Wednesday, August 04, 2010

Green Province; Wacana Pemerah Bibir ?

Masih belum hilang dari ingatan kita pencanangan [atleast adalah rencana] Kalimantan Tengah untuk menjadi green province oleh Gubernur Agustin Teras Narang, SH. menyusul beberapa propinsi lain di Indonesia dan trend internasional.

Sebagai pengingat pertama harus jernih dulu apa latar belakang pencanangan ini, tentu bukan dimaksudkan untuk gagah-gagahan atau karena “dipaksa” arus trend global, melainkan karena adanya kesadaran bahwa saat ini situasi lingkungan dan pembangunan yang telah terjadi dan dilakukan sangat tidak ramah lingkungan dan jauh dari prinsip keberlanjutan.  Jika karena alasan-alasan lain, maka tentu saja orientasi langkah gerak yang akan dilakukan kedepanpun akan sangat jauh dari harapan, karena hanya akan memunculkan green yang artificial saja [dibuat-buat/seolah-olah untuk performa semata].

Green development oleh [setidaknya] provinsi yang mencanangkannya haruslah disertai dengan upaya menyusun kerangka kerja – sekali lagi konkritkan dengan kerangka kerja, bukan cuma oral service - menuju propinsi dengan visi sustainable development (pembangunan berkelanjutan), alias propinsi ‘hijau.’   Hal ini, seperti ulasan awal diatas mesti dilandasi kesadaran bahwa sebelum ini, selama puluhan tahun membangun negeri, manusia dan alam seakan menjadi dua kubu bermusuhan untuk saling memusnahkan. Akibatnya, kini tiba-tiba kita sadar masalah lingkungan terlanjur parah. Lihat Jakarta, Surabaya, Medan dan kota-kota lain ‘hampir gila’ mengatasi masalah transportasi, kelangkaan air bersih, sanitasi, polusi, kepadatan penduduk, dan lain-lain yang memicu munculnya masalah baru seperti kesehatan, kemiskinan, kriminalitas, bencana banjir dan sebagainya.

Gub/Wagub atau Cagub/Cawagub Kalteng dan masyarakat pemilih saat ini harus mulai mempertimbangkan “pembangunan berkelanjutan” sebagai konsep pembangunan baru di bumi nan kaya ini. Pembangunan berkelanjutan, bukan hanya berkelanjutan dari aspek produksi, melainkan juga harus berkelanjutan [tepatnya disebut lestari] secara social dan environmental yang berdasarkan keadilan rakyat.

Sebuah propinsi ‘hijau’ yang menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan harus memahami bahwa manusia dan lingkungan hidup berada di sebuah ‘wadah’ yang kini telah rapuh.  Wadah itu ialah ekosistem alias lingkungan sekitar.  Menurut definisi United Nation Environment Program – UNEP (1991), pembangunan berkelanjutan ialah strategi yang menjamin peningkatan kualitas hidup manusia di bumi sembari mempertahankan daya dukung dan keanekaragaman ekosistem.

Dengan beda redaksi, Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan mengatakan bahwa pembangunan berkelanjutan mesti menjamin terpenuhinya kebutuhan manusia di masa kini, tanpa mengurangi (apalagi menghapuskan) peluang generasi nanti memenuhi kebutuhan mereka secara adil.

Definisi di atas menjadi syarat pembangunan berkelanjutkan agar dapat mengacu dan tunduk pada tiga prinsip dasar, yaitu terjaminnya pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan sosial, dan keselamatan lingkungan hidup.  Dalam bahasa sederhana bolehlah dikatakan sebagai pembangunan yang memberikan kesejahteraan ekonomi dan sosial bagi masyarakat, tapi lingkungan hidup tetap terpelihara dan asset alam terdistribusi secara adil kepada segenap rakyat.

Ironisnya, pembangunan yang dijalankan selama ini terlanjur unsustainable (tidak berkelanjutan).  Rakyat selalu disuguhi ‘menu’ rutin [sehingga hampir bukan lagi dianggap tragedy] konflik social dan konflik lahan, bencana ekologi banjir dan kekeringan serta kebakaran hutan, dan yang terpenting ketidak-adilan distribusi asset alam yang dilakukan secara sistemik dan sengaja oleh pengambil kebijakan yang tidak mampu memberikan jaminan keamanan dan keselamatan kepada rakyat.

Green province harus memaksa secara sistematis orientasi pembangunan untuk berubah dari pendekatan yang dijalankan selama ini [kalau tidak mau disebut cuma lips service] menjadi berwawasan keadilan dan keberlanjutan serta taat asas legal [yang peraturannya sendiripun juga harus mencerminkan keadilan dan keberlanjutan]. 

Kebijakan dan orientasi pemerintah yang exploitative terhadap sumber daya tanpa memikirkan masa depan tidak dapat disebut pembangunan berkelanjutan. Semua asset alam seolah-olah harus dikeruk saat ini juga karena besok akan kiamat.  Akibatnya maka peningkatan jumlah investasi [cenderung divestasi] tak terkendali kelayakan dan kepatutannya, bahkan bermunculan pengusaha karbit dan tidak punya kapasitas yang mendapatkan lisensi dimana-mana.

Bulldozer bertebaran dimana-mana disegenap pelosok rimba, merusak ekosistem, menumbangkan pohon-pohon yang diperlukan menjaga kualitas udara dan menyimpan air bersih, krisis energi listrik jawab dengan pembangkit listrik yang digerakan dengan bahan bakar tidak ramah lingkungan.  Padahal seiring jumlah populasi yang semakin meningkat, jumlah penduduk dan kebutuhannya bertambah cepat juga.  Sementara alat produksi komunitas-komunitas local dipelosok semakin tergerus akibat penguasaan oleh oligopoly modal [bahkan modal asing].  Akibatnya kemiskinan, kerawanan pangan dan potensi ancaman bencana ekologi yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi semakin tidak dapat dihindari oleh negara dan rakyat.

Berbagai tragedi diatas sesungguhnya bisa diantisipasi dengan mengubah orientasi pembangunan menjadi pembangunan berkelanjutan ramah lingkungan dan ramah sosial. Namun  diskursus ini menjadi sia-sia jika dipisahkan dari ranah politik. Tanpa dukungan politik, sebuah konsep tidak pernah menjadi kebijakan mengikat. Inilah saatnya berharap pada pemimpin, tanpa bermaksud mengatakan pemimpin akan menjalankan pembangunan berkelanjutan sendirian.  Tapi dari pemimpin diharapkan muncul sebuah awal yang tidak hanya pemanis bibir ketika berpidato didepan publik.

Kalteng dan para pimpinan politiknya dapat berkontribusi positif bagi upaya penyelamatan bumi dan lingkungan hidup demi kelangsungan hidup serta kehidupan alam untuk masa kini dan masa depan.  Rakyat Kalteng juga yakin akan mendukung itu karena beberapa ajaran dan nilai yang merupakan kearifan lokal, mempunyai  konsep keseimbangan hidup yang sangat relevan diaktualisasikan.

Saat ini tinggal menunggu langkah penting para pimpinan politik dalam menindak lanjuti cuap-cuapnya soal green province, jangan sampai hanya menjadi gincu pemerah bibir.  Tentu saja dengan konsekuensinya, Pemerintah Provinsi dan pimpinan politik Kalteng harus mencanangkan, menyusun dan mengaktualisasikan  beberapa program penting namun realistic yang akan mendukung Kalteng sebagai the Green Province.

*) Sehari-hari aktif sebagai Direktur Save Our Borneo dan Dewan Nasional WALHI

No comments: