Tuesday, September 26, 2006

Fire Monitoring di Perusahaan Malaysia



Tabel 1 Sumber : dari berbagai sumber dan PPB Group Bhd Annual report 2004 & 2005

1. Pendahuluan


Polemik soal pembakaran lahan dah hutan untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus menerus terjadi setiap tahun. Di satu sisi, masyarakat disalahkan sebagai pelaku pembakaran lahan untuk peladangan, tetapi disisi lain juga tidak dapat dipungkiri dan bahkan fakta-fakta menunjukan bahwa ada perusahaan perkebunan kelapa sawit yang melakukan pembersihan lahannya dengan cara membakar setelah land clearing dilakukan.

Dalam permasalahan kabut asap pembakaran hutan dan lahan, pertentangannya juga terjadi pada level tingkat tinggi, dimana antara negara, khususnya Malaysia dan Indonesia saling menyalahkan dalam kasus kebakaran hutan dan lahan yang mengakibatkan kabut asap di kedua negara tersebut. Malaysia tentu saja merasa keberatan dengan adanya “import” gratis berupa asap dari wilayah Indonesia yang dilakukan oleh perkebunan-perkebunan di Indonesia, tetapi juga senyatanya tidak sedikit perkebunan-perkebunan yang membakar tersebut adalah perusahaan milik atau dengan modal dari Malaysia.

Tahun lalu [2005], sebuah perusahaan milik PPB Oilpalm -Malaysia, yaitu PT. Kerry Sawit Indonesia tertangkap tangan oleh anggota DPRD Kabupaten Seruyan sedang melakukan pembakran lahannya di Kecamatan danau Sembuluh Kabupaten Seruyan. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut tidak bekerja dengan standard lingkungan yang baik dan tidak menggunakan metode zero burning system dalam pembersihan lahannya.

Beberapa hari lalu, sebuah perusahaan lain, yaitu PT. Hamparan Sawit Eka Malan [perusahaan ini juga milik PPB Oilpalm melalui anak perusahaannya Rosevale Pte Ltd dengan kepemilikan saham sebesar 94.3 %] juga di kecamatan Danau Sembuluh Kabupaten Seruyan, didapati oleh aktivis lingkungan sedang melakukan pembakran di lahannya.

Politik saling tuding dan saling menyalahkan bahkan mencari kambing hitam, yaitu peladangan masyarakat ini sudah menjadi tradisi tahunan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, walaupun tidak sedikit juga fakta-faktta yang menunjukan bahwa pembakaran lahan kebun perusahaan sawit raksasa dilakukan secara sengaja untuk menghenat biaya.

Malaysia sedang menggalakan kampanye untuk menangkis serangan bahwa persuahaan dan modal mereka digunakan dengan tidak ramah lingkungan dan tidak taat hukum, yaitu dengan membakar. Oleh karena itu maka juga menjadai penting untuk dapat membuktikan bahwa ada banyak perusahaan milik dan modal Malaysia yang berkerja buruk

Perkebunan Malaysia di Seruyan dan Kotim, Kalteng

Dari hasil pelacakan [searching] dan pengumpulan data yang yang dilakukan oleh Save Our Borneo dari berbagai sumber, setidaknya ditemukan ada 16 perusahaan perkebunan kelapa sawit milik pemodal Malaysia di Kotawaringin Timur dan Seruyan Kalimantan Tengah, seperti tabel 1 diatas.



Dari 16 perusahaan milik pemodal Malaysia tersebut, 2 diantaranya sudah menghasilkan CPO dengan, yaitu PT. Agro Indomas yang memiliki kilang CPO sendiri dan PT. Mustika Sembuluh yang saat ini kilangnya masih dalam tahap development.

Berdasarkan lokasi perusahaan dan overlay nya dengan kawasan hutan [sesuai dengan Perda RTRWP Kalimantan Tengah No. 8 Tahun 2003] beberpaa diantaranya berada dalam wilayah yang secara resmi berada dalam status kawasan hutan yang belum dilepaskan oleh Kementrian Kehutanan Republik Indonesia, yaitu :

  1. PT. Pukun Mandiri Lestari / Seruyan [19.000 ha]
  2. PT. Bulau Sawit Bajenta / Seruyan [15.000 ha]
  3. PT. Alam Sawit Permai / Seruyan [16.160 ha]
  4. PT. Benua Alam Subur / Seruyan [16.160 ha]
  5. PT. Bawak Sawit Tunas Belum / Seruyan [15.000 ha]
  6. PT. Hamparan Sawit Eka Malam I / Seruyan [20.000ha]
  7. PT. Petak Malan Sawit Makmur / Seruyan [19.680 ha]
(Sumber : BPN Kabupaten Seruyan )

Tujuh perusahaan perkebunan sawit diatas, secara resmi menjadi milik PPB Oilpalm Bhd-Malaysia setelah terjadi tranksaksi jual beli dengan pemilik asal dari pengusaha local, masing-masing pada tanggal :


Keterangan :
{Tgl. Transaksi}
{Pembeli}
{Nama Perusahaan}
{Saham PPB}
{Nilai jual [juta /Rp}]

{7-Oct-05}
{Richdelta Ptd Ltd}
{PT. Bulau Sawit Bajenta}
{75.0%}
{375}

{14-Oct-05}
{Maxillion Ptd Ltd}
{PT. Pukun Mandiri Lestari}
{95.0%}
{950}

{14-Oct-05}
{Stephigh Pte Ltd}
{PT. Alam Sawit Permai}
{95.0%}
{950}

{21-Oct-05}
{Maxceed Pte Ltd}
{PT. Benua Alam Subur}
{95.0%}
{950}

{21-Oct-05}
{Quanta Pte Ltd}
{PT. Hamparan Sawit Eka Malan}
{95.0%}
{285}

{28-Oct-05}
{Rosevale Pte Ltd}
{PT. Petak Malan Sawit Makmur}
{94.3%}
{283}

{28-Oct-05}
{Ampleville Pte Ltd}
{PT. Bawak Sawit Tunas Belum}
{95.0%}
{285}

Sumber : PPB Group Bhd. Annual Report 2005


2. Kebakaran Terjadi di Konsesi Perkebunan Kelapa Sawit

Negara-negara tetangga mendesak Indonesia menangani asap yang muncul setiap tahun dengan memberantas pembakaran hutan. "Ekspor" asap Indonesia membuat jengkel kelompok pebisnis Malaysia. Mereka mendesak adanya tindakan tegas untuk menghentikan masalah yang bolak-balik terjadi. Pembakaran harus dijaga agar tidak mengganggu negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand. Indonesia hanya dapat menjawab melalui Menteri Perdagangan Indonesia Mari E. Pangestu bahawa upaya mencegah pembakaran lahan sudah dilakukan.

Beberapa daerah yang terjadi kebakaran dan menghasilkan asap antara lain Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah diduga berasal dari pembakaran lahan dan hutan.

Dugaan tersebut tidak terlalu salah. Investigasi dan monitoring lapangan yang dilakukan selama beberapa waktu oleh Save Our Borneo di Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah menunjukan bahwa memang terjadi kebakaran hebat dibeberapa lahan dan hutan.

Lahan dan hutan yang terbakar teridentifikasi sebagai lahan yang menjadi konsesi perkebunan kelapa sawit dan relative masih memiliki potensi tegakan hutan dan kayu yang banyak.

Menurut pantauan lapang yang dilakukan, setidaknya ada 5 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang disinyalir melakukan pembakaran lahan, baik sengaja ataupun tidak sengaja. Ironisnya, sebagain besar dari perusahaan perkebunan yang kedapatan oleh tim monitoring SOB tersebut adalah perkebunan dengan modal dan pemilik dari Malaysia yang selama ini sangat keras memprotes kiriman asap dari Indonsia.

Berikut adalah daftar perusahaan perkebunan kelapa sawit yang terdidentifikasi membakar lahannya bersamaan dengan proses land clearing yang mereka lakukan;

  1. PT. Agro Bukit / Kotawairingin Timur
  2. PT. Kerry Sawit Indonesia Estate III / Seruyan
  3. PT. Sarana Titian Permata / Seruyan
  4. PT. Hamparan Sawit Eka Malam I / Seruyan
  5. PT. Hamparan Sawit Eka Malam II / Kotim
  6. PT. Salonok Ladang Mas/Seruyan
  7. PT. Seruyan Sawit Indonesia / Seruyan

[Sumber : Investigasi lapang Save Our Borneo, tgl 24 Agt – 2 Sept 2006]

Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah lokasi-lokasi kebakaran hutan dan lahan yang terjadi berada dalam wilayah konsesi perkebunan kelapa sawit dan berada pada Kawasan Pengembangan Produksi [KPP]. Hanya saja disayangkan peta dasar untuk overlay titik-titik koordinat yang diambil oleh tim monitoring yang di overlay dengan lokasi dan nama perkebunan sudah tidak update lagi, hal ini terjadi karena adanya peralihan nama dan pemilik perusahaan sejak tahun 2003 keatas.

[Catatan : 1) PT. Tujang Jaya dan PT. Lawang Haring Permai sudah di ambil alih oleh PT. Agro Bukit; 2) PT. Salawati Makmur diambil alih oleh PT. Kerry Sawit Indonesia; PT. Rimba Harapan Sakti berubah nama menjadi PT. Seruyan Sawit Indonesia, PT. Rungau Alam Subur menjadi PT. Sarana Titian Permata]

Tim monitoring berkesempatan mengambil beberapa titik kooordinat lokasi kebakaran yang terjadi di lokasi perkebunan kelapa sawit, yaitu :

  1. PT. Agro Bukit [49m 0698818 ; UTM 9722489 dan 49m 0699897 ; UTM 9720171]
  2. PT. Kerry Sawit Indonesia Estate III [49m 0669300 ; UTM 9686389]
  3. PT. Sarana Titian Permata [49m 0669300 ; UTM 9682780, 49m 0673010 ; UTM 9689435 dan 49m 0672229 ; UTM 9679298]
  4. PT. Hamparan Sawit Eka Malam I [49m 0658769 ; UTM 9706538 dan 49m 0659594 ; UTM 9706228]
  5. PT. Hamparan Sawit Eka Malam II [49m 0690815 ; UTM 9718333]
  6. PT. Salonok Ladang Mas [Tidak sempat dideteksi / GPS kehabisan battery, laporan warga saja]
  7. PT. Seruyan Sawit Indonesia [49m 0673010 ; UTM 9689435]


3. Masyarakat Belum Bakar Ladang

Monitoring yang dilakukan oleh Save Our Borneo, dengan dukungan WWF Indonesia – FCI dilakukan pada bulan Agustus akhir sampai dengan awal September 2006. Dari hasil pemantauan lapangan dan interview yang dilakukan di beberapa kampung dan beberapa masyarakat ditemukan fakta bahwa pada musim bakar ladang belum dimulai,

Waktu terjadinya kabut asap dan kebakaran hebat di berbagai tempat di Seruyan dan Kotawaringin Timur, ternyata masyarakat peladang baru melakukan proses “meneweng” atau menebas ladang. Menurut masyarakat, sebetulnya mereka sangat rugi apabila terjadi kebakaran lebih awal dari jadwal yang mereka atur secara turun-temurun, dimana pembakaran hanya dapat dilakukan paling cepat 0,5 bulan sebelum hujan turun, bila lebih dari itu maka lahan akan ditumbuhi rumput dan lahan akan “mati” [dalam istilah mereka].

Jadi persepsi yang mengatakan bahwa kebakaran dan asap yang terjadi semata-mata akibat pembakaran ladang masyarakt sebetulnya tidak beralasan sama sekali. Bahkan kalau mau menelisik lebih cermat, sebetulnya kebakaran dan pembakaran ini memberikan keuntungan yang sangat besar kepada perusahaan perkebunan skala raksasa.

4. Land Clearing Perkebunan Kelapa Sawit

Land Clearing atau pembersihan lahan untuk perkebunan kelapa sawit yang umum dilakukan dan sesuai dengan peraturan perundangan adalah yang menggunakan system tanpa baker atau zero burning system. Pola inilah yang semestinya diterapkan oleh seluruh perekebunan kelapa sawit dimanapun di Indonesia.

Land clearing normal dimulai dengan proses penebangan pohon-pohon yang berdiameter besar yang masih ada dalam areal, yaitu pohon-pohon kayu dengan diemater antara 15 cm atau lebih. Biasanya juga termasuk tunggul-tunggul kayu lama yang sudah mati atau bekas tumbang atau bekas ditebang sebalumnya oleh perusahaan HPH atau masyarakat.
Psoses penebangan pohon-pohon dan tunggul-tunggul bekas tebangan dengan diameter 15 cm keatas ini disebut dengan istilah “tumbang”.

Tumbang tidak dilakukan langsung oleh pemegang izin perkebunan, tetapi di kerjakan oleh kontraktor, yang kemudian juga menyerahkan pekerjaan tersebut kepada sub-kontraktor lagi, yang biasanya dikerjakan oleh kelompok atau orang perorang yang berasal dari masyarakat setempat. Biaya untuk “tumbang” yang diterima oleh sub kontraktor adalah Rp. 6.000.000,- [enam juta rupiah] per blok. Dimana 1 blok memiliki luas 20 ha. Biaya 6 juta rupiah tersebut adalah biaya tertinggi, dimana biaya bisa semakin murah bila kerapatan dari semak belukar yang ada disekitar kayu besar dan kerapatan kayu besar yang akan di tumbang juga sedikit. Artinya biaya tergantung dengan tingkat kesulitan dan potensi tegakan yang akan di tumbang. Bahkan biaya bisa hanya 20% saja bila kerapatan dan kondisi lahannya relative tidak terlalu sulit.

Berikutnya land clearing berlanjut dengan proses yang disebut steaking, yaitu pembabatan habus tegakan dan semak belukar dan kayu dengan diameter lebih kecil dari 15 cm dengan menggunakan bouldozer. Biaya steaking ini dihitung dengan satuan jalur / hectare, harganya adalah 30 ribu rupiah per jalur dimana 1 ha terdiri dari 12 jalur.
Steaking merupakan pekerjaan yang disamping membabat habis [clear cutting] semua tumbuhan yang ada dilahan, kemudian mengumpulkannya menjadi baluran jalur-jalur di lahan tersebut.

Setelah dilakukan steaking, berikutnya adalah “cincang” dimana baluran jalur-jalur kayu2 baik yang ditebang dari proses tumbang ataupun dari hasil steaking di cincang dan di potong2 dengan panjang maksimum 1.5 meter, sehingga jalur-jalur baluran betul2 rapi dan kemudian di sisi jalur baluran nantinya akan ditanami dengan bibit sawit.

Berkenaan dengan proses land clearing yang demikian inilah biasa ada 2 kesempatan yang dimanfaatkan untuk menghemat biaya, yaitu, pertama sebelum dilakukan tumbang tetapi sudah dilakukan bloking, maka areal dibersihkan dahulu dengan dibakar , sehingga dapat menghemat dan mempermurah biaya untuk upah tumbang [menumbang]; kedua, adalah ketika baluran-baluran telah menajdi simpukan, maka juga dapat dibakar sehingga potongan-potongan yang mengganggu jalur tanam dapat dengan cepat dibersihkan, disampaing juga abu pembakaran dapat membuat keasam tanah berkurang.

Kedua kesempatan tersebut begitu cerdik digunakan untuk menghemat biaya produksi yang dilakukan oleh perusahaan melalui tangan-tangannya kontraktor atau dengan memperkerjakan orang khusus untuk itu. Sayangnya hal inilahn yang paling sulit dibuktikan dan di carikan saksinya untuk di bawa kedalam ranah hokum.

No comments: