Wednesday, August 04, 2010

Membuat Aturan Hukum dengan Mengangkangi Hukum


Pelanggaran Tata Ruang diselesaikan Konfromi Politik.

Palangkaraya,SOB[7.3.2009]. Seperti susah diduga sebelumnya, penyusunan RTRWP Kalimantan Tengah sarat dengan kepentingan dan kompromi-kompromi. Rekomendasi tim terpadu sangat jelas menujukan upaya mengangkangi hukum yang dilanggar dengan kompromi dalam upaya melakukan pemutihan dosa pelanggaran tata ruang.  Sayangnya rekomendasi tim ini juga diamini oleh top leader di Kalimantan Tengah yang notabane mengerti betul bahwa sekalipun langit runtuh, hukum harus ditegakan, dan ditempatkan sebagai panglima.

SOB sudah seringkali melansir bahwa ada pelanggaran tata ruang dalam penetapan ijin lokasi bahkan HGU pada perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah, tetapi apa yang dikemukakan tidak pernah menjadi pemicu untuk memacu penegakan hokum.  Alasan tidak digubrisnya peringatan SBO dapat dipastikan sebagai keberpihakan pemerintah kepada investasi besar dan semakin menjauhi rakyat kecil yang menerima dampak paling banyak atas kerusakan lingkungan akibat salah pengelolaan ruang.

Rekomendasi tim terpadu tata ruang Kalteng pada HGU dan Ijin Lokasi yang melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa ijin Menhut pada kawasan yang tidak dapat dirubah fungsinya menjadi Areal Penggunaal Lainnya [APL], maka apabila sudah menanam diberikan kesempatan 1 daur sampai masa produktif tanaman berakhir dengan kewajiban : membayar ganti rugi tegakan, melakukan penanaman kehutanan diantara tanaman kebun, membayar PSDH dan mendapatkan ijin dari pemegang  IUPHHK bila masih ada.

Rekomendasi ini jelas-jelas merupakan rekomendasi kompromistis yang disodorkan oleh investasi kelapa sawit dengan kepentingan modalnya.  Artinya apabila hal ini disetujui juga, maka tidak ada kata lain lagi bahwa tim terpadu secara sendiri-sendiri ataupun berjamaah telah melanggar kaidah hukum, dengan melakukan upaya coba-coba menerobos ranah hukum yang secara universal bersipat mengikat dan tidak dapat diganggu gugat.

Berikutnya, bila kawasan hutan dapat diubah menjadi APL, meskipun perusahaan telah mengantongi HGU dan Ijin Lokasi, maka harus menempuh prosedur tukar guling atau relokasi fungsi dengan areal pengganti, tetapi juga harus membayar ganti rugi tegakan dan melakukan reboisasi areal pengganti [apabila kawasanya tidak bertegakan].

Terobosan dagelan yang ditawarkan inipun akan jauh dari harapan, tidak akan ada ditemukan kawasan pengganti lagi, kecuali akan merampas tanah-tanah kelola rakyat yang selama inipun sudah banyak dirampas akibat persekongkolan jahat penguasa dan pengusaha.  Penegakan atas apa yang direkomendasikan inipun diduga akan mengalami hambatan serius, mengingat masa daur tanam lebih dari 20 tahun dan kemudian HGU dapat diperpanjang kembali. 

Nampaknya tim terpadu juga tidak melihat secara jeli UU No. 18/2004 tentang Perkebunan yang apabia telah diberikan HGU, maka HGU dapat diperpanjang lagi, ini tentunya pada saatnya akan menimbulkan masalah dikemudian hari.  Sangat tidak patut dan tidak etis rezim saat ini meninggalkan beban pada rezim yang akan datang akibat kepentingan kompromistis konco-konco pekebun sawit saja.

Bahwa tim terpadu secara jelas-jelas sudah menangkap indikasi adanya pelanggaran yuridis berupa kegiatan penggunaan/pemanfaatan kawasan hutan dan okupasi atau pendudukan kawasan hutan.  Sayangnya dengan alasan harus melihat pelanggaran dari multi dimensi, dimana juga perkebunan sawit harus dilihat dari aspek tehnis, sosekbub dan yuridis, maka dibangun alasan untuk tidak serta merta menjadi masalah hukum.

Tim terpadu menyebutkan bahwa ada kesulitan dalam penegakan hukum secara konvensional dan dianggap tidak akan memecahkan masalah berupa konflik kawasan, maka perlu dilakukan “terobosan hukum” sebagai payung hukum yang kuat.  Terobosan inilah yang berupa deal politik, yang dipastikan bahwa kebijakan ini telah mengesampingkan dan mengangkangi penegakan hukum.

Dalam pandangan SOB, tidak ada dan tidak sepatutnya ada kompromi atau deal politis akibat perkoncoan dalam penataan ruang milik seluruh rakyat ini.  Tidak ada kata lain selain menegakan hukum dan menjadikannya panglima agar rezim pemerintahan sekarang tidak meninggalkan beban konflik dan masalah pada rezim-rezim berikutnya.

Kalau mau sepakat hokum dijadikan panglima dan tidak hanya panglma bagi rakyat kecil saja, maka pejabat-pejabat pemberi ijin yang menyalahi tata ruang-pun harus ditindak berdasarkan hukum, tidak boleh pilih kasih.

SOB mendesak agar proses hokum dikedepankan dalam penanganan tata ruang yang sadah terlanjur carut-marut akibat pemberian ijin yang serampangan dan untuk memetik keuntungan segelintir pejabat saja.   Gubernur sebagai salah satu garda penegakan hokum harusnya mendorong arah ini, bukan malah mendorong penyelesaian kompromistis yang bisa saja mengakibatkan masalah yang lebih besar dikemudian hari

No comments: