Friday, July 15, 2011

Pilkada, Tebar Pesona dan Kriminalisasi Warga

Catatan Kecil 2010

Pilkada, Tebar Pesona dan Kriminalisasi Warga

Nordin*)


Save Our Borneo [des.2010]- Dua kata pertama dari judul tulisan sebagai refleksi 2010 ini sudah jelas-jelas saling berhubungan sangat erat, ibarat amplop dan perangko. Pilkada, baik Pilkada Kabupaten [yang ada di 2 kabupaten di Kalteng] dan Pilkada Provinsi Kalimantan Tengah sendiri jelas-jelas merupakan ajang cari muka dan tebar pesona disertai tebar janji manis yang sudah jadi rahasia umum.


Apa buah hasil dari Pilkada dan Tebar Pesona itu ? setidaknya terpilih pimpinan daerah yang punya pesona atau mampu menampilkan pesona wajahnya yang seolah sangat pro-rakyat, pro perubahan, pro-lingkungan dan pro-pro lainnya. Juga dihasilkan sebuah kekisruhan pilkada [di Kobar] yang tidak menghasilkan apa-apa kecuali semakin memperjelas borok dan topeng politik dari pimpinan daerah yang sesungguhnya tidak siap kalah dan hanya siap menang.


Pilkada yang terjadi 2010 ini, meskipun hanya 3 pilkada yaitu 2 kabupaten dan 1 propinsi sangat-sangat menampakan wajah asli para pihak yang terlibat, meskipun sudah demikian rupa dipoles dengan topeng politis. Tengok saja keberpihakan birokrasi pada salah satu calon, upaya kolekte pada pemodal, dan bahkan petualang politik yang turut mewarnai ajang adu citra tersebut.


Lepas dari itu, kisruh juga mewarnai perebutan suara di berbagai daerah, tersiar kabar para punggawa daerah ini saling sikut kerena merasa koleganya [yang meskipun se-partai ] tidak / kurang mendukungnya dan ini berlanjut terus hingga sampai ke urusan NIP CPNS yang juga jadi polemik.


Adakah perubahan fundamental yang terjadi dari penyelenggaran Pilkada yang menghabiskan sangat banyak uang rakyat tersebut terhadap kehidupan warga-warga biasa, dalam artian rakyat secara harpiah ? jawabannya ada ? yaitu warga dibeberapa daerah harus gigit jari terus karena lahannya, tanahnya, sungainya dirampas dan dirusak oleh investasi yang sudah menyandera para politisi.


Jelas pemodal ini merasa berani dan aman, toh mereka sudah dapat jaminan kemanan dari jasanya menyumbang para calon [bahkan tanpa malu-malu ada calon yang mengumpulkan mereka ini disaat mejelang pilkada dengan alasan konsolidasi ; suara dan uang tentunya].


Kriminalisasi dan problematika serta konflik antara pemodal yang notabane punya hubungan mutualistis yang lebih dekat dengan pejabat politik [jauh lebih dekat dibandingkan hubungannya dengan rakyat, yang hanya dibutuhkan ketika suaranya diperlukan di bilik suara] semakin menjadi-jadi, sementara penyelesaian dan fasilitasi pemerintah bahkan parlemen daerah terhadap permasalahan lahan dan konfliknya dengan persauhaan raksasa hanya lips service saja.


Kejadian lucu dialami oleh seorang aktivis WALHI Kalimantan Tengah ketika mendampingi warga Kapuas bertemu dengan wakil mereka di parlemen Kalteng. Alih-alih difasilitasi untuk mencari solusi penyelesaian masalah konflik dan protes mereka terhadap PT. GAL, seorang wakil rakyat [sekali lagi wakil rakyat, bukan wakil rayap] justru meminta WALHI Kalteng memfasilitasi warga untuk mengurus dan mendampingi warga untuk bertemu dan berdialog dengan pihak-pihak lainnya. Tentu saja Fandi [aktivis WALHI Kalteng tersebut], geram dan menyahut :” lho yang menjadi wakil rakyat khan sampeyan, bukan WALHI. Yang digaji rakyat dari uang pajak khan sampeyan, bukan WALHI. Sampeyan dong yang harusnya berkewajiban untuk melakukan apa yang disarankan itu”.


Bukannya terima dengan apa yang disampaikan bersama dengan fakta-faktanya bahwa mereka itu adalah mengecap gaji dari uang pajak rakyat, malahan sengit dan merasa paling pintar, namun tidak mau sibuk untuk urusan rakyat kecil.


Paling banter yang diperoleh warga negara yang sedang sial adalah berupa sekian surat yang dikeluarkan sebagai rekomendasi, tapi ujung-ujungnya hanya jadi sampah dan macan kertas saja tanpa ada tindakan lanjutnya jika tidak diselesaikan oleh pemodal [ lebih tepat jika perusahaan raksasa ini disebut kompeni besar].


Di Kapuas, warga yang bersengketa dengan PT. GAL mendapat kriminalisasi karena emosi dengan pejabat berwenang yang membuat mereka seperti bola ping-pong. Penyelesaian substansialnya-pun akhirnya tidak kunjung selesai. Sudah tahu bermaslaah, justru Komisi Amdal / Badan Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah menyetujui untuk terbitnya AMDAL bagi PT. GAL, padahal yang namanya Amdal juga memuat soal social, salah satunya konflik, mestinya jika masih ada sengketa dan konflik, maka Amdal tidak bisa berjalan mulus dulu.


Di Seruyan ada sengketa lahan transmigrasi di Sukamandang dengan PT. BJAP juga tidak pernah jelas selesainya, pastikan saja, jikapun dianggap selesai maka yang menanggung rugi dan derita adalah rakyat kecil.


Lain lagi dengan di Sembuluh dan Bangkal, masih Seruyan juga. Nyata-nyata perusahaan telah mencaplok lahan warga dan tidak ada kesepakatan ganti rugi dengan warga, dan warga memutuskan untuk tidak menyerahkan lahanya, justu mendapat perlakuan tidak menyenangkan berupa kriminalisasi dengan tuduhan pencurian buah sawit dari PT. Salonok Ladang Mas [padahal mereka memotong buat itu akibat lahanya sengketa dan tidak pernah ada penyelesaian].


Warga bangkal justu juga mendapat kesialan lain dimana ketika mereka menjalankan ritual adatnya untuk menjaga lahanya dengan cara memasang taringting sawang, malah dituduh menganggu aktivitas perusahaan [PT. MHBP], sementara perusahaan yang telah nyata-nyata menggangu asap dapur warga dengan merusak dan merampas tanahnya enak-enakan saja duduk di belakang meja.


Cerita kriminalisasi adalah cerita milik rakyat biasa, bukan cerita milik kompeni besar, bukan pula cerita peserta apalagi pemenang Pilkada. Bobolnya kolam limbah PT. SSP di Parenggean dan PT. BHL ke Sungai Bamban tidak pernah merepotkan aparat polisi atau bahkan hanya PPNS lingkungan untuk membuat Berita Acara Pemeriksaan, apalagi menyibukan jaksa penuntut umum, ahhhh….itu sangat jauh sekali. Cerita semburan limbah pabrik, bukan dan sangat jauh berbeda cerita rakyat kecil yang seringkali berakhir dengan jeruji besi, walaupun hanya memotong sebatang pohon untuk tiang bangunan rumahnya.


Pembalakan dan pembukaan kawasan hutan tanpa ijin pelepasan kawasan hutan [IPKH] dari Kementerian Kehutanan juga bukan cerita rakyat kebanyakan, tapi cerita tentang jutaan hectare luasan kawasan hutan yang digarap dan diberikan ijin untuk perkebunan kelapa sawit.


Namun meskipun luasnya spektakuler, karena ini bukan cerita milik rakyat, maka sejarahnya jadi rumit dan buram bahkan diupayakan untuk dihilangkan dengan berbagai cara, dibuat seolah legal, dibuat seolah untuk kepentingan rakyat dan dibuat seolah tidak bermasalah secara ekologi.


Semua ini pasti ada dalangnya, ……yah, Pilkada menghasilkan dalang-dalang kawakan yang mampu memainkan wayang-wayang bodoh yang terpaksa atau sukarela turut berbuat jahat untuk generasi ini, untuk generasi masa depan dan untuk bangsa ini.


Kalau saja penegakan hukum di tanah negeri ini “pro-justita” dan bukannya ewuh pakewuh terhadap politik serta lembaga politik dan politisi-nya, maka harusnya pecolong-pencoleng kakap yang akan banyak difasilitasi oleh Kementerian Hukum dan HAM melalui Lembaga Pemasayarakatan /Rutan-nya, bukan warga biasa yang hanya mempertahankan tanahnya, alat produksi utamanya dan kehidupan kecilnya yang ramai di kriminalisasi.


*) Direktur Save Our Borneo, Dewan Nasional WALHI, bertempat tinggal di Palangkaraya, No. KTP P. 62710007241, NIK 6271031211700003

2 comments:

Anonymous said...

Din...lu nulis sebagian ada benarnya..tapi banyakan salahnya...tulisan lu nih dibaca banyak orang,jadi kalau lu mau bagi info, yang valid dong jangan info yang asal mangap aja...ok
keep trying bro...

Nordin said...

yang mana yag gx benar dan yg mana yang benar...silakan disebutkan saja, loe pakai anonymous pula...