DIPERSEMBAHKAN UNTUK RAKYAT YANG TERTINDAS DAN TERCERABUT HAK-HAKNYA ATAS SUMBER-SUMBER KEHIDUPAN. SEGERALAH MENGORGANISIR DIRI DALAM KELOMPOK-KELOMPOK UNTUK MELAWAN !!
Wednesday, August 04, 2010
SAWIT DIDANAU SEMBULUH, BRUTALISME LINGKUNGAN
Polres Kotim Harus Segera Tangkap Pelaku Penistaan Kuburan Warga
“ Laporan Warga Lamban Diresponse”
Palangkaraya, [saveourborneo]. Laporan Penggusuran dan Pengrusakan Kuburan yang disampaikan oleh 2 ahli waris kepada Polres Kotim Umbung Bin Jahan dan Tarang bin Udil pada Januari 2009 lalu nampaknya belum direspon serius oleh Polres Kotim, terbukti sampai saat sekarang Polres Kotim belum menetapkan tersangka atas perbuatan penistaan kuburan tersebut yang dilakukan oleh PT. MUSTIKA SEMBULUH.
Umbung dan Tarang telah mengadukan pengrusakan kuburan orangtua dan kerabat mereka yang terjadi di desa Tanah Putih Kecamatan Talawang pada sekitar 2005 lalu ke Polres Kotim yang dituangkan dalam Laporan Polisi Nomor : LP/41/K/I/2009/KA SPK dan LP/42/K/I/2009/KA SPK yang diterima oleh Penyidik Briptu A. Arianto NRP. 79120317 dan diketahui oleh KA SPK Polres Kotim IPDA Martua Pane NRP. 55090137.
Sayangnya sampai sekarang laporan tersebut belum jelas tindak lanjutnya, dan nampak Polisi sangat segan dan enggan menetapkan PT. Mustika Sembuluh sebagai tersangka. Padahal sudah sangat jelas bahwa penggusuran dan penistaan kuburan warga Kaharingan tersebut dilakukan oleh operasional PT. Mustika Sembuluh pada sekitar tahun 2005 berlokasi di areal kebun sawit PT.MUSTIKA SEMBULUH estate III.
Save Our Borneo merasa prihatin dengan kinerja Polres Kotim yang sangat lambat dan terkesan ogah-ogahan jika memproses hokum pada perusahaan besar, tetapi sangat getol apabila mengambil tindakan pada warga yang mempertahankan lahannya yang bersengketa dengan perusahaan besar.
Kinerja demikian menunjukan bahwa hokum masih belum menajdi bagian dari perlidungan terhadap rakyat kebanyakan, melainkan melindungi investasi dan modal serta uang segelintir orang saja.
Save Our Borneo mendesar agar Polres Kotim sesegeranya menindak perusahaan yang melakukan penistaan kuburan warga, melecehkan harkat dan martabat warga bangsa dan agama.
Membuat Aturan Hukum dengan Mengangkangi Hukum
Pelanggaran Tata Ruang diselesaikan Konfromi Politik.
Palangkaraya,SOB[7.3.2009]. Seperti susah diduga sebelumnya, penyusunan RTRWP Kalimantan Tengah sarat dengan kepentingan dan kompromi-kompromi. Rekomendasi tim terpadu sangat jelas menujukan upaya mengangkangi hukum yang dilanggar dengan kompromi dalam upaya melakukan pemutihan dosa pelanggaran tata ruang. Sayangnya rekomendasi tim ini juga diamini oleh top leader di Kalimantan Tengah yang notabane mengerti betul bahwa sekalipun langit runtuh, hukum harus ditegakan, dan ditempatkan sebagai panglima.
SOB sudah seringkali melansir bahwa ada pelanggaran tata ruang dalam penetapan ijin lokasi bahkan HGU pada perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah, tetapi apa yang dikemukakan tidak pernah menjadi pemicu untuk memacu penegakan hokum. Alasan tidak digubrisnya peringatan SBO dapat dipastikan sebagai keberpihakan pemerintah kepada investasi besar dan semakin menjauhi rakyat kecil yang menerima dampak paling banyak atas kerusakan lingkungan akibat salah pengelolaan ruang.
Rekomendasi tim terpadu tata ruang Kalteng pada HGU dan Ijin Lokasi yang melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa ijin Menhut pada kawasan yang tidak dapat dirubah fungsinya menjadi Areal Penggunaal Lainnya [APL], maka apabila sudah menanam diberikan kesempatan 1 daur sampai masa produktif tanaman berakhir dengan kewajiban : membayar ganti rugi tegakan, melakukan penanaman kehutanan diantara tanaman kebun, membayar PSDH dan mendapatkan ijin dari pemegang IUPHHK bila masih ada.
Rekomendasi ini jelas-jelas merupakan rekomendasi kompromistis yang disodorkan oleh investasi kelapa sawit dengan kepentingan modalnya. Artinya apabila hal ini disetujui juga, maka tidak ada kata lain lagi bahwa tim terpadu secara sendiri-sendiri ataupun berjamaah telah melanggar kaidah hukum, dengan melakukan upaya coba-coba menerobos ranah hukum yang secara universal bersipat mengikat dan tidak dapat diganggu gugat.
Berikutnya, bila kawasan hutan dapat diubah menjadi APL, meskipun perusahaan telah mengantongi HGU dan Ijin Lokasi, maka harus menempuh prosedur tukar guling atau relokasi fungsi dengan areal pengganti, tetapi juga harus membayar ganti rugi tegakan dan melakukan reboisasi areal pengganti [apabila kawasanya tidak bertegakan].
Terobosan dagelan yang ditawarkan inipun akan jauh dari harapan, tidak akan ada ditemukan kawasan pengganti lagi, kecuali akan merampas tanah-tanah kelola rakyat yang selama inipun sudah banyak dirampas akibat persekongkolan jahat penguasa dan pengusaha. Penegakan atas apa yang direkomendasikan inipun diduga akan mengalami hambatan serius, mengingat masa daur tanam lebih dari 20 tahun dan kemudian HGU dapat diperpanjang kembali.
Nampaknya tim terpadu juga tidak melihat secara jeli UU No. 18/2004 tentang Perkebunan yang apabia telah diberikan HGU, maka HGU dapat diperpanjang lagi, ini tentunya pada saatnya akan menimbulkan masalah dikemudian hari. Sangat tidak patut dan tidak etis rezim saat ini meninggalkan beban pada rezim yang akan datang akibat kepentingan kompromistis konco-konco pekebun sawit saja.
Bahwa tim terpadu secara jelas-jelas sudah menangkap indikasi adanya pelanggaran yuridis berupa kegiatan penggunaan/pemanfaatan kawasan hutan dan okupasi atau pendudukan kawasan hutan. Sayangnya dengan alasan harus melihat pelanggaran dari multi dimensi, dimana juga perkebunan sawit harus dilihat dari aspek tehnis, sosekbub dan yuridis, maka dibangun alasan untuk tidak serta merta menjadi masalah hukum.
Tim terpadu menyebutkan bahwa ada kesulitan dalam penegakan hukum secara konvensional dan dianggap tidak akan memecahkan masalah berupa konflik kawasan, maka perlu dilakukan “terobosan hukum” sebagai payung hukum yang kuat. Terobosan inilah yang berupa deal politik, yang dipastikan bahwa kebijakan ini telah mengesampingkan dan mengangkangi penegakan hukum.
Dalam pandangan SOB, tidak ada dan tidak sepatutnya ada kompromi atau deal politis akibat perkoncoan dalam penataan ruang milik seluruh rakyat ini. Tidak ada kata lain selain menegakan hukum dan menjadikannya panglima agar rezim pemerintahan sekarang tidak meninggalkan beban konflik dan masalah pada rezim-rezim berikutnya.
Kalau mau sepakat hokum dijadikan panglima dan tidak hanya panglma bagi rakyat kecil saja, maka pejabat-pejabat pemberi ijin yang menyalahi tata ruang-pun harus ditindak berdasarkan hukum, tidak boleh pilih kasih.
SOB mendesak agar proses hokum dikedepankan dalam penanganan tata ruang yang sadah terlanjur carut-marut akibat pemberian ijin yang serampangan dan untuk memetik keuntungan segelintir pejabat saja. Gubernur sebagai salah satu garda penegakan hokum harusnya mendorong arah ini, bukan malah mendorong penyelesaian kompromistis yang bisa saja mengakibatkan masalah yang lebih besar dikemudian hari
"Perlakuan Terhadap Buruh Perkebunan Masih Tidak Manusiawi”
Dibalik tregady Tewas massal Buruh Musimas Group
Saveourborneo, Palangkaraya [24/08/09]. Tewasnya lebih dari 2 lusin secara massal buruh perkebunan kelapa sawit PT. Maju Aneka Sawit [Musimas Group] secara mengenaskan merupakan puncak dari perlakuan tidak manusiawi management perkebunan kelapa sawit terhadap buruhnya.
Buruh-buruh yang seharusnya diperlakukan sebagai bagian yang berkonstribusi besar terhadap kemajuan perkebunan dipelakukan layaknya hewan dengan diangkut truk-truk, bahkan tidak jarang didalam perkebunan buruh hanya diangkut dengan triler gandeng yang di derek oleh traktor.
Management perkebunan bukannya tidak tahu bahwa angkutan buruh yang hanya menggunakan truk dan triler gandeng tersebut tidak beresiko tinggi, tetapi hal ini tetap dilakukan oleh management untuk terus menerus menekan biaya agar dapat memetik keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan keselamatan dan kesejahteraan buruh.
Ironisnya, Dinas Tenaga Kerja dan Pemerintah daerah secara umum, sangat kurang peduli dengan situasi yang telah berlarut-larut dari tahun ketahun, bahkan sampai dengan terjadinya tragedy tewas massal pada tanggal 18 Agustus 2009 tetap saja response yang diberikan sekedar response normative tanpa tindakan. Menyedihkan adalah justru yang dijadikan “kambing hitam” hanya buruh kecil – sopir- saja, bukannya dianggap sebagai kelalaian structural management yang mengeluarkan kebijakan pengangkutan dengan truk kepada buruhnya.
Save Our Borneo telah sangat banyak mencermati berbagai perkebunan kelapa sawit diseluruh Kalimantan, sebagian besar –bahkan hampir seluruhnya- memperlakukan angkutan buruh seperti mengangkut hewan saja.
Kedepan, Save Our Borneo menegaskan hendaknya Dinas Tenaga Kerja dan Pemda untuk betul-betul melakukan kontrol atas keselamatan dan kesejahteraan buruh. Penggunaan angkutan buruh dengan alat angkutan yang tidak memenuhi kaidah keselamatan harus dilarang disetiap jengkal tanah di Kalimantan, termasuk Kalimantan Tengah. Jangan sampai pemerintah justru menjadi pelindung kejahatan korporasi yang tidak manusiawi seperti saat sekarang.
Oleh karena itu Save Our Borneo meminta secara terbuka kepada Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah untuk :
“SOB : Konversi Hutan Kalteng Sudah Brutal”
Pemerintah Lakukan Pembiaran Kejahatan Kehutanan
Palangkaraya [15.02.10] Alih fungsi sekaligus pembabatan hutan untuk perkebunan kelapa sawit dibeberapa tempat di Kalimantan Tengah sudah dilakukan secara brutal dan dapat dikatagorikan sebagai penghancuran alam secara sistematis dan terorganisir.
Ironisnya pembabatan hutan untuk perkebunan kelapa sawit ini tidak didasari legalitas yang memadai seperti ijin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan, tetapi aktivitas pembabatan bersih [clear cutting] tetap saja dijalankan.
Save Our Borneo yang melakukan dua kali monitoring di sekitar Kapaus Tengah mengindikasikan bahwa setidaknya ada 3 PBS sawit yang sedang melakukan aktivitas pembukaan hutan berpotensi tinggi secara brutal, yaitu PT. Wana Catur Jaya Utama [BW Plantation Group] dan PT. Kapuas Maju Jaya dan PT. Dwie Warna Karya [keduanya adalah milik Group Asiatic Sdn Bhd-Malaysia].
PT. WCJU dengan ijin lokasi sekitar 12.500 ha, PT. KMJ dan PT. DWK masing-masing sekitar 17.500 ha sampai saat ini diindikasi hanya baru mengantongi ijin lokasi dari Bupati Kapuas, tanpa ijin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan. Anehnya semuanya dapat melenggang mudah untuk melakukan pembukaan kawasan hutan secara illegal tanpa ada teguran apalagi sanksi dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Nampaknya organisasi mafia kehutanan dalam situasi ini betul-betul telah menguasai aktivitas haram demikian.
Lokasi-lokasi ketiga PBS tersebut dapat dipastikan berada dalam kawasan hutan, karena keberadaannya bertumpang tindih dengan eks HPH PT. Dahian Timber dan PT. Kayu Mas Ratu. Sementara sampai saat ini tidak terdapat adanya Ijin Pemanfaatan Kayu [IPK] yang beraktivitas sebagai inidikasi adanya ijin pelepasan kawasan hutan yang diberikan oleh Kementerian Kehutanan. Itulah sebabnya ketiga PBS sawit ini menimbun, membuang dan menghancurkan kayu-kayu yang ada dikonsesinya untuk menghilangkan barang bukti dan sebagai akibat tidak adanya pelapasan kawasan hutan yang kayunya seyogiyanya dimanfaatkan melalui IPK.
SOB memperkirakan kerugian negara akibat dibabatnya hutan tanpa dimanfaatkan potensi hasil diatasnya ini mencapai ratusan milyar rupiah. Dalam pemantauan yang dilakukan, kawasan hutan yang di babat setidaknya mempunyai potensi 25 M3 kayu komersial berbagai jenis ; meranti, kruing, kempas bahkan ulin.
Penghitungan kasar kerugian negara dari sebuah PBS dapat dikalkulasi secara sederhana, dimana jika diasumsikan 25 M3 per ha dengan luas sebuah PBS rata-rata 20.000 ha, maka potensi [cuma] kayunya mencapai 500.000 M3. Pendapatan negara yang hilang setidaknya adalah dari PSDH sebesar 500.000 X Rp. 125.000,- dan pungutan DR sebesar 500.000 X US$ 16. Itu semua mencapai Rp. 62.5 M [PSDH] dan US$ 8 juta atau sekitar Rp. 76 M. Sehingga dari potensi kayu pada sebuah PBS saja kehilangan pendapatan negara mencapai kisaran Rp. 141.5 M. Luar biasa, dan ini hanya dari potensi kayu yang hilang karena dipendam, dibakar, dibuang, ditumpuk, dicuri atau dipakai secara gratis oleh PBS untuk perumahan, jembatan serta keperluan lainnya.
Melihat potensi kerugian negara yang sedemikian besar dan telah dirampok secara illegal dengan dukungan birokrasi yang korup dan kolutif, maka sepantasnya otoritas hukum dan otoritas berwenang yang mempunyai kapsitas untuk itu mengambil langkah-langkah penghentian perampokan potensi negara.
Para Bupati dan Gubernur harus dapat menuntaskan kasus perampokan kawasan hutan ini. Adalah sia-sia upaya rehabilitasi lahan dengan program one man one tree jika dibalik itu ada milyaran pokok kayu dibabat secara sporadis dan diberikan persetujuan oleh pemerintah.
Pembiaran-pembiaran yang telah dilakukan selama ini dapat diduga karena adanya hubungan mutualistis dan pemanfaatan pemrakarsa perkebunan dijadikan sebagai “ATM” bagi kelembagaan politik dan pejabat pemerintah. Ketidak tertiban pemegang ijin dan kenakalan dengan melakukan aktivitas illegal tanpa perijinan yang memadai tidak mungkin dapat berjalan jika pemerintah daerah dan aparatusnya bersama dengan apparatus hukum tidak melakukan pembiaran.
Save Our Borneo yang bergabung bersama Koalisi Anti Mafia Kehutanan telah dan terus akan melakukan upaya-upaya membendung deforastasi koruptif. SOB bersama ICW, Silvagama, WALHI, Jikalahari, FWI dan mitra lainnya terus akan memantau dan melaporkan kejahatan kehutanan ini kepada KPK, karena hanya KPK-lah yang sampai saat ini masih bisa diharapkan, selebihnya meragukan.
“ Pelepasan Kawasan Hutan Bertendensi Politis”
Palangkaraya-[19.4.2010]. Pemberian ijin rekomendasi pelepasan kawasan hutan dan pinjam pakai kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit dan Kuasa Pertambangan oleh Gubernur Kalimantan Tengah A. Teras Narang pada awal Februari 2010 lalu ditengarai sarat dengan tendensi politis.
Setidaknya ada dua kemungkinan tendensi politis yang menyertai pemberian ijin tersebut, pertama adalah politik pencitraan akomodatif terhadap investor yang dapat mendukung menggerakan suara para buruhnya pada Pilkada Juni mendatang dan kedua adalah dukungan financial sebagai balas jasa disetujuinya rekomendasi tersebut untuk keperluan kampaye.
Dugaan tersebut bukan tanpa alasan, karena selama 4 tahun pemerintahan Teras Narang sebagai Gubernur Kalimantan Tengah, yang bersangkutan tidak pernah menyetujui rekomendasi atas pelepasan dan pinjam pakai kawasan hutan dengan alasan bahwa RTRWP masih bermaslah dan seperti yang dikemukakannya bahwa selama RTRWP masih belum selesai Teras Narang tidak akan menyetujui rekomendasi tersebut.
Gubernur Kalimantan Tengah [A. Teras Narang] dengan sangat lantang menyatakan tidak akan memberikan persetujuan untuk perubahan kawasan hutan/ alih fungsi sebelum adanya pengesahan definitive atas peruntukan kawasan hutan yang dilegalisir melalui perda RTRWP Kalimantan Tengah yang masih sedang berproses dan mengalami masalah ketidak sinkronan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Untuk itu gubernur menerbitkan surat edaran No.522.11/1089/Ek tanggal 3 juli 2007 yang disampaikan kepada Bupati se Kalimantan tengah untuk menangguhkan semua bentuk perijinan sebelum ada penunjukan kawasan hutan oleh menhut dan disahkanya perubahan atas PERDA NO.3 tahun 2003 tentang RTRWP Kalteng.
Faktanya pada Februari 2010 lalu 77 rekomendasi untuk pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit dan 125 rekomendasi pinjam pakai kawasan hutan telah ditanda tangani oleh gubernur, tidak berapa hari menjelang pendaftaran calon gubernur Kalteng di KPU Kalteng.
Sejatinya, dengan perkembangan yang ada dimana telah diketahui bahwa banyak pembukaan kawasan hutan tidak sesuai dengan koridor hokum yang berlaku, dimana hutan dibuka tanpa ijin pelepasan kawasan hutan, maka gubernur harusnya lebih bijak dan hati-hati menyikapi ini. Kepada izin yang dikeluarkan setelah surat Kepala Baplan dicabut oleh oleh Menhut berdasarkan surat No. S.575/Menhut-II/2006 tanggal 11 September 2006 harusnya tidak diberikan rekomendasi. Demikian juga ijin-ijin yang sebelumnya dan ditengarai bermasalah karena juga melanggar TGHK dan atau RTRWP 8/2003.
Nampak jelas sikap gambling dalam memberikan ijin rekomendasi ini, dimana karena ini menyangkut pelepasan, bila disetujui berarti perkebunan dan pertambangan yang diberikan rekomendasi dapat berjalan, namun kalaupun tidak setujui belum tentu berarti ada proses pencabutan izin.
WALHI Kalimantan Tengah dan Save Our Borneo, betul-betul menyatakan keprihatinan atas ketidak cermatan dan upaya “gambling” yang dilakukan oleh Gubernur Kalimantan Tengah, hal ini bisa menimbulkan masalah baru karena kelompok pengusaha akan mempunyai expektasi yang lebih tinggi lagi, padahal sejak awalnya lokasi-lokasi yang direkomendir bermasalah secara hukum dan tidak memperhatikan daya dukung ekologi.
Disamping itu, sampai saat ini juga RTRWP Kalteng belum definitive, juga belum ada Kajian Lingkungan Hidup Strategis seperti yang diamatkan oleh UU PPLH No. 32/2009. Sikap kebelet ini mencurigakan sebagai upaya mencari kesempatan momentum menjelang Pilkada dalam rangka menggalang dukungan, baik dukungan politis maupun dukungan financial.
Save Our Borneo dan WALHI Kalimantan Tengah akan terus mengupayakan perlawanan atas upaya perusakan dan penghancuran hutan, SOB dan WALHI Kalteng dan meminta Kemenhut untuk menolak pemberian ijin pelepasan untuk perkebunan kelapa sawit dan pijam pakai kawasan hutan untuk KP tambang.
Jika dikaitkan dengan komitment presiden SBY yang memasang target pengurangan emisi karbon akibat deforestasi sebesar 26% pada 2010 nanti, maka persetujuan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit dan pertambangan jelas-jelas sangat bertolak belakang dan kontra produktif. Maknanya, pemerintah daerah masih jauh dari komitmen untuk menyelamatkan lingkungan, menghindari bencana ekologi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara imbang antara ekonomi dan lingkungan.
###
Green Province; Wacana Pemerah Bibir ?
Masih belum hilang dari ingatan kita pencanangan [atleast adalah rencana] Kalimantan Tengah untuk menjadi green province oleh Gubernur Agustin Teras Narang, SH. menyusul beberapa propinsi lain di Indonesia dan trend internasional.
Sebagai pengingat pertama harus jernih dulu apa latar belakang pencanangan ini, tentu bukan dimaksudkan untuk gagah-gagahan atau karena “dipaksa” arus trend global, melainkan karena adanya kesadaran bahwa saat ini situasi lingkungan dan pembangunan yang telah terjadi dan dilakukan sangat tidak ramah lingkungan dan jauh dari prinsip keberlanjutan. Jika karena alasan-alasan lain, maka tentu saja orientasi langkah gerak yang akan dilakukan kedepanpun akan sangat jauh dari harapan, karena hanya akan memunculkan green yang artificial saja [dibuat-buat/seolah-olah untuk performa semata].
Green development oleh [setidaknya] provinsi yang mencanangkannya haruslah disertai dengan upaya menyusun kerangka kerja – sekali lagi konkritkan dengan kerangka kerja, bukan cuma oral service - menuju propinsi dengan visi sustainable development (pembangunan berkelanjutan), alias propinsi ‘hijau.’ Hal ini, seperti ulasan awal diatas mesti dilandasi kesadaran bahwa sebelum ini, selama puluhan tahun membangun negeri, manusia dan alam seakan menjadi dua kubu bermusuhan untuk saling memusnahkan. Akibatnya, kini tiba-tiba kita sadar masalah lingkungan terlanjur parah. Lihat Jakarta, Surabaya, Medan dan kota-kota lain ‘hampir gila’ mengatasi masalah transportasi, kelangkaan air bersih, sanitasi, polusi, kepadatan penduduk, dan lain-lain yang memicu munculnya masalah baru seperti kesehatan, kemiskinan, kriminalitas, bencana banjir dan sebagainya.
Gub/Wagub atau Cagub/Cawagub Kalteng dan masyarakat pemilih saat ini harus mulai mempertimbangkan “pembangunan berkelanjutan” sebagai konsep pembangunan baru di bumi nan kaya ini. Pembangunan berkelanjutan, bukan hanya berkelanjutan dari aspek produksi, melainkan juga harus berkelanjutan [tepatnya disebut lestari] secara social dan environmental yang berdasarkan keadilan rakyat.
Sebuah propinsi ‘hijau’ yang menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan harus memahami bahwa manusia dan lingkungan hidup berada di sebuah ‘wadah’ yang kini telah rapuh. Wadah itu ialah ekosistem alias lingkungan sekitar. Menurut definisi United Nation Environment Program – UNEP (1991), pembangunan berkelanjutan ialah strategi yang menjamin peningkatan kualitas hidup manusia di bumi sembari mempertahankan daya dukung dan keanekaragaman ekosistem.
Dengan beda redaksi, Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan mengatakan bahwa pembangunan berkelanjutan mesti menjamin terpenuhinya kebutuhan manusia di masa kini, tanpa mengurangi (apalagi menghapuskan) peluang generasi nanti memenuhi kebutuhan mereka secara adil.
Definisi di atas menjadi syarat pembangunan berkelanjutkan agar dapat mengacu dan tunduk pada tiga prinsip dasar, yaitu terjaminnya pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan sosial, dan keselamatan lingkungan hidup. Dalam bahasa sederhana bolehlah dikatakan sebagai pembangunan yang memberikan kesejahteraan ekonomi dan sosial bagi masyarakat, tapi lingkungan hidup tetap terpelihara dan asset alam terdistribusi secara adil kepada segenap rakyat.
Ironisnya, pembangunan yang dijalankan selama ini terlanjur unsustainable (tidak berkelanjutan). Rakyat selalu disuguhi ‘menu’ rutin [sehingga hampir bukan lagi dianggap tragedy] konflik social dan konflik lahan, bencana ekologi banjir dan kekeringan serta kebakaran hutan, dan yang terpenting ketidak-adilan distribusi asset alam yang dilakukan secara sistemik dan sengaja oleh pengambil kebijakan yang tidak mampu memberikan jaminan keamanan dan keselamatan kepada rakyat.
Green province harus memaksa secara sistematis orientasi pembangunan untuk berubah dari pendekatan yang dijalankan selama ini [kalau tidak mau disebut cuma lips service] menjadi berwawasan keadilan dan keberlanjutan serta taat asas legal [yang peraturannya sendiripun juga harus mencerminkan keadilan dan keberlanjutan].
Kebijakan dan orientasi pemerintah yang exploitative terhadap sumber daya tanpa memikirkan masa depan tidak dapat disebut pembangunan berkelanjutan. Semua asset alam seolah-olah harus dikeruk saat ini juga karena besok akan kiamat. Akibatnya maka peningkatan jumlah investasi [cenderung divestasi] tak terkendali kelayakan dan kepatutannya, bahkan bermunculan pengusaha karbit dan tidak punya kapasitas yang mendapatkan lisensi dimana-mana.
Bulldozer bertebaran dimana-mana disegenap pelosok rimba, merusak ekosistem, menumbangkan pohon-pohon yang diperlukan menjaga kualitas udara dan menyimpan air bersih, krisis energi listrik jawab dengan pembangkit listrik yang digerakan dengan bahan bakar tidak ramah lingkungan. Padahal seiring jumlah populasi yang semakin meningkat, jumlah penduduk dan kebutuhannya bertambah cepat juga. Sementara alat produksi komunitas-komunitas local dipelosok semakin tergerus akibat penguasaan oleh oligopoly modal [bahkan modal asing]. Akibatnya kemiskinan, kerawanan pangan dan potensi ancaman bencana ekologi yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi semakin tidak dapat dihindari oleh negara dan rakyat.
Berbagai tragedi diatas sesungguhnya bisa diantisipasi dengan mengubah orientasi pembangunan menjadi pembangunan berkelanjutan ramah lingkungan dan ramah sosial. Namun diskursus ini menjadi sia-sia jika dipisahkan dari ranah politik. Tanpa dukungan politik, sebuah konsep tidak pernah menjadi kebijakan mengikat. Inilah saatnya berharap pada pemimpin, tanpa bermaksud mengatakan pemimpin akan menjalankan pembangunan berkelanjutan sendirian. Tapi dari pemimpin diharapkan muncul sebuah awal yang tidak hanya pemanis bibir ketika berpidato didepan publik.
Kalteng dan para pimpinan politiknya dapat berkontribusi positif bagi upaya penyelamatan bumi dan lingkungan hidup demi kelangsungan hidup serta kehidupan alam untuk masa kini dan masa depan. Rakyat Kalteng juga yakin akan mendukung itu karena beberapa ajaran dan nilai yang merupakan kearifan lokal, mempunyai konsep keseimbangan hidup yang sangat relevan diaktualisasikan.
Saat ini tinggal menunggu langkah penting para pimpinan politik dalam menindak lanjuti cuap-cuapnya soal green province, jangan sampai hanya menjadi gincu pemerah bibir. Tentu saja dengan konsekuensinya, Pemerintah Provinsi dan pimpinan politik Kalteng harus mencanangkan, menyusun dan mengaktualisasikan beberapa program penting namun realistic yang akan mendukung Kalteng sebagai the Green Province.