saja saran dan anjuran, “ anjing menggonggong, kapilah tetap berlalu”. Tidak ada kemudahan dan kemurahan bagi rakyat kecil. Kemudahan dan kemurahan hanya milik pemodal berkantong tebal dan pintar berdasarkan propaganda.

Dengan demikian adalah pantas saya ucapkan pada kita semua ; Selamat menunggu hari-hari tanpa tanah dan menjadi kaum landless. Semoga.

No comments: