Wednesday, May 17, 2006

…..Hmm…. Karbon Trading [?]
oleh : Nordin*)

Saat sekarang kondisi emisi karbon atau Gas Rumah Kaca di dunia sudah sangat membahayakan bagi pengikisan lapisan ozon yang merupakan selimut pelindung bumi dari sinar ultra violet dan infra red matahari. Bahaya akibat menipisnya ini adalah penyakit-penyakit semacam kanker kulit dan yang lebih berbahaya lagi adalah terjadinya pemanasan global yang menyebabkan melelehnya es-es di bagian kutup bumi. Hal ini jika terjadi terus menerus dapat menyebabkan tenggelamnya pulau-pulau di dunia.

Siapa yang Untung dengan Karbon Trading ?

Pemanasan global dan perubahan iklim merupakan permasalahan global karena dampaknya dirasakan di seluruh permukaan bumi. Negosiasi internasional telah memberikan beberapa alternatif untuk mencegah terjadinya peningkatan dampak ini. Salah satunya adalah perdagangan karbon dengan berbagai mekanismenya.

Emisi karbon banyak disebabkan oleh industri yang muncul sejak revolusi industri di negara-negara utara (maju), jadi penyumbang terbesar kerusakan ozon adalah negara maju dengan berbagai industrinya. Oleh karena itu, untuk mengurangi tingkat emisi karbon, negara-negara maju harus menurunkan kapasitas industri dan mengharuskannya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca rata-rata sebesar 5 persen di bawah tingkat emisi tahun 1990 pada tahun 2012 nanti. Sebagai contoh AS seharusnya menurunkan intensitas gas rumah kaca (GRK) sebesar 18 persen selama 10 tahun (periode 2002-2012), yaitu dari 183 ton per juta dolar GDP tahun 2002 menjadi 151 ton per juta dolar GDP tahun 2012.

Cara lainnya adalah menghentikan pembalakan hutan penyerap karbon dan merehabilitasi kawasannya. Tetapi ketiga hal tersebut tidak dapat (bahkan tidak mau) dilakukan oleh negara-negara maju semisal Amerika, Jepang, Rusia, Kanada, dan Australia. Konon juga pejabat tinggi Kanada dalam COP 7 UNFCCC mengatakan tidak perlu adanya sanksi bagi negara yang melanggar ketentuan Protokol Kyoto. Kenapa ? karena dengan menurunkan kapasitas industrinya akan terjadi kegoncangan ekonomi dinegara mereka, pengangguran akan meningkat, krisis dan kelumpuhan ekonomi. Sementara untuk menyiapkan hutan penghisap karbon, negara-negara maju sudah tidak lagi mempunyai hutan dan sudah hancur sejak revolusi industri dan perang dunia terjadi apalagi untuk merehabilitasi kawasannya, tentu saja akan memakan biaya yang sangat mahal dan hampir tidak mungkin dilakukan pada kawasan-kawasn seperti di Amerika yang merupakan kawasan tandus bekas tambang.

Dengan kondisi demikian, pilihan paling mudah dan murah serta paling mungkin adalah “mendesak” negara-negara tropis untuk tetap terus mempertahankan hutannya sebagai penghisap karbon dengan cara “perdagangan“. Sayangnya desakan untuk menyediakan penghisap karbon di negara-negara tropis yang rata-rata miskin ini, tidak mau dibarengi dengan [juga] menurunkan kapasitas industri negara maju. Artinya tetap saja jumlah emisi yang beredar di atmosfer dunia tinggi. Semestinya kedua hal [penyediaan penghisap karbon dan penurunan jumlah industri penghasil karbon] dilakukan beriringan, sehingga terjadi keseimbangan tanggung jawab antara negara utara dengan negara selatan.

Perdagangan Karbon dan Cuci Dosa Perusak Lingkungan

Seperti telah diutarakan diatas bahwa salah satu penyebab utama meningkatnya penipisan lapisan ozon adalah akibat emisi buang dari industri, terutama industri minyak dan gas. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan akan minyak dan gas adalah kebutuhan manusia yang masih sulit digantikan oleh bahan bakar lain, akan tetapi akibat industri-industri yang mengelurakan karbon ke atmosfer inilah yang menjadi penyumbang kerusakan ozon dan udara.

Konvensi Tingkat Tinggi Bumi 13 tahun yang silam di Rio de Jenerio, Brasil merekomendasikan untuk dilakukan penurunan emisi karbon, namun kembali dan sayangnya negara-negara maju membandel dan dengan licik menekan negara selatan untuk bertanggungjawab atas masalah ini. Dalam hal ini negara utara lebih melihat bahwa bentuk pertanggung jawabannya adalah melalui dana-dana lingkungan [semacam bio carbon fund].

Coorporate penghasil karbon sendiri, yang selama ini telah banyak mengeruk sumberdaya alam dan melakukan perusakan lingkungan dan bahkan melakukan pelanggaran HAM dan bekerja dengan pemerintah yang korup dan militer yang menindas hanya bertanggung jawab dengan dana pembangunan saja tanpa melakukan upaya untuk perbaikan lingkungan yang komprehensif.

Metode canggih yang ditawarkan oleh coorporate demikian, biasa disebut dengan greenwash, yaitu pemberian dana-dana perbaikan lingkungan sebagai konvensasi perbuatan mereka merusak lingkungan. Perusakan lingkungan yang dilakukan suatu wilayah yang mana dana tersebut dihasilkan secara licik kemudian diberikan kepada lembaga-lembaga pengelola dana [funding agency] untuk seolah-olah melakukan perbaikan di suatu wilayah lainnya. Proses yang dijalankan ini merupakan upaya “cuci dosa” oleh coorporate yang sebetulnya hanyalah “uang receh” atau “permen karet” saja kalau dibandingkan dengan nilai kerusakan yang ditimbulkannya.

Ironisnya, dengan metode ini banyak pihak yang memanfaatkannya, terutama kaum oportunis dan “pengangguran” di negara-negara maju [walaupun di Indonesia mereka biasanya dianggap sebagai expert] dengan cara memberikan janji-janji dan pembangunan semu dan proyek-proyek pelestarian lingkungan di negara selatan. Sebagai contoh adalah sebuah perusahaan pertambangan minyak dan gas Shell [Royal Dutch Shell] yang berkantor hampir diseluruh dunia yang melakukan greenwash dengan mengeluarkan dana beberapa milyar rupiah untuk proyek perlindungan kawasan hutan dan rehabilitasi mamalia orangutan [salah satunya di Kalimantan Tengah ]

Proyek ini sendiri secara sepihak telah mengklaim kawasan kelola rakyat dan menutup akses rakyat dengan justifikasi bahwa rakyat tidak dapat mengelolanya dengan baik atau dikatakan bahwa rakyat adalah perusak lingkungan. Pendekatan yang dilakukan melingkupi 2 hal, yaitu janji-janji muluk perbaikan sosial dan ekonomi pada masyarakat sekitar lokasi proyek dan melakukan tekanan melalui pendekatan dengan penguasa [biasanya selalu menjual nama-nama pejabat penting pemerintahan baik pusat ataupun daerah]. Padahal Shell sendiri berkelakuan sangat buruk terhadap lingkungan dan manusia di tempatnya bekerja, misalnya di Nigeria-Afrika [salah satunya adalah kasus Pembunuhan Ken Saro-wiwa dan 8 orang suku Ogoni lainya di Nigeria.]

Dengan peta kondisi yang demikian, maka dengan jelas dapat dilihat bahwa mekanisme karbon trading dan sejenisnya belum dapat menjawab kerusakan lingkungan global bahkan hanya memberikan peluang bagi kaum kapital perusak lingkungan untuk melakukan pencucian dosa yang dibuatnya.

Persoalan lainnya dalam karbon trading adalah mekanisme pendanaan “diatas langit”, tidak dapat disentuh langsung oleh masyarakat dan hanya dapat dilakukan oleh kelompok-kelompok pintar [serta licik] saja. Masyarakat kembali hanya menjadi penonton dan penerima serta objek dari pertunjukan yang disebut dengan karbon trading. Bahkan bukan hanya masyarakat basis saja yang sangat tidak jelas dan tidak dapat mengakses mekanisme karbon fund ini, pemerintah [daerah] dan NGOs sendiri juga sangat sulit dan belum mengerti dengan karbon trading ini.

Hanya saja, kelemahan yang terjadi adalah bahwa kita masih senang mendengarkan janji-janji dan mengkhayal untuk dapat “lotere” yang disebut dengan perdagangan karbon. Padahal kita belum menyadari bahwa siapa yang paling diuntungkan, siapa yang memetik keuntungan dan siapa yang mencari-cari keuntungan. Yang jelas belum ada penjelasan yang dapat memberikan pencerahan mengenai akses dan kesempatan masyarakat lokal.

*) Aktivis Save Our Borneo, mantan Direktur WALHI Kalteng 1999-2006

1 comment:

RETNO WULANDARI said...

Betul. Kita sepertinya sudah terbius dengan janji2 carbon trading. Padahal untuk mengurus ijin2 serta sertifikat (sebagai dasar untuk jualan carbon) saja, biayanya... minta ampun besarnya!. Pemerintah bahkan masih membebaninya dengan biaya iuran yang sama dengan hph!. Biaya2 itu sendiri larinya sebagian besar kenegara2 maju, bahkan mencapai 70%!