Thursday, December 14, 2006

“Illegal Logging Dampak Perkebunan Sawit”

Siaran Pers
Untuk Disiarkan Segera

Dari : Save Our Borneo
Kontak Person : Nordin
Jabatan : Coordinator
Alamat : Jl. Aries No. 38 Komp. Amaco P.Raya
HP/Telp : 08125060346/+62 [536]3228100
e-mail : nordin1211@yahoo.com.sg


“Illegal Logging Dampak Perkebunan Sawit”
Masyarakat Jadi Tumbal Saja


Illegal logging yang banyak terjadi di Kalimantan berhubungan dengan gencarnya pembukaan perkebunan kelapa sawit. Artinya pembukaan perkebunan kelapa sawit mempunyai andil besar atas terjadinya illegal logging.

Seperti diketahui bahwa pemberian ijin pembukaan perkebunan kelapa sawit selalau berada dalam kawasan hutan atau kawasan yang berhutan, dimana setidaknya potensi tegakan kayu komersial yang ada didalamnya berkisar antara 25-40 meter kubik per hectare.

Pembukaan perkebunan kelapa sawit dipastikan harus membabat dan memberangus semua kayu tegakan di lahan yang diperuntukan baginya, oleh karena itu, maka tidak dapat dipungkiri bahwa akan menyebabkan begitu banyak kayu komersial yang musnah sia-sia dari pembukaan kebun kelapa sawit tersebut.

Sebagai contoh, di Kabupaten Seruyan Propinsi Kalimantan Tengah telah diberikan ijin lokasi perkebunan kelapa sawit di kawasan berhutan sekitar 350.000 hektare, jika 1 hektare terdapat 30 meter kubik saja kayu komersial maka akan ada pembantaian [clear cutting] terhadap 10,5 juta kubik kayu komersial. At least bila setiap kubiknya dipungut US $ 16, maka Negara telah kehilangan sebesar US $168 juta atau sekitar Rp. 1,5 trilyun

Dengan kondisi dimana PBS Sawit yang tidak mempunyai ijin IPK, maka akan dimanfaatkan oleh banyak pihak untuk meraup keuntungan dengan memungut kayu-kayu tersebut. Ironisnya pemanfaatan kayu tersebut [yang sering disebut dengan limbah] oleh masyarakat setempat kemudian masuk dalam katagori kayu haram.

Jika melihat dari duduk persoalan sebenarnya, maka sesungguhnya pangkal soal maraknya illegal logging [dan juga kebakaran hutan dan lahan] adalah akibat pemberian ijin perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan atau areal yang berhutan. Masalahnya adalah ketamakan dan keteledoran serta sipat mencari keuntungan dari pejabat pemberi ijin yang juga disinyalir turut meraup keuntungan dari kayu-kayu di areal perkebunan kelapa sawit tersebut.

Untuk memberangus illegal logging, salah satu cara yang paling mudah adalah dengan menghentikan pembukaan kawasan hutan dan kawasan berhutan untuk perkebunan kelapa sawit, berikan ijin dan buka saja kebun sawit di kawasan yang tandus dan tidak berhutan, maka tidak akan ada illegal logging.

Dalam hal illegal logging yang dihasilkan dan berasal dari kayu-kayu yang berasal dari pembukaan areal perkebunan kelapa sawit ini patut dicatat bahwa biang soalnya adalah pejabat yang memberikan ijin di kawasan hutan dan berhutan. Mereka inilah yang sebenarnya dalang dan pendukung illegal logging secara sistematis.

Aparat hokum harus lebih cermat dan bijak melihat persoalan illegal logging ini dengan tidak hanya mengejar pelaku dan pengumpul kelas teri saja, tetapi juga harus ditelusuri asal usul dan keterlibatan sistematis pember ijin pembabatan hutan untuk perkebunan. Illegal logging buka hanya kayu-kayu yang telah milir di sungai atau beredar di jalan-jalan, melainkan juga aktivitas pembalakan dan penebangan yang dilakukan diareal hutan dan kawasan berhutan.

# # #

Saturday, October 14, 2006

Kapolri Perintahkan Kapolda Kalteng



Sabtu, 14 Oktober 2006, Kalteng Post
Tangkap Pembakar Lahan Kapolri Perintahkan Kapolda Kalteng

PALANGKA RAYA - Kapolda Kalteng Kombes Pol Drs Dinar SH MBA memerintahkan jajarannya menangkap pelaku pembakaran lahan dan kebun. Pasalnya, asap dari dampak pembakaran sangat berbahaya. Selain merugikan negara, pembakaran lahan dan kebun juga merugikan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Hal ini diungkapkan Dinar pada siaran persnya Jumat (13/10) pagi di ruang rapat lantai tiga Mapolda Kalteng.

Dinar mengatakan, dua hari lalu mendapat telegram dari Kapolri. "Kapolri memerintahkan saya segera menangkap pembakaran lahan dan kebun di Kalteng," jelas Dinar.

Sebagai tindak lanjut perintah Kapolri, Dinar telah memerintahkan seluruh Kapolres dan Kapolsek menindaklanjutinya. "Saya targetkan setiap Polsek menangkap empat pelaku pembakaran lahan dan kebun," kata Dinar.

Kapolda juga memerintahkan anggotanya mulai hari ini (kemarin, Red) mempolice line lahan atau kebun yang terbakar. "Kita akan selidiki siapa pemilik lahan dan pembakarnya," jelas mantan Wakapolda Sulawesi Utara ini.

Kapolda sendiri menyayangkan kurangnya partisipasi masyarakat untuk ikut memadamkan api. Padahal tersebut persis berada di samping rumah. "Sampai-sampai ada rumah terbakar di Jalan Tjilik Riwut Km 12," katanya.

Karena itu Kapolda mengimbau jajarannya ikut berpartisipasi memadamkan api di sekitar tempat tinggalnya. Melalui kesempatan itu, Kapolda juga memaparkan saat ini pihaknya telah berhasil mengungkap 12 kasus kebakaran lahan dan kebun.

12 kasus tersebut tersebar di enam Kabupaten atau Kota di Kalteng diantaranya Kabupaten Seruyan, Kotawaringin Timur, Palangka Raya, Kotawaringin Barat, Barito Timur dan Kapuas. Dari enam Kabupaten itu Kotim menempati urutan pertama dengan empat kasus, Kobar tiga kasus, Seruyan dua kasus dan Palangka Raya, Bartim dan Kapuas masing-masing satu kasus.

Dari 12 kasus pembakaran lahan dan kebun yang berhasil diselesaikan, delapan diantaranya adalah perusahan perkebunan. Sedang sisanya perorangan.

Selain telah menetapkan tersangka, Kapolda mengatakan saat ini pihaknya sedang menangani 12 kasus. tujuh kasus dalam tahap sidik dan lima kasus dalam tahap lidik.

Dinar menambahkan, para terpidana dijerat UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, UU No 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, UU No 18 tahun 2008 tentang perkebunan dan Perda No 5 tahun 2003 tentang pembakaran lahan dan hutan.(yan)

Daftar Perusahaan Perkebunan Kelapa sawit Pembakar Lahan

Kotim 4 Perusahan;
1. PT Sawit Windu Nabatindo Lestari
2. PT Agro Karya Prima
3. PT Karya Makmur Bahagia
4. PT Agro Bukit

Kobar 3 Perusahaan :
1. PT Bangun Jaya Alam Permai
2. PT Aspac Paper

Seruyan 2 Perusahaan :
1. PT Hamparan Masawit Bangun Persada
2. PT Sarana Titian Permata

Sumber: Polda Kalteng

Celaka...!!!!
Selalu yang disuruh tangkap hanya PELAKU.....[ini khan cuma jongos suruhan
aja]. Pelakunya pasti saja cerdik dan tidak akan pernah menyisakan alat BUKTIdan membakar didepan org banyak sebagai SAKSI.
Lebih cerdik lagi adalah perusahaan yang memetik keuntungan dari terbakarnya
lahan BAKAL CALON areal kebunya [bukan kebunya] dengan ongkang2 kaki tp tdk
kehilangan duit banyak untuk land clearing lahan / hutan lebat BAKAL CALON
kebunnya.

Di sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalteng, perusahaan milik
Malaysia ini nekad membakar areal bakal kebunnya termasuk juga kebunnya ynag
sudah berumur 4-5 tahun... Hanya saja kebunnya yang terbakar tersebut tidak
begitu besar, ya sekitar 10 ha [1/2 blok]. Kenapa mereka nekad membakar
kebunnya sendiri ? ternyata hal tersebut dijadikan alibi, bahwa seolah
mereka juga rugi krn kebunya terbakar, sehingga tdk ada logikanya kalau
mereka membakar areal BAKAL KEBUN mereka di blok sebelahnya yang
berdampingan dengan kebun yang sudah tumbuh seluas 20 blok atau 400 ha saja
atau lebih. Briliant....

Biaya tumbang [tebang pohon besar] lahan bakal kebun yang "virgin" rp. 6
juta per ha kalau sdh bekas terbakar hanya berkisar 1,5 - 2,5 juta saja
Artinya ada pengurangan biaya dari seharunsnya 20 X 6 jt =120 jt, menjadi
hanya 30 - 50 jt saja...

Kalau di hitung2..memeng masih untung dengan pola "pura-pura" bakar
tersebut. BUkankah hanya tinggal menyediakan sekitar 136 bibit X 10 ha saja
atau sekitar 1360 bibit lagi untuk menamam ulang + upah total tanam sebesar
kira2 Rp. 1.500/pohon lengkap dengan gali lubang, angkut dllnya....murah,
bukan ???

Kalau biaya tumbang murah + biaya replanting kebun yang sengaja dibakar
sebagai kamuflase, ternyata masih lebih murah dibanding dengan harus
"menumbang" dengan cara normal..

WOw.....raja akal, Malaysia dan maling2
GANYANG MALAYSIA.............

Thursday, September 28, 2006

Ahhh Lumayan

AH.....hari ini aku puasa dihari yang ke - 6...
tidak terasa, pantas aja sdh terasa lelahnya hari2 berlalu ini.

Lagian pula asap dari kebakaran hutan dan lahan ini kok nggak kunjung berhenti sihhh
payah banget deh..

Lagi baca email nih bosen juga
Ngubungin kwn2 tuk perteuan di Banjarbaru tgl 2-3 Okt '06 nanti
Anes, Ari, Shaban, Uding, Ichal dan Zaini ikut
Uban ikut..gx tau 1 lagi tuhh ikut nggak ya...ah EGP deh..

Ngantukkkk

Tuesday, September 26, 2006

Fire on the Oilpalm Plantation


Like Independent Day....

Fire Monitoring di Perusahaan Malaysia



Tabel 1 Sumber : dari berbagai sumber dan PPB Group Bhd Annual report 2004 & 2005

1. Pendahuluan


Polemik soal pembakaran lahan dah hutan untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus menerus terjadi setiap tahun. Di satu sisi, masyarakat disalahkan sebagai pelaku pembakaran lahan untuk peladangan, tetapi disisi lain juga tidak dapat dipungkiri dan bahkan fakta-fakta menunjukan bahwa ada perusahaan perkebunan kelapa sawit yang melakukan pembersihan lahannya dengan cara membakar setelah land clearing dilakukan.

Dalam permasalahan kabut asap pembakaran hutan dan lahan, pertentangannya juga terjadi pada level tingkat tinggi, dimana antara negara, khususnya Malaysia dan Indonesia saling menyalahkan dalam kasus kebakaran hutan dan lahan yang mengakibatkan kabut asap di kedua negara tersebut. Malaysia tentu saja merasa keberatan dengan adanya “import” gratis berupa asap dari wilayah Indonesia yang dilakukan oleh perkebunan-perkebunan di Indonesia, tetapi juga senyatanya tidak sedikit perkebunan-perkebunan yang membakar tersebut adalah perusahaan milik atau dengan modal dari Malaysia.

Tahun lalu [2005], sebuah perusahaan milik PPB Oilpalm -Malaysia, yaitu PT. Kerry Sawit Indonesia tertangkap tangan oleh anggota DPRD Kabupaten Seruyan sedang melakukan pembakran lahannya di Kecamatan danau Sembuluh Kabupaten Seruyan. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut tidak bekerja dengan standard lingkungan yang baik dan tidak menggunakan metode zero burning system dalam pembersihan lahannya.

Beberapa hari lalu, sebuah perusahaan lain, yaitu PT. Hamparan Sawit Eka Malan [perusahaan ini juga milik PPB Oilpalm melalui anak perusahaannya Rosevale Pte Ltd dengan kepemilikan saham sebesar 94.3 %] juga di kecamatan Danau Sembuluh Kabupaten Seruyan, didapati oleh aktivis lingkungan sedang melakukan pembakran di lahannya.

Politik saling tuding dan saling menyalahkan bahkan mencari kambing hitam, yaitu peladangan masyarakat ini sudah menjadi tradisi tahunan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, walaupun tidak sedikit juga fakta-faktta yang menunjukan bahwa pembakaran lahan kebun perusahaan sawit raksasa dilakukan secara sengaja untuk menghenat biaya.

Malaysia sedang menggalakan kampanye untuk menangkis serangan bahwa persuahaan dan modal mereka digunakan dengan tidak ramah lingkungan dan tidak taat hukum, yaitu dengan membakar. Oleh karena itu maka juga menjadai penting untuk dapat membuktikan bahwa ada banyak perusahaan milik dan modal Malaysia yang berkerja buruk

Perkebunan Malaysia di Seruyan dan Kotim, Kalteng

Dari hasil pelacakan [searching] dan pengumpulan data yang yang dilakukan oleh Save Our Borneo dari berbagai sumber, setidaknya ditemukan ada 16 perusahaan perkebunan kelapa sawit milik pemodal Malaysia di Kotawaringin Timur dan Seruyan Kalimantan Tengah, seperti tabel 1 diatas.



Dari 16 perusahaan milik pemodal Malaysia tersebut, 2 diantaranya sudah menghasilkan CPO dengan, yaitu PT. Agro Indomas yang memiliki kilang CPO sendiri dan PT. Mustika Sembuluh yang saat ini kilangnya masih dalam tahap development.

Berdasarkan lokasi perusahaan dan overlay nya dengan kawasan hutan [sesuai dengan Perda RTRWP Kalimantan Tengah No. 8 Tahun 2003] beberpaa diantaranya berada dalam wilayah yang secara resmi berada dalam status kawasan hutan yang belum dilepaskan oleh Kementrian Kehutanan Republik Indonesia, yaitu :

  1. PT. Pukun Mandiri Lestari / Seruyan [19.000 ha]
  2. PT. Bulau Sawit Bajenta / Seruyan [15.000 ha]
  3. PT. Alam Sawit Permai / Seruyan [16.160 ha]
  4. PT. Benua Alam Subur / Seruyan [16.160 ha]
  5. PT. Bawak Sawit Tunas Belum / Seruyan [15.000 ha]
  6. PT. Hamparan Sawit Eka Malam I / Seruyan [20.000ha]
  7. PT. Petak Malan Sawit Makmur / Seruyan [19.680 ha]
(Sumber : BPN Kabupaten Seruyan )

Tujuh perusahaan perkebunan sawit diatas, secara resmi menjadi milik PPB Oilpalm Bhd-Malaysia setelah terjadi tranksaksi jual beli dengan pemilik asal dari pengusaha local, masing-masing pada tanggal :


Keterangan :
{Tgl. Transaksi}
{Pembeli}
{Nama Perusahaan}
{Saham PPB}
{Nilai jual [juta /Rp}]

{7-Oct-05}
{Richdelta Ptd Ltd}
{PT. Bulau Sawit Bajenta}
{75.0%}
{375}

{14-Oct-05}
{Maxillion Ptd Ltd}
{PT. Pukun Mandiri Lestari}
{95.0%}
{950}

{14-Oct-05}
{Stephigh Pte Ltd}
{PT. Alam Sawit Permai}
{95.0%}
{950}

{21-Oct-05}
{Maxceed Pte Ltd}
{PT. Benua Alam Subur}
{95.0%}
{950}

{21-Oct-05}
{Quanta Pte Ltd}
{PT. Hamparan Sawit Eka Malan}
{95.0%}
{285}

{28-Oct-05}
{Rosevale Pte Ltd}
{PT. Petak Malan Sawit Makmur}
{94.3%}
{283}

{28-Oct-05}
{Ampleville Pte Ltd}
{PT. Bawak Sawit Tunas Belum}
{95.0%}
{285}

Sumber : PPB Group Bhd. Annual Report 2005


2. Kebakaran Terjadi di Konsesi Perkebunan Kelapa Sawit

Negara-negara tetangga mendesak Indonesia menangani asap yang muncul setiap tahun dengan memberantas pembakaran hutan. "Ekspor" asap Indonesia membuat jengkel kelompok pebisnis Malaysia. Mereka mendesak adanya tindakan tegas untuk menghentikan masalah yang bolak-balik terjadi. Pembakaran harus dijaga agar tidak mengganggu negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand. Indonesia hanya dapat menjawab melalui Menteri Perdagangan Indonesia Mari E. Pangestu bahawa upaya mencegah pembakaran lahan sudah dilakukan.

Beberapa daerah yang terjadi kebakaran dan menghasilkan asap antara lain Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah diduga berasal dari pembakaran lahan dan hutan.

Dugaan tersebut tidak terlalu salah. Investigasi dan monitoring lapangan yang dilakukan selama beberapa waktu oleh Save Our Borneo di Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah menunjukan bahwa memang terjadi kebakaran hebat dibeberapa lahan dan hutan.

Lahan dan hutan yang terbakar teridentifikasi sebagai lahan yang menjadi konsesi perkebunan kelapa sawit dan relative masih memiliki potensi tegakan hutan dan kayu yang banyak.

Menurut pantauan lapang yang dilakukan, setidaknya ada 5 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang disinyalir melakukan pembakaran lahan, baik sengaja ataupun tidak sengaja. Ironisnya, sebagain besar dari perusahaan perkebunan yang kedapatan oleh tim monitoring SOB tersebut adalah perkebunan dengan modal dan pemilik dari Malaysia yang selama ini sangat keras memprotes kiriman asap dari Indonsia.

Berikut adalah daftar perusahaan perkebunan kelapa sawit yang terdidentifikasi membakar lahannya bersamaan dengan proses land clearing yang mereka lakukan;

  1. PT. Agro Bukit / Kotawairingin Timur
  2. PT. Kerry Sawit Indonesia Estate III / Seruyan
  3. PT. Sarana Titian Permata / Seruyan
  4. PT. Hamparan Sawit Eka Malam I / Seruyan
  5. PT. Hamparan Sawit Eka Malam II / Kotim
  6. PT. Salonok Ladang Mas/Seruyan
  7. PT. Seruyan Sawit Indonesia / Seruyan

[Sumber : Investigasi lapang Save Our Borneo, tgl 24 Agt – 2 Sept 2006]

Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah lokasi-lokasi kebakaran hutan dan lahan yang terjadi berada dalam wilayah konsesi perkebunan kelapa sawit dan berada pada Kawasan Pengembangan Produksi [KPP]. Hanya saja disayangkan peta dasar untuk overlay titik-titik koordinat yang diambil oleh tim monitoring yang di overlay dengan lokasi dan nama perkebunan sudah tidak update lagi, hal ini terjadi karena adanya peralihan nama dan pemilik perusahaan sejak tahun 2003 keatas.

[Catatan : 1) PT. Tujang Jaya dan PT. Lawang Haring Permai sudah di ambil alih oleh PT. Agro Bukit; 2) PT. Salawati Makmur diambil alih oleh PT. Kerry Sawit Indonesia; PT. Rimba Harapan Sakti berubah nama menjadi PT. Seruyan Sawit Indonesia, PT. Rungau Alam Subur menjadi PT. Sarana Titian Permata]

Tim monitoring berkesempatan mengambil beberapa titik kooordinat lokasi kebakaran yang terjadi di lokasi perkebunan kelapa sawit, yaitu :

  1. PT. Agro Bukit [49m 0698818 ; UTM 9722489 dan 49m 0699897 ; UTM 9720171]
  2. PT. Kerry Sawit Indonesia Estate III [49m 0669300 ; UTM 9686389]
  3. PT. Sarana Titian Permata [49m 0669300 ; UTM 9682780, 49m 0673010 ; UTM 9689435 dan 49m 0672229 ; UTM 9679298]
  4. PT. Hamparan Sawit Eka Malam I [49m 0658769 ; UTM 9706538 dan 49m 0659594 ; UTM 9706228]
  5. PT. Hamparan Sawit Eka Malam II [49m 0690815 ; UTM 9718333]
  6. PT. Salonok Ladang Mas [Tidak sempat dideteksi / GPS kehabisan battery, laporan warga saja]
  7. PT. Seruyan Sawit Indonesia [49m 0673010 ; UTM 9689435]


3. Masyarakat Belum Bakar Ladang

Monitoring yang dilakukan oleh Save Our Borneo, dengan dukungan WWF Indonesia – FCI dilakukan pada bulan Agustus akhir sampai dengan awal September 2006. Dari hasil pemantauan lapangan dan interview yang dilakukan di beberapa kampung dan beberapa masyarakat ditemukan fakta bahwa pada musim bakar ladang belum dimulai,

Waktu terjadinya kabut asap dan kebakaran hebat di berbagai tempat di Seruyan dan Kotawaringin Timur, ternyata masyarakat peladang baru melakukan proses “meneweng” atau menebas ladang. Menurut masyarakat, sebetulnya mereka sangat rugi apabila terjadi kebakaran lebih awal dari jadwal yang mereka atur secara turun-temurun, dimana pembakaran hanya dapat dilakukan paling cepat 0,5 bulan sebelum hujan turun, bila lebih dari itu maka lahan akan ditumbuhi rumput dan lahan akan “mati” [dalam istilah mereka].

Jadi persepsi yang mengatakan bahwa kebakaran dan asap yang terjadi semata-mata akibat pembakaran ladang masyarakt sebetulnya tidak beralasan sama sekali. Bahkan kalau mau menelisik lebih cermat, sebetulnya kebakaran dan pembakaran ini memberikan keuntungan yang sangat besar kepada perusahaan perkebunan skala raksasa.

4. Land Clearing Perkebunan Kelapa Sawit

Land Clearing atau pembersihan lahan untuk perkebunan kelapa sawit yang umum dilakukan dan sesuai dengan peraturan perundangan adalah yang menggunakan system tanpa baker atau zero burning system. Pola inilah yang semestinya diterapkan oleh seluruh perekebunan kelapa sawit dimanapun di Indonesia.

Land clearing normal dimulai dengan proses penebangan pohon-pohon yang berdiameter besar yang masih ada dalam areal, yaitu pohon-pohon kayu dengan diemater antara 15 cm atau lebih. Biasanya juga termasuk tunggul-tunggul kayu lama yang sudah mati atau bekas tumbang atau bekas ditebang sebalumnya oleh perusahaan HPH atau masyarakat.
Psoses penebangan pohon-pohon dan tunggul-tunggul bekas tebangan dengan diameter 15 cm keatas ini disebut dengan istilah “tumbang”.

Tumbang tidak dilakukan langsung oleh pemegang izin perkebunan, tetapi di kerjakan oleh kontraktor, yang kemudian juga menyerahkan pekerjaan tersebut kepada sub-kontraktor lagi, yang biasanya dikerjakan oleh kelompok atau orang perorang yang berasal dari masyarakat setempat. Biaya untuk “tumbang” yang diterima oleh sub kontraktor adalah Rp. 6.000.000,- [enam juta rupiah] per blok. Dimana 1 blok memiliki luas 20 ha. Biaya 6 juta rupiah tersebut adalah biaya tertinggi, dimana biaya bisa semakin murah bila kerapatan dari semak belukar yang ada disekitar kayu besar dan kerapatan kayu besar yang akan di tumbang juga sedikit. Artinya biaya tergantung dengan tingkat kesulitan dan potensi tegakan yang akan di tumbang. Bahkan biaya bisa hanya 20% saja bila kerapatan dan kondisi lahannya relative tidak terlalu sulit.

Berikutnya land clearing berlanjut dengan proses yang disebut steaking, yaitu pembabatan habus tegakan dan semak belukar dan kayu dengan diameter lebih kecil dari 15 cm dengan menggunakan bouldozer. Biaya steaking ini dihitung dengan satuan jalur / hectare, harganya adalah 30 ribu rupiah per jalur dimana 1 ha terdiri dari 12 jalur.
Steaking merupakan pekerjaan yang disamping membabat habis [clear cutting] semua tumbuhan yang ada dilahan, kemudian mengumpulkannya menjadi baluran jalur-jalur di lahan tersebut.

Setelah dilakukan steaking, berikutnya adalah “cincang” dimana baluran jalur-jalur kayu2 baik yang ditebang dari proses tumbang ataupun dari hasil steaking di cincang dan di potong2 dengan panjang maksimum 1.5 meter, sehingga jalur-jalur baluran betul2 rapi dan kemudian di sisi jalur baluran nantinya akan ditanami dengan bibit sawit.

Berkenaan dengan proses land clearing yang demikian inilah biasa ada 2 kesempatan yang dimanfaatkan untuk menghemat biaya, yaitu, pertama sebelum dilakukan tumbang tetapi sudah dilakukan bloking, maka areal dibersihkan dahulu dengan dibakar , sehingga dapat menghemat dan mempermurah biaya untuk upah tumbang [menumbang]; kedua, adalah ketika baluran-baluran telah menajdi simpukan, maka juga dapat dibakar sehingga potongan-potongan yang mengganggu jalur tanam dapat dengan cepat dibersihkan, disampaing juga abu pembakaran dapat membuat keasam tanah berkurang.

Kedua kesempatan tersebut begitu cerdik digunakan untuk menghemat biaya produksi yang dilakukan oleh perusahaan melalui tangan-tangannya kontraktor atau dengan memperkerjakan orang khusus untuk itu. Sayangnya hal inilahn yang paling sulit dibuktikan dan di carikan saksinya untuk di bawa kedalam ranah hokum.

Thursday, September 07, 2006

Kebakaran Lahan Kelapa Sawit; Penegakan Hukum Keropos,Malaysia Punya Andil Membakar


Palangkaraya, Sept. 2006 [SOB] Kebakaran atau lebih tepatnya pembakaran lahan dan hutan terus berlangsung setiap tahun tanpa dapat ditanggulangi dengan serius seperti yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah.

Perusahaan perkebunan [kelapa sawit, khususnya] juga terus-terusan setiap tahun mendompleng musim kemarau untuk meraup keuntungan dengan menghemat biaya land clearing dan menggantikannya dengan cara membakar yang biayanya hanya lebih murah 80% dibandingkan dengan land clearing konvensional.

Sengaja tau tidak sengaja, langsung atau tidak langsung perusahaan pemegang konsesi perkebunan kelapa sawit harus bertanggungjawab secara hukum dan moral.

SOB menemukan fakta lapangan bahwa beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit yang sedang dalam proses pembukaan lahan melakukan pembakaran dan terbakar pada konsesinya. Sayangnya sampai saat ini tidak jelas bagaimana penyelesaian sanksi administrasi dan hukum yang mestinya diderakan kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit ini.

Seharusnya pemerintah secepatnya mengambil langkah penindakan secara administrasi berupa pencabutan atau penagguhan ijin dan aparat penegak hukum sesegeranya mengambil langkah penegakan hukum sesuai dengan UU No. 41 Tahun 1999, UU No. No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan yang didalamnya memuat sanksi jelas mengenai pembakaran lahan dan hutan.

Pemenrintah dan aparat penegak hukum tidak boleh menutup mata pada kenyataan bahwa pembakaran lahan oleh perkebunan kelapa sawit memang telah terjadi secara nyata. Ketiadaan langkah penindakan dan langkah hukum yang serius oleh pemerintah dan aparat hukum merupakan kolusi dan persekongkolan kejahatan lingkungan yang memprihatinkan.

Pembakaran lahan perkebunan kelapa sawit bukan lagi kejahatan individual, melainkan kejahatan korporasi. Apabila pemerintah dan penegak hukum tidak melakukan langkah penegakan hukum atas kejahatan perusahaan [corporate crime], maka hukum di negeri ini semakin keropos dan hukum dijalankan secara diskriminatif hanya kepada masyarakat peladang saja.

Malaysia jangan Lempar Batu Sembunyi Tangan

Polemik soal pembakaran lahan dah hutan untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus menerus terjadi setiap tahun. Di satu sisi, masyarakat disalahkan sebagai pelaku pembakaran lahan untuk peladangan, tetapi disisi lain juga tidak dapat dipungkiri dan bahkan fakta-fakta menunjukan bahwa perusahaan perkebunan kelapa sawit melakukan pembersihan lahannya dengan cara membakar setelah atau bersamaan dengan kegiatan land clearing dilakukan.

Dalam permasalahan kabut asap pembakaran hutan dan lahan, pertentangan terjadi pada level negara, dimana Malaysia dan Indonesia saling menyalahkan dalam kasus kebakaran hutan dan lahan yang mengakibatkan kabut asap di kedua negara tersebut.

Malaysia tentu saja merasa keberatan dengan adanya “import” gratis berupa asap dari wilayah Indonesia yang dilakukan oleh perkebunan-perkebunan di Indonesia, tetapi juga senyatanya tidak sedikit perkebunan-perkebunan yang membakar lahan adalah perusahaan milik atau dengan modal dari Malaysia.

SOB menemukan bukti bahwa perusahaan perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh Malaysia melakukan pembakaran pada bulan Juli dan Agustus 2006, yaitu di Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Timur – Kalimantan Tengah.

Berikut adalah daftar perusahaan milik pemodal Malaysia yang ditemukan lahannya di bakar ;

1. PT. Hamparan Sawit Eka Malam, PPB Oilpalm Bhd-Malaysia
2. PT. Sarana Titian Permata, PPB Oilpalm Bhd-Malaysia
3. PT. Kerry Sawit Indonesia Estate III, PPB Oilpalm Bhd-Malaysia
4. PT. Agro Bukit, Golden Hope Bhd-Malaysia
5. PT. Salonok Ladang Mas

Dengan adanya fakta ini, maka pemerintah Malaysia juga harus bertanggung jawab untuk “menertibkan” dan memberikan punisment terhadap pemodal-pemodal asal dari negerinya tersebut.

Kejaidan pembakaran lahan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit milik Malaysia di Indonesia tidak terlepas dari keroposnya penegakan hukum di Indonesia dan sikap paranoid pemerintah pada hengkangnya investasi asing, yang sebenarnya adalah investasi nakal dan tidak mau mentaati peraturan hukum negara Indonesia, disamping penegak hukum Indonesia yang juga diskriminatif dan masih dapat di-drive oleh pemodal.

Tuesday, August 01, 2006

Tentang asal mula Suku Dayak

Tentang asal mula suku Dayak

Tentang asal mula suku bangsa Dayak, banyak teori yang diterima adalah teori imigrasi bangsa China dari Provinsi Yunan di Cina Selatan. Penduduk Yunan ber-imigrasi besar-besaran (dalam kelompok kecil) di perkirakan pada tahun 3000-1500 SM (SM). Sebagian dari mereka mengembara ke Tumasik dan semenanjung Melayu, sebelum ke wilayah Indonesia. Sebagian lainnya melewati Hainan,Taiwan dan filipina.

Pada migrasi gelombang pertama yang oleh beberapa ahli disebut proto-melayu, datanglah kelompok negroid dan weddid. Sedangkan gelombang kedua, dalam jumlah yang lebih besar di sebut Deutero-Melayu. Para migran Deutero-Melayu kemudia menghuni wilayah pantai Kalimantan dan disebut suku Melayu. Proto-melayu dan Deutero-melayu sebenarnya berasal dari negeri yang sama.

Menurut H.TH. Fisher, migrasi dari asia terjadi pada fase pertama zaman Tretier. Saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan Muller-Schwaner.

Dari pegungungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977-1978)

Cerita selanjutnya suku Dayak adalah tentang bagaimana mereka menghadapi gelombang-gelombang kelompok lain yang datang ke Kalimantan. Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman.

Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608). Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)

Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam. Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik (Departeman Pendidikan dan Kebudayaan,1977-1978)

Bahkan sumber lain menyebutkan sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)

(Tempun Petak Nana Sare, Kartika Rini, 2005)

Tuesday, July 11, 2006

Surat Buat Pejabat....

Nomor :004/SB-DE-SOB/VII/2006
Lampiran:Daftar Perusahaan dan Peta
Perihal: Mohon untuk TIDAK MEMBERIKAN IZIN PELAPASAN KAWASAN HUTAN untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Seruyan Kalimantan Tengah


Kepada Yth,
Bapak Meteri Kehutanan RI
Gd. Manggala Wanabhakti Blok I Lantai 4
Jl Gatot Subroto – Jakarta

Bapak Gubernur Propinsi Kalimantan Tengah
Jl. RTA. Milono No. 1 Palangkaraya



Dengan hormat.

Bersama surat ini menyampaikan ucapan semoga bapak dan seluruh jajaran bapak dalam keadaan baik sehingga mampu melaksanakan tugas-tugas dan kewajiban dengan sebaik-baikknya.

Dalam kesempatan ini juga kami perlu menyampaikan bahwa surat kami ini dengan pokok perihal seperti tersebut diatas kami sampaikan karena adanya keprihatinan yang mendalam dan kekuatiran yang tinggi akibat banyaknya bencana-bencana ekologis yang telah melanda negara kita ini. Hal ini pula yang kami rasakan di Kalimantan Tengah, dimana berbagai bencana, terutama banjir sudah sedemikian rupa dan sangat diluar kebiasaan normal pada masa-masa sebelumnya.

Kami mensinyalir bahwa hal ini terjadi akibat semakin menipisnya kawasan-kawasan hutan dan kawasan berhutan lainnya sebagai akibat dari pembalakan hutan secara tidak bertanggung jawab dan konversi hutan secara terstruktur untuk perkebunan kelapa sawit skala raksasa.

Seperti bapak telah telah ketahui, bahwa berdasarkan surat dari Bupati Kabupaten Seruyan Kalimantan Tengah No. 522.1/158/Ek/2005 tanggal 10 Juni 2005 dan surat Gubernur Kalimantan Tengah No. 522/437/Ek tanggal 22 Maret 2005 yang kesemuanya berisi tentang permohonan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit sebanyak 23 konsesi dengan luasan hutan yang akan di konversi seluas 346.188 ha [daftar terlampir], maka berkenaan hal tersebut kami menyampaikan sikap TIDAK SETUJU atas upaya-upaya pemerintah daerah untuk melakukan konversi hutan dimaksud. Beberapa pertimbangan dari sikap kami tersebut, diantaranya adalah :

  1. Kalimantan Tengah dengan luas sekitar 15.5 juta hektare, menurut RTRWP tahun 2003, terdapat Kawasan Pengembangan Produksi [KPP] dan Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lainnya [KPPL] seluas 4.6 juta hektare. Menurut hemat kami, KPP dan KPPL ini saja sampai saat ini belum terkelola dengan baik sesuai peruntukannya yang dapat dijadikan perkebunan kelapa sawit. Dengan demikian, maka adalah sangat tidak masuk akal jika harus melakukan pelepasan kawasan hutan lagi dan memberikannya kepada konsesi kelapa sawit. Dari sini nampak sangat jelas sinyalemen bahwa rencana pembukaan perkebunan kelapa sawit yang direncanakan semata-mata hanyalah upaya untuk melakukan pembalakan atas kayu diatas kawasan hutan.
  2. Kabupaten Seruyan, dengan luasan 1,6 juta hektare yang posisinya berada sepanjang DAS Seruyan, sampai saat ini telah memberikan ijin lokasi perkebunan kelapa sawit seluas 478.277 hektare, padahal luasan kawasan hutan disana hanya sekitar 600 ribu ha saja, sehingga bila diberikan ijin pelepasan hutan baru untuk perkebunan dengan luas yang dimintakan Bupati Seruyan seluas 346.188 ha, maka akibatnya luasan kawasan hutan penyangga DAS Seruyan dan luas kawasan hutan Seruyan hanya tersisa sekitar 256.230 hektare, ini artinya tidak memenuhi strandard yang harus tersedia kawasan hutan minimal 30 %.
  3. Dari 23 konsesi perkebunan kelapa sawit yang berada alam kawasan hutan yang sedang diminta proses pelepasannya oleh Bupati Seruyan, berdasarkan data yang kami temukan, 7 diantaranya hanyalah merupakan perusahaan think thank yang saham-sahamnya telah beralih tangan menjadi milik PPB Oilpalm Bhd – Malaysia melalui anak-anak perusahaannya [data terlampir]. Dengan melihat angka kepemilikan modal dari data tersebut, maka dapat dipastikan bawah perusahaan yang mengajukan ijin hanyalah perusahaan fiktif dan “broker” perijinan saja dengan mengatasnamakan kepentingan daerah. Kami meminta agar bapak lebih selektif dan melakukan penelitian lebih jauh dan mendalam pada proses permohonan perijinan ini karena ada indikasi kuat terjadi tindakan KKN di dalamnya.
  4. Berdasarkan peta rencana konversi hutan dimaksud maka dari 23 perusahaan dengan luas hutan [HP dan HPT] yang akan dikonversi seluas 346.188 ha yang diajukan ijin pelepasannya, berada pada kawasan-kawasn yang sangat penting bagi fungsi resapan dan peredam air dari bagian hulu DAS Seruyan, kesemuanya berda pada kawasan hilir yang sangat potensial untuk menjadi fungsi peredam banjir. Disisi lain kawasan-kawasan dimaksud juga merupakan akwasan dengan kondisi bervariasi antara dataran rendah dan rawa gambut yang sangat bermanfaat sebagai sumber supply air guna mencegah intrusi air laut kepedalaman. Hal ini juga kami sampaikan bahwa apabila kawasan tersebut di konversi, maka kemampuannya untuk menjadi pencegah intrusi air laut kepedalaman akan hilang dan akan menjadikan DAS Seruyan menjadi disfungsi intrusi. Akibat ekologi dan sosial yang akan ditimbulkannya akan sangat besar dikemudian hari. Apalagi kawasan yang dimintakan ijin pelepasan tersebut berada sangat dekat dengan pesisir pantai atau bahkan membelah sungai-sungai Seruyan, Sungai Kelua, Sungai Pukun, Sungai Sigintung Dalam, Sungai Baung dan beberapa sungai kecil lainnya yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat lokal.
  5. Yang juga sangat krusial adalah 5 diantara konsesi-konsesi tersebut berada pada koridor Taman Nasional Tanjung Puting, yang mestinya tetap dipertahankan sebagai hutan guna untuk penunjang dan peyangga bagi Taman Nasional Tanjung Puting. Bahkan ironisnya, kami menemukan bahwa pembukaan perkebunan tersebut nantinya akan juga mengkonversi TNTP seluas ± 35.000 ha. Padahal bagaimanapun juga konversi hutan lindung atau Taman Nasional untuk budidaya perkebunan sangat tidak dimungkinkan dan melangar UU NO. 41 thn 99 tentang Kehutanan dimana kawasan hutan lindung sebenarnya tidak dapat dikonversi kecuali atas seiijin DPR dan untuk keperluan strategis.

Dengan berbagai pertimbangan tersebut, maka dengan ini kami harus secara tegas menyatakan MENOLAK RENCANA DAN PERMOHONAN PELEPASAN KAWASN HUTAN UNTUK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KALIMANTAN TENGAH, KHUSUSNYA DI KABUPATEN SERUYAN yang disampaikan oleh Bupati Kabupaten Seruyan.

Catatan kami adalah, masih banyak kawasan lain yang peruntukannya bagi perkebunan [KPP/KPPL] yang belum difungsikan dan dikelola secara optimal, sehingga pembukaan perkebunan sawit di dalam kawasan hutan, apapun alasannya sebaiknya tidak dilakukan.

Kepada bapak, kami dengan sangat mendesak agar tidak memberikan ijin pelepasan kawasan hutan tersebut untuk dikonversi dan disisi lain meningkatkan pengawasan serta kontrol atas kawasan-kawasan hutan yang secara formal merupakan tugas dan tanggung jawab bapak.

Apabila pelepasan tersebut masih akan dilanjutkan juga, maka kami menganggap bahwa bapak sangat tidak respek dengan ancaman bencana ekologis dan kelestarian sumber-sumber kehidupan. Artinya secara moral bapak tidak mempunyai legitimasi sebagai pejabat negara yang seharusnya mengayomi rakyat dan menjaga kelestariann hutan dalam negara Republik Indonesia ini.

Demikian surat ini kami sampaikan, untuk menjadi perhatian.

Palangkaraya, 7 Juli 2006


Save Our Borneo,





Nordin
Co-ordinator


Tembusan disampaikan kepada :
1.Yth. Menteri Pertanian Republik Indonesia di Jakarta
2.Yth. Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia di Jakarta
3.Yth. Menteri Negara Lingkungan Hidup RI di Jakarta
4.Yth. Kepala BPN Pusat di Jakarta
5.Yth. Ketua DPRD Propinsi Kalimantan Tengah di Palangkaraya
6.Yth. Ketua DPRD Kabupaten Seruyan di Kuala Pembuang
7.Yth. Direktur Eksekutif WALHI Nasional di Jakarta
8.Yth. Direktur Eksekutif Sawit Watch di Bogor
9.File-Pertinggal

Wednesday, June 21, 2006

Asumsi dan Asumsi Lageeeee...


Community Organizing, Need Assesmet, Village Meeting dan lain sebagainya adalah bagian dari advokasi yang sudah sering kita dengarkan dan kita lakukan di berbagai kesempatan dan diberbagai tempat, juga menyangkut berbagai kasus. Tetapi sudahkah kita juga melakukan itu semua melalui sebuah “penglihatan” yang cermat dan mendalam sebelum itu dilakukan ? ataukah advokasi yang dilakukan bagi rakyat hanya berlandaskan asumsi-asumsi yang cenderung sangat byas pada “otak” aktivist NGOs atau informasi awal di media maas atau lainnya yang terekspose kepermukaan? Kenapa? Karena mata dan telinga NGOs banyak di media massa dan mencari popularitas.

“Kecelakaan” demi kecelakaan yang sudah dilakukan sudah barang tentu tidak salah kalau dipikirkan ulang setidaknya harus dicari format lain yang diharapkan mampu mendobrak kebiasaan menggunakan asumsi-asumsi dalam menentukan intervensi yang akan dilakukan. Paling tidak dobrakan tersebut secara jujur bisa disebut sebagai trial and error , tetapi eknapa tidak dilakukan.

Ketika intervensi dilakukan di masyarakat dengan tanpa terlebih dahulu diketahui secara lebih detil kondisi sosial, baik menyangkut ancaman, konflik, posisi kasus, kerentanan, kapasitas sosial dan resistensi masyarakat serta berbagai hal lainnya, maka yang terjadi dapat saja berupa partisipasi semu dari masyarakat untuk “turut mensuskseskan” proyek yang dilakukan tanpa memiliki makna yang dalam. Tidak jarang juga bahkan salah dalam memilih kontak dan pihak-pihak yang potensial untuk diajak berkoalisi dalam menjawab sebuah issue yang berkembang.

Segala informasi berkenaan dengan ancaman, konflik, posisi kasus, kerentanan, kapasitas sosial dan resistensi masyarakat serta berbagai hal lainnya tidak diperoleh dari “rekaman primer” yang dilakukan sebelum-sebelumnya. Hal ini menyebabkan berbagai hal menjadi semakin byas dan pada saatnya sulit untuk dikendalikan ketika dilakukan intervensi lebih jauh.

Situasi demikian sudah saatnya mulai untuk di coba diperbaharui, dengan sedikit meluangkan waktu dan investasi untuk menjalankan sebuah upaya pemetaan sosial yang lebih detil pada suatu kawasan / komunitas yang dalam asumsi awal memerlukan langkah advokasi lebih dalam dan tajam pada masa depan.

"......mumpung lagi mau ngoret-oret deh..."

Sunday, June 18, 2006

Illegal Logging oleh HPH, Rakyat Jadi Kambing Hitam

KRONOLOGIS KASUS
KEGIATAN PEMBALAKAN HARAM DI DESA SABUH, BARITO UTARA
YANG DILAKUKAN OLEH HPH PT. AUSTRAL BYNA

  1. Kelompok tani membuat surat permohonan kepada Dinas Kehutaan dan Perkebunan Barito Utara untuk membuat lahan perkebunan sawit di daerah desa Saboh Kecamatan Teweh Tengah, Barito Utara
  2. Dinas Kehutanan dan Perkebuana Barito Utara membuat surat yang ditujukan kepada PT. Austral Byna untuk membantu kelompok tani membuat jalan kelokasi areal rencana perkebunan sawit. Surat tersebut di tembuskan ke Camat Teweh Tengah di Muara Teweh dan kepada kepala desa Saboh.
  3. Camat Teweh Tengah juga membuat surat yang sama yang ditujukan kepada PT. Austral Byna untuk membantu pembuatan jalan menuju lokasi rencana perkebunan kelapa sawit oleh kelompok tani.
  4. Dalam surat tersebut terdapat point yang menyatakan bahwa apabila ada limbah kayu yang dapat dimanfaatkan sebaiknya kelompok tani bekerja sama dengan PT. Austral Byna dan mendapatkan fee untuk desa sebesar Rp. 20.000,-/ M3.
  5. Kepala desa merundingkan hal tersebut dengan BPD yang kemudian memutuskan menandatangani surat dukungan yang isi surat tersebut sama dengan surat dari Dishutbun Barut dan Kecamatan Teweh Tengah.
  6. Dalam surat tersebut desa dijanjikan Rp.12.500,- / M3 kayu sedangkan sisanya berjumlah Rp. 7.500 adalah untuk upah penebang di lapangan.
  7. Setelah ada kesepakatan kemudian semua surat-surat perijinan di urus oleh perusahaan dan masyarakat tidak tahu-menahu soal surat menyurat tersebut.
  8. Bulan Desember 2005 mulai dilakukan aktivitas pembuatan jalan menuju lokasi rencana perkebunan sawit.
  9. Masyarakat mulai gelisah dengan aktivitas ini, karena proses pembuatan kelompok tani tidak melalui rapat desa secara menyeluruh.
  10. Bulan Januari 2006 Wartawan Bidik Hukum turun kelapangan dan manemukan fakta bahwa pembukaan jalan tersebut hanya untuk mengeluarkan kayu-kayu yang ada di sekitar lokasi berajarak 1 km dari pinggir jalan HPH milik PT. Austral Byna ( 4 km dari Desa Sabuh). Saat itu alat berat (traktor) masih berada di lokasi.
  11. Wartawan Bidik hukum mengekspose hasil temuanya pada pada surat kabar harian edisi 002 januari 2006.
  12. Perusahaan menghentikan aktivitas penebanganya dan menutup jalan masuk kelokasi dengan menimbun jalan masuk kelokasi.
  13. 13. Alat berat di dipindahkan kelokasi lain ( kamp 27 desa Sikui) dan menghentikan aktivitasnya.
  14. Pada tanggal 6 Maret 2006 Haji Aminudin (H. Juming) mangadukan kasus penebangan illegal ini ke Tim Illegal Logging Barito Utara dan surat tersebut di tembuskan ke : Menteri Kehutanan RI di Jakarta, Menteri Sosial RI di Jakarta, Gubernur Kalimantan Tengah di Palngkaraya, Kapolda Kalimantan Tengah di Palangkaraya, Ketua DPRD Kaliamantan Tengah di Palangkaraya, Bupati Barito Utara di Muara Teweh, DPRD Barito Utara di Muara Teweh, Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah di Palangkaraya, Kepala Dinas Kehutanan Barito Utara di Muara Teweh, SKU Kalteng Pos, SKU Bidik Hukum, Kepala Desa Sabuh
  15. Pada tanggal 14 Maret 2006 tim Polres Barito Utara turun kelokasi ( 4 km dari desa Saboh) dan menemukan serta menyita kayu-kayu dalam tumpukan di dua lokasi yang berdekatan sebanyak 79 potong jenis meranti campuran bahkan pantung yang merupakan pohon yang dilindungi.
  16. Kepala desa H. Mistanudin dan Untung dimintai keterangan di Polres Barito Utara namun tidak ditahan dan kembali lagi ke desa Sabuh.
  17. Lalil, sebagai ketua kelompok tani juga dimintai keterangan dan di bawah kepolres Barito Utara bersama Johansyah.
  18. Tanggal 05 April 2006 Kepala desa Saboh Haji Mistanudin dijemput di ladang sekitar 2 Km dari desa Saboh untuk dimintai keterangan dan di bawah ke Polres Barito utara untuk ditahan tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada keluarga.
  19. Lahil dan Johansah dipangil oleh PT. Austral Byna di Kamp 27 desa Sikui untuk diberikan pengarahan supaya mereka tidak mengakitkan perusahaan apabila dimintai keterangan oleh kepolisian dan diberikan uang sebesar Rp.100.000, sebagai uang jalan.
  20. Johansyah, Untung dan Lalil juga dijemput dan ditahan di Polres Barito Utara.
  21. Pada tanggal 17 April 2006 Haji Juming dipanggil sebagai saksi dalam kasus illegal logging tersebut.
  22. Wenan, Manajer PT. Austral Byna dinyatakan DPO oleh Polres Barito Utara
  23. Tanggal 12 April 2006 media massa local memberitakan kegiatan illegal logging tersebut
  24. Keluarga H.Mistanudin (Kades Sabuh) mengajukan penangguhan penahan tapi tidak dikabulkan oleh Kapolres Barut.
  25. Wenan Manajer PT. Austral Byna menyerahkan diri dan ditangkap di camp milik PT. Austral Byna di Km 27 desa Sikui Barito Utara.
[report by Arie "Rio" Rompas]

Friday, June 09, 2006

Aku sedang di Kalbar

Ughhhhh....
Kemarin dapat sms dari Udin[g] ngabarin kalau FGD di Kaltim tanggal 17 dst...
Padahal aku dah siapkan kepulangan dari kt tgl 15, jadi mana mungkin bisa lsg ke Kaltim lagi..capeee tau...!
Abis itu td siang ketemu ma Purwo lagi, nyusun schedule trip awan dari BBC London untuk liputan di Kalteng.....ehhh jadwalnya juga 15-17 Juni 2006. JAdi bagaimana nih
Satu2nya cara ya merubah jadwal penerbangan menjadi tanggal 14 aja

Itupun kalau bisa, kalau nggak bisa ya mau bagaimana lagi...
Mg aja ketemeu ama Jihan org BBC itu di Jkt, biar diurus dulu deh

Dah ahhh, bosen di Walhi Kalbar, semuanya apda nggak ada...bintang lapangan semuaaaaaaaaa..


Wednesday, June 07, 2006

Etnis dan Bahasa Dayak di Kalimantan

Sumber : Languages of Indonesia, Kalimantan. Part of _Ethnologue: Languages of the World_, 13th Edition; Barbara F. Grimes, Editor; Summer Institute of Linguistics, 1996

  1. AHE (AHE DAYAK, DAYAK AHE) [AHE] 30,000 (1990 UBS). Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Land Dayak. Work in progress.
  2. AMPANANG [APG] 30,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). East central, southeast of Tunjung, around Jambu and Lamper. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Barito, Mahakam. Survey needed.
  3. AOHENG (PENIHING) [PNI] 2,630 (1981 Wurm and Hattori). North central near Sarawak border. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Kayan-Murik, Muller-Schwaner 'Punan'. Survey needed.
  4. BAHAU [BHV] 3,200 (1981 Wurm and Hattori). Northeast, north and southeast of Busang. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Kayan-Murik, Kayan. Survey needed.
  5. BAKUMPAI (BARA-JIDA) [BKR] 40,000 or more (1981 Wurm and Hattori). Kapuas and Barito rivers, northeast of Kualakapuas. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Barito, West, South. Dialects: BAKUMPAI, MENGKATIP (MANGKATIP, OLOH MENGKATIP). Related to Ngaju, Kahayan, Katingan. Survey needed.
  6. BANJAR (BANJARESE, BANDJARESE, BANJAR MALAY) [BJN] 2,100,000 in Indonesia (1993 Johnstone); 3,000,000 in all countries (1993 J. Collins); 1.2% of the population (1989); 800,000 in Hulu, 700,000 in Kuala (1981 Wurm and Hattori). Around Banjarmasin in the south and east, and one pocket on east coast south of the Kelai River mouth. Also in Sabah, Malaysia. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Sundic, Malayic, Malayan, Local Malay. Dialects: KUALA, HULU. Needs intelligibility testing with Malay and Indonesian. Strongly influenced by Javanese. Settled 800 to 1000 A.D. Muslim. Survey needed.
  7. BASAP [BDB] 17,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). Eastern Kalimantan, scattered throughout Bulungan, Sangkulirang, and Kutai. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, Rejang-Sajau. Dialects: JEMBAYAN, BULUNGAN, BERAU, DUMARING, BINATANG, KARANGAN. Cave-dwellers. Traditional religion, Christian. Survey needed.
  8. BEKATI' (BAKATIQ) [BAT] 4,000 (1986 UBS). Northwestern near Sarawak border, around Sambas and Selvas. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Land Dayak. Bible portions 1986. Work in progress.
  9. BENYADU' [BYD] 45,000 possibly (1981 Wurm and Hattori). Northwestern near Sarawak border, around Tan, Darit. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Land Dayak. Survey needed.
  10. BIATAH (BIDEYU, SIBURAN, LUNDU, LANDU) [BTH] 20,100 in all countries (1981 Wurm and Hattori). Northwest Kalimantan, on Sarawak border. Mainly in Sarawak, Malaysia. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Land Dayak. May be distinct from Biatah of Sarawak. Christian, traditional religion. NT 1963. Bible portions 1887-1912.
  11. BOLONGAN (BULUNGAN) [BLJ] 15,000 (1989). Northeast, around Tanjungselor, lower Kayan River. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan, Dayic, Murutic, Tidong. May be a dialect of Tidong or Segai. Classification uncertain. Traditional religion. Survey needed.
  12. BUKAR SADONG (SADONG, TEBAKANG, BUKA, BUKAR, SERIAN, SABUTAN) [SDO] 34,600 in all countries (1981 Wurm and Hattori). Also Sarawak, Malaysia. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Land Dayak. Dialects: BUKAR SADONG, BUKAR BIDAYUH (BIDAYUH, BIDAYAH).
  13. BUKAT [BVK] 400 (1981 Wurm and Hattori). North central near Sarawak border, Kapuas River, southeast of Mendalam, 3 areas. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Kayan-Murik, Muller-Schwaner 'Punan'. Survey needed.
  14. BUKITAN (BAKITAN, BAKATAN, BEKETAN, MANGKETTAN, MANKETA, PAKATAN) [BKN] 410 (1981 Wurm and Hattori). Iwan River, on the Sarawak border. Also in Sarawak, Malaysia. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, Melanau-Kajang, Kajang. Dialects: PUNAN UKIT, PUNAN BUSANG. Christian. Survey needed.
  15. BURUSU [BQR] 6,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). Northeast, around Sekatakbunyi, north of Sajau Basap language. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, Rejang-Sajau. Survey needed.
  16. DAYAK, LAND [DYK] 57,619 (1981). Western Kalimantan. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Land Dayak. Dialects: KARAGAN (KARANGAN), SIDIN (SIDING, SINDING), MERATEI (MERETEI), SAU (SAUH, BIRATAK), SERMAH (BIONAH), BERANG, SABUNGO, SANTAN, GURGO, SINAN, SUMPO, BUDANOH, SERING, GUGU, MATAN, TEMILA, BEHE, IPOH, MANYUKAI (MENJUKE, MENYUKAI, MANYUKE, MANUKAI), PUNAN (BUNAN, MURANG PUNAN, PENYABUNG PUNAN, BUSANG, DJULOI), KATI, BETA. There may be several languages represented among the dialects listed. All Land Dayak in Sarawak are covered by separate listings. Bible portions 1935. Survey needed.
  17. DJONGKANG [DJO] 45,000 possibly (1981 Wurm and Hattori). Northwest, south of Balai Sebut. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Land Dayak. Survey needed.
  18. DOHOI (OT DANUM, UUT DANUM, UUD DANUM) [OTD] 80,000 (?) (1981 Wurm and Hattori) including 2,700 Ulu Ai'. Extensive area south of the Schwaner Range on the upper reaches of south Borneo rivers. The Ulu Ai' are on the Mandai River with 7 villages. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Barito, West, North. Dialects: OT BALAWAN, OT BANU'U, OT MURUNG 1 (MURUNG 1, PUNAN RATAH), OT OLANG, OT TUHUP, SARAWAI (MELAWI), DOHOI, ULU AI' (DA'AN). Dohoi and Murung 1 may be separate languages. Traditional religion, Christian. Selections 1982. Work in progress.
  19. DUSUN DEYAH (DEAH, DEJAH) [DUN] 20,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). Southeast, Tabalong River northeast of Bongkang. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Barito, East, Central-South, Central. Survey needed.
  20. DUSUN MALANG [DUQ] 10,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). East central, west of Muarainu, northeast of Muarateweh. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Barito, East, Central-South, South. Closest to Ma'anyan, Paku, Dusun Witu, and Malagasy. Survey needed.
  21. DUSUN WITU [DUW] 25,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). Southeast, regions of Pendang and Buntokecil; south of Muarateweh. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Barito, East, Central-South, South. Closest to Ma'anyan, Paku, Dusun Malang, Malagasy. Survey needed.
  22. EMBALOH (MBALOH, MALOH, MALO, MEMALOH, MATOH, PARI, PALIN, SANGAU, SANGGAU) [EMB] 10,000 (1991 NTM). West central, Hulu Kapuas Regency, just south of the Sarawak border, upper Kapuas River: Embaloh, Leboyan, Lauh, Palin, Nyabau, Mandai, and Kalis tributaries. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Sundic, Mbaloh. Dialect: KALIS (KALIS MALOH, KALIS DAYAK). Complex of ethnic groups: Taman of upper Kapuas Rer, Suai, Taman Mendalem, Taman Sibau, Palin, Lauk, Leboyan, Kalis Dayak. Traditional religion, Christian. Work in progress.
  23. HOVONGAN (PUNAN BUNGAN) [HOV] 1,000 (1991 NTM). North central near Sarawak border, 2 areas. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Kayan-Murik, Muller-Schwaner 'Punan'. Dialects: HOVONGAN, SEMUKUNG UHENG. Traditional religion, Christian. Work in progress.
  24. IBAN (SEA DAYAK) [IBA] 415,000 in all countries (1995 P. Martin); 1,000,000 including second language users (1995 WA). Also in Sarawak and Sabah, Malaysia, and Brunei. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Sundic, Malayic, Malayic-Dayak, Ibanic. Dialects: BATANG LUPAR, BUGAU, SEBERUANG, KANTU', DESA, KETUNGAU (AIR TABUN, SIGARAU, SEKALAU, SEKAPAT, BANJUR, SEBARU', DEMAM, MAUNG). Seberuang (20,000 speakers on the Kapuas River) may be a separate language. Typology: SVO. Traditional religion, Christian. Bible 1988. NT 1933-1952. Bible portions 1864-1968.
  25. KAHAYAN (KAHAIAN, KAHAJAN) [XAH] 45,000 (1981 Wurm and Hattori). Kapuas and Kahayan rivers, south central, northeast of Ngaju. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Barito, West, South. Related to Ngaju, Katingan, and Bakumpai. Survey needed.
  26. KATINGAN [KXG] 45,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). Katingan River, south central. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Barito, West, South. Related to Ngaju, Kahayan, and Bakumpai. Survey needed.
  27. KAYAN MAHAKAM [XAY] 1,300 (1981 Wurm and Hattori). North central, Mahakam River, 2 areas. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Kayan-Murik, Kayan. A mixture of Kayan and Ot Danum (Dohoi). Survey needed.
  28. KAYAN, BUSANG (KAJAN, KAJANG, BUSANG) [BFG] 3,000 (1981 Wurm and Hattori). On the upper Mahakam, Oga, and Belayan rivers. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Kayan-Murik, Kayan. Dialects: MAHAKAM BUSANG, BELAYAN, LONG BLEH. Christian, traditional religion. Survey needed.
  29. KAYAN, KAYAN RIVER (KAYAN RIVER KAJAN, KAJANG) [XKN] 2,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). Northeast, Kayan River, 2 areas. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Kayan-Murik, Kayan. Dialects: UMA LAKAN, KAYANIYUT KAYAN. Survey needed.
  30. KAYAN, MENDALAM (MENDALAM KAJAN) [XKD] 1,500 (1981 Wurm and Hattori). North central, northeast of Putus Sibau, Mendalam River. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Kayan-Murik, Kayan. Survey needed.
  31. KAYAN, WAHAU (WAHAU KAJAN) [WHU] 500 (?) (1981 Wurm and Hattori). Northeast, north of Muara Wahau. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Kayan-Murik, Kayan. Survey needed.
  32. KELABIT (KALABIT, KERABIT) [KZI] 1,650 in all countries (1981 Wurm and Hattori). Remote mountains, on Sarawak border, northwest of Longkemuat. Mainly in Sarawak, Malaysia. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan, Dayic, Kelabitic. Dialect: LON BANGAG. Mountain slope. Agriculturalists: paddy and hill rice. Part Christian. Bible portions 1965.
  33. KEMBAYAN [XEM] 45,000 possibly (1981 Wurm and Hattori). Northwest, near Sarawak border, around Balaikarangan, Kembayan, Landak River. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Land Dayak. Survey needed.
  34. KENDAYAN (BAICIT, KENDAYAN-AMBAWANG, KENDAYAN DAYAK) [KNX] 150,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). Kalimantan Barat, northeast of Bengkayang in the Ledo area, extending into the jungle area of Madi and Papan. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Sundic, Malayic, Malayic-Dayak. Dialects: AMBAWANG, KENDAYAN. Indonesian is well understood only by the few who have had at least a 6th grade education. Survey needed.
  35. KENINJAL (KANINJAL DAYAK, DAYAK KANINJAL, KANINJAL) [KNL] 35,000 (1990 UBS). West central, Sayan and Melawi rivers, around Nangapinoh, Nangaella, Nangasayan, Gelalak. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Sundic, Malayic, Malayic-Dayak. Work in progress.
  36. KENYAH, BAHAU RIVER (BAHAU RIVER KENYA) [BWV] 1,500 (?) (1981 Wurm and Hattori). Northeast, on Sarawak border, around Longkemuat, Iwan River. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan, Kenyah, Main Kenyah. Dialects: LONG ATAU, LONG BENA, LONG PUYUNGAN. Survey needed.
  37. KENYAH, BAKUNG (BAKUNG, BAKUNG KENYA, BAKONG) [BOC] 2,000 in all countries (?) (1981 Wurm and Hattori). Northeast, near the Sarawak border, Oga River and southeast of Datadian, and around Kubumesaai. Also in Sarawak, Malaysia. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan, Kenyah. Dialects: BOH BAKUNG, OGA BAKUNG, KAYAN RIVER BAKUNG. Muslim. Survey needed.
  38. KENYAH, KAYAN RIVER (KAYAN RIVER KENYA, KENYA, KENJA, KENYAH, KINJIN, KINDJIN, KEHJA) [KNH] 6,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). Northeast, Apo Kayan highlands where Kayan River begins, Iwan River, and around Longbia. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan, Kenyah, Main Kenyah. Dialects: LOWER KAYAN KENYAH, LONGBIA, KAYANIYUT KENYAH, LONG NAWAN, LONG KELAWIT. Christian. NT 1978. Bible portions 1956-1957.
  39. KENYAH, KELINYAU (KELINYAU, KELINJAU, KENJA, KENYAH, KENYA, KINJIN, KINDJIN, KEHJA) [XKL] 1,200 (?) (1981 Wurm and Hattori). Northeast, Kinjau River, around Long Laes, and Telen River. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan, Kenyah, Main Kenyah. Dialects: UMA BEM, UMA TAU, LEPO' KULIT, UMA JALAM. Survey needed.
  40. KENYAH, MAHAKAM (MAHAKAM KENYA, KENYA, KENJA, KENYAH, KINJIN, KINDJIN, KEHJA) [XKM] 7,000 (1981 Wurm and Hattori). Northeast, east of Bahau, and on Mahakam River, 5 areas. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan, Kenyah, Main Kenyah. Dialects: MAHAKAM KENYAH, BOH. Survey needed.
  41. KENYAH, UPPER BARAM (UPPER BARAM KENJA, KENJA, KENYAH, KINJIN, KANYAY, KINDJIN) [UBM] 2,660 in all countries (1981 Wurm and Hattori). Border with Sarawak, northwest of Longkemuat. Mainly in Sarawak, Malaysia. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan, Kenyah, Main Kenyah. Survey needed.
  42. KENYAH, WAHAU (WAHAU KENYA) [WHK] 1,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). Northeast, north of Muara Wahau and Wahau Kayan. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan, Kenyah. Dialect: UMA TIMAI. Survey needed.
  43. KEREHO-UHENG (PUNAN KERIAU) [XKE] 200 (1981 Wurm and Hattori). North central near Sarawak border, south of Bukat and Hovongan. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Kayan-Murik, Muller-Schwaner 'Punan'. Survey needed.
  44. LARA' (LURU) [LRA] 12,000 in all countries (1981 CBFMS). Upper Lundu and Sambas rivers, around Bengkayang east of Gunung Pendering, and farther north, Pejampi and two other villages. Also Sarawak, Malaysia. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Land Dayak. Traditional religion.
  45. LAWANGAN (LUWANGAN, NORTHEAST BARITO) [LBX] 100,000 (1981 Wurm and Hattori). Around the Karau River in east central Kalimantan. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Barito, East, North. Dialects: TABUYAN (TABOYAN, TABOJAN, TABOJAN TONGKA), AJUH, BAKOI (LAMPUNG), BANTIAN (BENTIAN), BANUWANG, BAWU, KALI, KARAU (BELOH), LAWA, LOLANG, MANTARAREN, NJUMIT, PURAI, PURUNG, TUWANG, PASIR, BENUA. At least 17 dialects. Tawoyan may be inherently intelligible. Survey needed
  46. LENGILU [LGI] 10 (?) (1981 Wurm and Hattori). Northeast, between Sa'ban and Lundayeh. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan, Dayic, Kelabitic. Nearly extinct.
  47. LUNDAYEH (SOUTHERN MURUT, LUN DAYE, LUN DAYAH, LUN DAYA, LUN DAYOH, LUNDAYA) [LND] 25,000 in Kalimantan (1987); 10,000 in Sarawak, Malaysia (1987); 2,800 in Sabah, Malaysia (1982 SIL); 450 in Brunei (1987); 38,250 in all countries. Interior about 4 degrees north from Brunei Bay to headwaters of Padas River, to headwaters of Baram and into Kalimantan, Indonesian mountains where tributaries of Sesayap River arise. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan, Dayic, Kelabitic. Dialects: LUN DAYE, PAPADI, LUN BAWANG (LONG BAWAN, SARAWAK MURUT). Most speakers live in Indonesia. Not Murutic, although sometimes called Southern Murut. Christian (Lunbawang, some Lundayeh), traditional religion (others). Bible 1982. NT 1962. Bible portions 1947.
  48. MA'ANYAN (MAANYAK DAYAK, MA'ANJAN, SIANG) [MHY] 70,000 (1981 Wurm and Hattori). South around Tamianglayang, area of the drainage of Patai River. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Barito, East, Central-South, South. Dialects: SAMIHIM (BULUH KUNING), SIHONG (SIONG), DUSUN BALANGAN. Related to Malagasy. Traditional religion. NT in press (1996). Bible portions 1950.
  49. MALAYIC DAYAK [XDY] 520,000 including 300 Tapitn, 100,000 (?) Banana', 100,000 (?) Kayung, 200,000 Delang, 10,000 Semitau, 10,000 Suhaid, 20,000 Mentebah-Suruk (1981 Wurm and Hattori). Banana' and Tapitn are western, between Singakawang, Bengkayang, Darit, and Sungairaya; Kayung and Delang are southern, between Sandai, Muarakayang, Pembuanghulu, Sukamara, and Sukaraja; Semitau, Suhaid, and Mentebah-Suruk are eastern, southeast of Kapuas River from Sintang to Putus Sibau. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Sundic, Malayic, Malayic-Dayak. Dialects: TAPITN, BANANA', KAYUNG (KAYONG), DELANG, SEMITAU, SUHAID, MENTEBAH-SURUK. May constitute 3 or more languages. Related to Selako, Kendaya, and Keninjal. Work in progress.
  50. MALAY, BERAU (BERAU, MERAU MALAY) [BVE] 20,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). East central coastal area, Tanjungreder and Muaramalinau in the north to Sepinang in the south. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Sundic, Malayic, Malayan, Local Malay. Shares phonological innovations with Kutai Malay, Banjar, and Brunei. Survey needed.
  51. MALAY, BUKIT (BUKIT, MERATUS) [BVU] 50,000 (1981 Wurm and Hattori). Southeastern, Sampanahan River, northwest of Limbungan. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Sundic, Malayic, Malayan, Local Malay. Traditional religion. Survey needed.
  52. MALAY, KOTA BANGUN KUTAI [MQG] 80,000 (1981 Wurm and Hattori). Central Mahakam River basin. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Sundic, Malayic, Malayan, Local Malay. Not intelligible with Tenggarong Kutai Malay. May be intelligible with Northern Kutai. Survey needed.
  53. MALAY, TENGGARONG KUTAI (KUTAI, TENGGARONG) [VKT] 210,000, including 100,000 in Tenggarong, 60,000 in Ancalong, 50,000 in Northern Kutai (1981 Wurm and Hattori). Mahakam River basin, east central coastal area, from Sepinang and Tg. Mangkalihat in the north to Muarabadak and Samarinda in the south. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Sundic, Malayic, Malayan, Local Malay. Dialects: TENGGARONG KUTAI, ANCALONG KUTAI, NORTHERN KUTAI. Many dialects. Tenggarong and Kota Bangun are not inherently intelligible. Shares phonological innovations with Berau Malay, Banjar, and Brunei. Survey needed.
  54. MODANG [MXD] 15,300 (1981 Wurm and Hattori). Around Segah, Kelinjau, and Belayan rivers in northeast Kalimantan, 5 areas. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Kayan-Murik, Modang. Dialects: KELINGAN (LONG WAI, LONG WE), LONG GLAT, LONG BENTO', BENEHES, NAHES, LIAH BING. Survey needed.
  55. MUALANG [MTD] 10,000 (1981 Wurm and Hattori). Along the Ayak and Belitang Rivers, about 200 miles upstream from Pontianak. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Sundic, Malayic, Malayic-Dayak, Ibanic. Closely related to Iban. Survey needed.
  56. NGAJU (NGADJU, NGAJU DAYAK, BIADJU, SOUTHWEST BARITO) [NIJ] 250,000 (1981 Wurm and Hattori). Kapuas, Kahayan, Katingan, and Mentaya rivers, south. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Barito, West, South. Dialects: PULOPETAK, KAPUAS (NGAJU, BARA-DIA), BA'AMANG (BARA-BARE, SAMPIT), MANTANGAI (OLOH MANGTANGAI). Related to Katingan, Kahayan, Bakumpai. Trade language for most of Kalimantan, from the Barito to the Sampit rivers, east of the Barito languages, and north in the Malawi River region. Bible 1858-1955. NT 1846, in press (1996). Bible portions 1897-1905.
  57. NYADU (NJADU, BALANTIANG, BALANTIAN) [NXJ] 9,000. West and north Kalimantan, Landak, tributary of Sambas River. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Land Dayak. Similar to Lara' spoken along upper Lundu and Sambas Rivers. Bible portions 1952. Survey needed.
  58. OKOLOD (KOLOD, KOLOUR, KOLUR, OKOLOD MURUT) [KQV] 2,000 to 3,500 in all countries (1985 SIL). Northeast along Sabah border, east of Lumbis, north of Lundayeh. Primarily Kalimantan and Sarawak, Malaysia, and some in Sabah, Malaysia. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan, Dayic, Murutic, Murut. Traditional religion, Christian. Work in progress.
  59. PAKU [PKU] 20,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). Southeast, south of Ampah. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Barito, East, Central-South, South. Closest to Ma'anyan, Malagasy, Dusun Malang, Dusun Witu. Survey needed.
  60. PUNAN APUT (APUT) [PUD] 370 (1981 Wurm and Hattori). Northeast, west and north of Mt. Menyapa. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Kayan-Murik, Muller-Schwaner 'Punan'. Survey needed.
  61. PUNAN MERAH [PUF] 137 (1981 Wurm and Hattori). Northeast, Mahakam River, east of Ujohhilang. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Kayan-Murik, Muller-Schwaner 'Punan'. Distinct from Punan Merap. Survey needed.
  62. PUNAN MERAP [PUC] 200 (?) (1981 Wurm and Hattori). Northeast, east of Longkemuat. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, Rejang-Sajau. Distinct from Punan Merah. Survey needed.
  63. PUNAN TUBU [PUJ] 2,000 (1981 Wurm and Hattori). Northeast, Malinau, Mentarang, and Sembakung rivers, 8 locations. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan, Kenyah. May not be a Kenyah language. Survey needed.
  64. PUTOH [PUT] 6,000 (1981 Wurm and Hattori). Northeast, east of Lundayeh and Sa'ban, Mentarang River, around Longberang, Mensalong, and Bangalan. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan, Dayic, Kelabitic. Dialects: PA KEMBALOH, ABAI. Survey needed.
  65. RIBUN [RIR] 45,000 possibly (1981 Wurm and Hattori). Northwest, south of Kembayan. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Land Dayak. Survey needed.
  66. SA'BAN [SNV] 1,000 in all countries (1981 Wurm and Hattori). Northeast on Sarawak border, south of Lundayeh. Also in Sarawak, Malaysia. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan, Dayic, Kelabitic. Bible portions 1969. Survey needed.
  67. SAJAU BASAP (SAJAU, SUJAU) [SAD] 6,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). Northeast, northeast of Muaramalinau. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, Rejang-Sajau. Dialects: PUNAN SAJAU, PUNAN BASAP, PUNAN BATU2. Distinct from Basap, but related. Survey needed.
  68. SANGGAU [SCG] 45,000 possibly (1981 Wurm and Hattori). Northwestern, around Sanggau, Kapuas River. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Land Dayak. Survey needed.
  69. SARA [SRE] Smaller than Lara. Near Sanggau-Ledo northeast of Ledo. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Land Dayak. Some dialect differences but one written form can serve. Work in progress.
  70. SEBERUANG [SBX] 20,000 (1993 UBS). Kapuas River. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Sundic, Malayic, Malayic-Dayak, Ibanic. Typology: SVO. Traditional religion, Christian. Work in progress.
  71. SEGAI [SGE] 2,000 (1981 Wurm and Hattori). Northeast, Kelai River and around Longlaai. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Kayan-Murik, Modang. Dialects: KELAI, SEGAH. Bolongan may be a dialect. Survey needed.
  72. SELAKO (SELAKO DAYAK, SALAKAU, SILAKAU) [SKL] 100,000 in Kalimantan (?) (1981 Wurm and Hattori); 3,800 in Sarawak, Malaysia (1981 Wurm and Hattori). Northwest, around Pemangkat. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Sundic, Malayic, Malayic-Dayak. Mainly traditional religion.
  73. SELUNGAI MURUT [SLG] 800 in all countries (1981 Wurm and Hattori); 300 in Sabah (1990 SIL). Along the upper reaches of the Sembakung River, east of Lumbis. Also in Sabah, Malaysia. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan, Dayic, Murutic, Murut.
  74. SEMANDANG [SDM] 30,000 (1981 Wurm and Hattori). West central, around Balaiberkuwak, north of Sandai. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Land Dayak. Dialects: SEMANDANG, GERAI, BEGINCI, BIHAK. Traditional religion, Christian. Bible portions 1982. Work in progress.
  75. SEMBAKUNG MURUT (SIMBAKONG, SEMBAKOENG, SEMBAKONG, TINGGALAN, TINGGALUM, TINGALUN) [SMA] 5,000 in all countries (?) (1981 Wurm and Hattori). Along the Sembakung River in northern Kalimantan, from the mouth, into Sabah, Malaysia. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan, Dayic, Murutic, Tidong.
  76. SIANG (OT SIANG) [SYA] 60,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). Central, east of Dohoi. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Barito, West, North. Dialects: SIANG, MURUNG2. Related to Dohoi. Survey needed.
  77. TAGAL MURUT (SUMAMBU-TAGAL, SUMAMBU, SUMAMBUQ, SEMEMBU, SEMAMBU) [MVV] 2,000 Alumbis in Kalimantan; 28,000 to 48,000 in Sabah, Malaysia (1987 SIL); 30,000 to 50,000 in all countries (1991 SIL). Along the Pegalan Valley, Alumbis River. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan, Dayic, Murutic, Murut. Dialects: RUNDUM (ARUNDUM), TAGAL (TAGOL, NORTH BORNEO MURUT, SABAH MURUT), SUMAMBU (SEMEMBU, SUMAMBUQ), TOLOKOSON (TELEKOSON), SAPULOT MURUT (SAPULUT MURUT), PENSIANGAN MURUT (PENTJANGAN, TAGAL, TAGUL, TAGOL, TAGGAL, LAGUNAN MURUT), ALUMBIS (LUMBIS, LOEMBIS), TAWAN, TOMANI (TUMANIQ), MALIGAN (MAULIGAN, MELIGAN, BOL MURUT, BOLE MURUT). NT 1984-1991. Bible portions 1965-1990.
  78. TAMAN (TAMAN DAYAK, DAYAK TAMAN) [TMN] 5,000 to 6,000 (1991 NTM). North central, Kapuas River in the area directly upriver from Putussibau, and the Mendalam and Sibau tributaries. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Sundic, Mbaloh. Traditional religion, Christian. Work in progress.
  79. TAUSUG (TAW SUG, SULU, SULUK, SOOLOO, TAUSOG, TAOSUG, MORO JOLOANO, JOLOANO SULU) [TSG] 12,000 in Kalimantan (1981 Wurm and Hattori); 330,000 in the Philippines (1975 census); 110,000 in Sabah, Malaysia (1982 SIL); 492,000 in all countries (1981 Parshall). 500,000 others speak it as second language in the Philippines (1986 SIL). Settlements along the coast of northeastern Kalimantan, immigrants from the Sulu Archipelago in the Philippines. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Meso Philippine, Central Philippine, Bisayan, South, Butuan-Tausug. Fishermen. Muslim. NT 1985. Bible portions 1918-1993.
  80. TAWOYAN (TAWOYAN DAYAK, TABOYAN, TABUYAN, TABOJAN, TABOJAN TONGKA) [TWY] 20,000 (?) (Wurm and Hattori 1981). East Central around Palori. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Barito, East, North. May be inherently intelligible with Lawangan. Survey needed.
  81. TIDONG (CAMUCONES, TIDUNG, TEDONG, TIDOENG, TIRAN, TIRONES, TIROON, ZEDONG) [TID] 25,000 in all countries (1981 Wurm and Hattori); 9,800 in Malaysia. Population center is along Sembakung and Sibuka Rivers of eastern Kalimantan, coast and islands around Tarakan and interior, Malinau River. Also Sabah, Malaysia. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Northwest, North Sarawakan, Dayic, Murutic, Tidong. Dialects: NONUKAN (NUNUKAN), PENCHANGAN, SEDALIR (SALALIR, SADALIR, SARALIR, SELALIR), TIDUNG, TARAKAN (TERAKAN), SESAYAP (SESAJAP), SIBUKU.
  82. TUNJUNG (TUNJUNG DAYAK) [TJG] 50,000 (?) (1981 Wurm and Hattori). East central, between Adas, Dempar, Melak, and east around the lake; south around Muntaiwan. Austronesian, Malayo-Polynesian, Western Malayo-Polynesian, Borneo, Barito, Mahakam. Dialects: TUNJUNG (TUNJUNG TENGAH), TUNJUNG LONDONG, TUNJUNG LINGGANG, PAHU. Work in progress.

Monday, June 05, 2006

Pilih Jadi Budak Seumur Hidup Atau Merubah Pikiran ?

TAPI kamu, orang Indonesia, kalian tak akan mungkin merdeka selama kamu belum membuang semua "kotoran" magis dari kepalamu, selama kamu masih membanggakan kebudayaan kuno yang penuh butir-butir pikiran yang keliru, kepasrahan, dan selama kamu berjiwa budak..." (Tan Malaka dalam Massa Actie: 1926)

Monday, May 29, 2006

LAHAN GAMBUT DI KALTENG TETAP POTENSIAL UNTUK LAHAN PERTANIAN

Pemerintah ke depan akan menghidupkan kembali Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektar (PLG) di Kalimantan Tengah yang sempat dihentikan tahun 1999 lalu. Pemerintah menilai proyek PLG yang telah dilaksanakan dimasa lalu tidak seluruhnya mengalami kegagalan. Sebagai contoh di Wilayah Kerja A, khususnya A1, A2, dan A5 yang akan dijadikan lokasi Pesta Panen Raya untuk musim tanam April – September 2004 yang direncanakan September mendatang. Memang tidak seluruh areal pengembangan yang luasnya lebih dari satu juta hektar (1,119 ha) cocok untuk ditanami dengan padi yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat kita. Namun, sebagian dapat digunakan sebagai areal konservasi.

Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto dalam kunjungan kerjanya ke PLG di Desa Dadahup yang didampingi Gubernur Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang, Dirjen Bina Marga Hendrianto dan Dirjen Sumber Daya Air, Siswoko serta Pejabat dari Instansi Terkait Kamis (30/3) lalu. Menurut Djoko, pemerintah sangat menyangkan jika investasi yang telah ditanam begitu besar tetapi kemudian tidak dimanfaatkan secara optimal. “Boleh dikatakan mubazir jika kawasan itu tidak tergarap. Apalagi di lahan ini sudah menghasilkan dan berpotensi jadi penopang ketahanan pangan nasional,” tegas Menteri PU.

Menteri PU menambahkan, kedatangannya ke lokasi PLG itu untuk melihat langsung infrastruktur ke PU an apa saja yang perlu dibangun untuk mensukseskan Pesta Panen Raya yang direncanakan akan dihadiri Presiden SBY September mendatang. Dirinya mengaku, setelah melihat langsung ada beberapa prasarana yang belum memadai seperti pintu air, saluran primer, jalan inspeksi saluran belum memadahi. Terkait dengan masalah itu Menteri PU berjanji akan mengalokasikan dana bantuan untuk pengembangan PLG ke depan.

“Pemerintah sudah komitmen akan membantu pada proyek ini. Begitu pula dengan instansi terkait. Jadi saya mengharapkan adanya koordinasi yang baik antara instansi terkait dengan pemprov/pemkab Kalteng. Instansi sangat berkepentingan dengan proyek ini. Jadi tidak hanya Departemen PU saja,” ucap Djoko Kirmanto. Dia mencontohkan, Deptan sebagai penyuluh, Depnakertrans yang mendatangkan para transmigran, tambahnya. Djoko sangat mengharapkan Gubernur Kalteng menjadi ketua tim dalam pelaksanaan PLG di wilayah yang merupakan wewenangnya.

Gubernur Kalteng Teras Narang mengaku, pihaknya telah berkoordinasi dengan Bulog untuk pemasaran hasil tanam dari daerah PLG. Pasalnya, hasil tanam seperti palawija dan padi tidak mungkin habis dikonsumsi penduduk Kalteng yang jumlahnya sekitar 2 juta jiwa. Stok yang berlimpah dari hasil PLG harus di-ekspor ke propinsi lain yang juga sangat membutuhkan. Teras juga menjelaskan Menteri PU dalam penangan kawasan PLG sangat apresiatif dan menyatakan akan terus membantu. Oleh karena itu dirinya merasa bangga beliau bersedia bersedia mengunjungi Lokasi PLG.

Dijelaskan, 29 April yang akan datang kami sangat berharap Menteri PU kembali lagi untuk bersama-sama dengan menteri lain seperti Menakertrans, Mentan, Mendagri, Menko Kesra untuk melakukan penanaman benih padi di tempat ini. Sekaligus kedatangan Presiden SBY pada Pesta Panen yang telah direncanakan akan hadir September bulan depan. Menurutnya, masyarakat Kalteng akan sangat antusias dan berbondong-bondong menyambut kedatangan presiden RI tersebut.

Sementara itu, Dirjen Sumber Daya Air Siswoko dalam penjelasannya menyatakan, pihaknya sejak tahun 2000 telah fokus mengembangkan daerah kerja A tempat dimana UPT Lamunti dan UPT Dadahup berada di dalamnya. Dijelaskan dari areal 1,119 juta ha telah dibagai menjadi 4 daerah kerja (A, B, C, D) ditambah F untuk kawasan konservasi. Namun khusus untuk menyokong Pesta Panen Raya tahun ini berdasarkan masukan dari pakar gambut UGM, Tim Pakar ITB dan IPB maka ditetapkanlah daerah kerja A1, A2 dan A5 sebagai lokasi peresmian Pesta Panen Raya.

Menurut Siswoko lokasi itu dipilih UPT Lamunti dan UPT Dadahup dapat dijangkau melalui angkutan sungai dan angkutan darat yang berjarak 45 km dari kota Kuala Kapuas. Dijelaskan permasalahan utama yang menjadi kendala selama ini diantaranya adala sistem tata air seperti kurang optimalnya fungsi jaringan tata air, kurang berfungsinya sistem pengendalian banjir. Oleh sebab itu, ujar Siswoko kegiatan program yang dilakukan saat ini lebih difokuskan pada penanganan sistem tata air termasuk upaya pengendalian banjir dengan menutup ruas-ruas tanggul yang bobol

Pelaksanaan musim tanam April-September 2006 yang akan dilakukan para menteri terkait diareal sekitar 12.500 hektar merupakan bagian integral dari rencana rehabilitasi dengan Panen Raya mendatang, sekaligus menadai dimulainya pelaksanaan INPRES kegiatan Rehabilitasi kawasan eks. PLG di Kalteng. (Sony)

Kalteng minta Dibangun Pelabuhan dan Rel KA untuk Batu Bara

JAKARTA: Pemprov Kalimantan Tengah meminta pemerintah pusat agar membantu pembangunan infrastruktur rel kereta api serta pelabuhan batu bara di daerah tersebut, sehingga dapat segera dilaksanakan.

Permintaan itu terkait dengan crash program pemerintah untuk membangun PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) berbahan bakar batu bara berkapasitas 10.000 MW yang harus rampung pada 2009.

Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang mengatakan pembangunan infrastruktur transportasi tersebut harus segera dilaksanakan, sehingga pada 2009 pasokan batu bara ke sejumlah PLTU dapat lancar didistribusikan. Saat ini, Kalimantan yang kaya batu bara tidak memiliki infrastruktur rel kereta api (KA) dan pelabuhan batu bara. Pelabuhan batu bara hanya terdapat di Sumatra dan Jawa.

Dari studi yang sudah dilakukan, Kalteng rencananya akan membangun rel KA Puruk Cuhu-Mangkatip sepanjang 250 km, peningkatan jalan eks hak pengusahaan hutan Sungai Hanyu-Mangkatip, pembangunan pelabuhan ekspor batu bara di Desa Mangkatip, serta membangun sejumlah pelabuhan di Bahaur Sungai Kahayan, Matalayur, Samuda di Sungai Mentaya, dan Teluk Sigintong.

"Namun, pemerintah setempat tidak memiliki dana besar untuk membangun infrastruktur tersebut," ujar Teras usai menjadi pembicara Seminar Coal 2006, The 1st International Trade Exhibition on Coal Mining Technology & Equipment akhir pekan lalu.

Di tempat yang sama, Simon Felix Sembiring, Dirjen Mineral Batubara dan`Panas Bumi pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, mengatakan pembangunan infrastruktur seperti rel KA dan pelabuhan batu bara adalah tugas Dephub. (k18/Bambang Dwi Djanuarto)

Sumber : Bisnis Indonesia

Friday, May 26, 2006

SELANTING LESTARI Aja Deh...!!


Biar tercatat dan bisa dibuka oleh semuanya, mending aku masukin ke blog aja apa-apa yang disepakati oleh kawan-kawan pada Sinergy Meeting [SIMEET] tanggal 19-20 Mei 2006 lalu.

Dibawah tertera rencana tindakan strategis yang akan dilakukan oleh Aliansi SELANTING [Seruyan-Lamandau-Tanjung Puting] LESTARI.

Sebetulnya malas nulis2 ini, tapi khan harus di publish, habis Menhut juga ngaco sih, setindaknya anak buahnya [Balai Pengukuhan Kawasan Hutan Wilayah V Banjarbaru] yang ngaco, masa main itung2 hutan terus dan keluar2nya "COCOK UNTUK DIKONVERSI". Kalau konversi terus, bagaimana nasib hutan kedepan, yang ada hutan sawit aja deh...

Rencana tindak kedepan ALIANSI SELANTING LESTARI , yaitu :
1. Penguatan data dan informasi
  • Pengembangan data-base
  • Riset
  • Analisis hukum dan kebijakan
2. Peningkatan kapasitas dan kelembagaan rakyat
  • Pengorganisasian rakyat
  • Pemetaan wilayah
  • Penguatan ekonomi rakyat
  • Pengorganisasian kasus
  • Pendidikan politik rakyat
3. Pengembangan kapasitas kelembagaan/jaringan
  • Peningkatan kapasitas & jaringan kerja kolaborasi
  • Strategi dan media komunikasi
  • Fundrising
4. Penyadaran dan penggalangan dukungan publik
  • Media kampanye
  • Kampanye pasar dan konsumen
  • Lobby / negosiasi pemerintah
  • Yudicial review/litigasi
5. Emergency advokasi
  • Analisis hukum & kebijakan
  • Yudicial review atas kebijakan pemerintah [pusat dan daerah]
  • Pengorganisasian kasus
Good Luck deh....

Selamat Datang Sawit, Selamat Datang Kaum Landless


Landless adalah istilah bagi suatu kaum yang tidak mempunyai tanah atau sebuah bangsa atau suku bangsa yang keberadaannya nyata tetapi sesungguhnya dia tidak mempunyai tanah atau lahan untuk mengambangkan kehidupan dan mata pencariannya. Contoh bangsa-bangsa demikian seperti Palestina, bangsa Aborigin di Australia dan bangsa Indian di Amerika.

Di Indonesia juga sebagian besar masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa adalah kaum landless yang tidak mempunyai tanah lagi, petani atau kelompok agraris yang sangat besar di Pulau Jawa sesungguhnya hanyalah petani penggarap dan bukan pemilik tanah. Disamping tanahnya sudah direbut sebagai tanah negara yang dikelola oleh Perum Perhutani, juga berubah fungsi menjadi kawasan industri.

Kalimantan Tengah yang dihuni oleh sebagian besar masyarakat adat Dayak dari berbagai sub-suku serta beberapa suku lainnya pada saatnya juga akan menjadi kaum landless. Masyarakat Adat Dayak akan kehilangan tanahnya, kebunnya, beje-nya, kaleka nya, pahewan-nya dan tanah-tanah keramatnya.

Indikasi kearah ini sudah sangat nampak, landless sudah diambang mata. Kalau mau bukti perhitungan dan fakta-fakta berikut akan membawa anda menjadi yakin kalau orang Dayak akan kehilangan tanahnya dalam jangka tidak sampai 10 tahun lagi.

Fakta 1 : Pada tahun 2003 Pemerintah daerah dan DPRD Kalteng dengan gagah telah mengesahkan Perda No. 8 Tahun 2003 tentang RTRWP Kalteng - yang sesungguhnya juga masih kontroversial dan ditentang NGOs karena ada alih fungsi hutan secara manifulatif untuk meloloskan tambang-tambang raksasa - dengan membagi-bagi peruntukan tanah secara sepihak tanpa konsultasi dengan masyarakat sebagai bagian tak terpisahkan dari bangsa yang mendiami wilayah Kalteng sejak ratusan bahkan ribuan tahun.

Pejabat Pemerintah kita tidak sadar bahwa kedudukan dan martabat yang disandangnya sekarang berasal dari usaha moyangnya mengelola tanah. Tanah yang menghasilkan rotan, getah, nasi dan duit untuknya sekolah. Ternyata kemudian kepintarannya digunakan hanya untuk merampas tanah-tanah rakyat. Sungguh kita betul-betul telah menjadi bangsa yang sial, sekali lagi sial.

Fakta 2 : Tahun 2004 sekitar awal tahun sampai dengan bulan Mei 2004 Gubernur Kalimantan Tengah menggulirkan rencana spektakulernya untuk mengembangkan perkebunan sawit jutaan hectare [sesungguhnya bukan sejuta hectare]. Rencana ini tentu saja tidak lepas dari pengaruh dan propaganda canggih kaum kapitalis yang bermaksud mengusaia tanah-tanah rakyat Kalteng untuk pembangunan perkebunan sawit miliknya.

Sayang-sungguh sayang pejabat kita yang telah berhasil menjadi “orang” karena tanah dan hasil diatasnya terbuai dan mabuk dengan bujukan ini, sehingga dengan gampang mengorbankann tanah-tanah rakyat untuk dijadikan perkebunan skala raksasa, milik konglomerat. Sungguh sekali lagi wacana ekonomi kerakyatan betul-betul hanya dilidah dan bualan busuk saja. Ekonomi tetap bertumpu pada pertumbuhan yang selama krisis terbukti tidak mampu membendung badai keterpurukan ekonomi bahkan krisis multidimensional.

Pertumbuhan ekonomi dengan basis konglomerasi sangat mudah untuk melarikan modal dan hanya meninggalkan sisa-sisa ampas dan pencemaran serta keterbengkalaian bersama derita rakyat.

Kembali kepada soal landless dan keterkaitannya dengan fakta 1 dan fakta 2, maka akan saya tampilkan angka-angka berdasar fakta 1 yang berimplikasi pada fakta 2 seterusnya berimplikasi pada landless masyarakat Dayak.

Dalam RTRWP Kalteng sesuai dengan Perda no. 8 Tahun 2003 hanya ada 2 peruntukan lahan yang memungkinkan dikelola oleh “rakyat” [dalam tanda petik karena masih ada pertanyaan-rakyat yang mana ?], yaitu Kawasan Pengembangan Produksi [KPP] dan Kawasan Pemukiman dan Peruntukan Lainnya [KPPL]. Selebihnya merupakan peruntukan kawasan seperti Cagar Alam, Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, Kawasan Hidrologi, Kawasan Ekosistem Air Hitam dan lain-lain sejumlah 18 items. Kawasan tersebut dapat dikatakan tidak dapat dikelola oleh rakyat secara normal, kecuali dengan prosedure khusus yang sangat berbelit atau bahkan merupakan kawasan “terlarang”.

KPP Kalteng diperuntukan seluas 2.789.108,09 ha dan KPPL seluas 1.920.054,79 ha. Atau secara keseluruhan luasnya kalau dijumlahkan adalah 4.709.162.88 ha.
Dengan luasan demikian, kita akan mulai berhitung mengenai porsi ideal bagi petani atau masyarakat pengelola tanah, dimana banyak literatur menyebutkan luasan ideal bagi petani atau pengelola tanah adalah sekitar 2 hektare [belum termasuk untuk pemukiman dan pekarangan].

Lalu tengoklah angka jumlah penduduk Kalteng saat ini [saja], jumlahnya sekitar 1,9 juta orang [belum diperhitungkan pertumbuhan penduduk dalam waktu 10 tahun kedepan]. Dengan angka penduduk yang demikian, idelanya harus dialokasikan tanah sebagai persiapan kedepan paling tidak seluas 1,9 juta X 2 ha, yaitu sebanyak 3.800.000 ha.

Dalam jangka 10 tahun kedepan, barangkali tanah seluas itu dapat dijadikan sebagai ladang seluas 0,5 haektare, kebun seluas 0.4 hektare, perumahan dan pekarangan 0,2 hektare, sisanya adalah untuk kuburan kalau kita semua telah mati dan pasti mati.

Memang KPP dan KPPL di Kalteng yang dimuat dalam RTRWP lebih luas dari kebutuhan ideal pemilikan tanah bagi rakyat, tetapi………….angka 4.709.162.88 ha KPP dan KPPL tersebut telah lebih dahulu dikuasai dan diperuntukan bagi perkebunan skala raksasa [sawit] yang luasnya diprediksikan sekitar 2,5 juta hectare. Jadi sisanya hanya tinggal 2.2 juta ha saja. Kalau mau dibagikan secara ideal maka angka tersebut hanya akan memberikan gambaran bahwa setiap orang di kalteng saat ini hanya akan memiliki rasio atas tanah seluas 1,16 hektare.

Peluang rakyat untuk mendapatkan “keamanan” atas tanahnya untuk dapat memperoleh kedaulatan atas pengelolaan lahan dan tanahnya sesungguhnya sudah dibuka dan terbuka melalui TAP MRP No. IX tahun 2001 Tentang pembaruan Agraria dan pengelolaan Sumberdaya Alam. Bahkan dalam Sidang Umum MPR Tahun 2003 memutuskan bahwa TAP MPR No. IX tetap berlaku sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam ketetapan tersebut. Dus….kemudian ditambah lagi dengan Hasil sidang Komisi C tentang Saran yang merumuskan beberapa hal terkait dengan materi tersebut, yang salah satunya adalah “…mempermudah dan mempermurah proses sertifikasi tanah untuk rakyat kecil, khusunya para petani…”.

Tetapi kemudian apa yang terjadi, saran dan ajuran tetap saja saran dan anjuran, “ anjing menggonggong, kapilah tetap berlalu”. Tidak ada kemudahan dan kemurahan bagi rakyat kecil. Kemudahan dan kemurahan hanya milik pemodal berkantong tebal dan pintar berdasarkan propaganda.

Dengan demikian adalah pantas saya ucapkan pada kita semua ; Selamat menunggu hari-hari tanpa tanah dan menjadi kaum landless. Semoga.