Masyarakat adat selalu terpojokkan dan terintimidasi keberadaannya oleh pemerintah. Hak ulayat yang dimiliki adat selalu terkalahkan oleh kepentingan ekonomi dan politik. Perekonomian masyarakat adat yang semula berbasis pada sumberdaya hutan dihancurkan oleh HPH dan proyek perkebunan yang diandalkan pemerintah. Ladang, damar, madu, rotan yang semula sebagai sumber ekonomi hilang. Konflik sosial timbul. Ekosistem dihancurkan oleh sistem monokultur perkebunan dan rakyat yang tadinya pemilik lahan hanya jadi buruh. Kemandirian rakyat berubah menjadi tergantung oleh perusahaan. Keanekaragaman hayati hilang, lingkungan rusak. Belum lagi tudingan pemerintah terhadap sistem perladangan berpindah yang merusak hutan. Deforestasi timbul dan menjadi kekhawatiran pemerintah (katanya), tetapi selalu saja peladangan berpindah yang dilakukan masyarakat adat disalahkan
Arogansi penguasa terasa dalam teorinya bahwa deforestasi merupakan proses bertahap yang dikendalikan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan komunitas. Sedangkan dalam pandangan komunitas sendiri (baca: masyarakat adat) deforestasi merupakan suatu proses stokastis yang dikendalikan oleh unsur eksternal (faktor-faktor ekonomi politik). Sikap dan pandangan pemerintah tersebut di era Indonesia baru sekarang ini sudah harus dilenyapkan. Menghargai kearifan tradisional masyarakat adat dalam pengelolaan lingkungan hidup, mempertahankan dan memberdayakannya sudah harus menjadi peran stake holder agar unsur eksternal yang mengancam kelestarian keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup dapat dibendung.
Faktor eksternal yang penyebab deforestasi sudah terasa di desa Tumbang Habangoi. Keberadaan HPH mewakili kondisi tersebut selain dorongan ekonomi yang membawa segilintir masyarakat masuk hutan menebang pohon. Secara umum hutan masih terjaga. Bertahannya kondisi fisik lingkungan yang masih baik dan terjaga di desa Habangoi didukung oleh tradisi adat yang masih ada dalam mengelola lingkungan. Namun demikian untuk mengantisipasi terkikis dan hilangnya pola-pola kebiasaan tradisi dalam filsafat hidup suku Ot Danum dalam berinteraksi dan mengelola lingkungannya perlu suatu kegiatan studi yang mengeksplorasi kearifan tradisional yang mereka miliki serta mendokumentasikannya.
Desa Tumbang Habangoi
Habangoi merupakan desa paling hulu aliran sungai Samba, DAS Katingan. Sekaligus pintu masuk Taman Nasional Bukit Raya Bukit Raya. Secara administratif desa Habangoi masuk dalam wilayah Kecamatan Sanaman Mantikei, Kabupaten Katingan, Propinsi Kalimantan Tengah.
Penduduk didesa utamanya etnis Dayak Ot Danum yang komunitasnya tersebar di setiap hulu DAS utama di Kalimantan Tengah dan sampai luar perbatasan dengan Kalimantan Barat dengan bahasa keseharian adalah Dohoi
Pengakuan secara adat wilayah Habangoi di sebelah utara dibatasi oleh Bukit Raya, sebelah selatan dengan anak sungai Samba: Rahanjang yang merupakan perbatasan dengan desa Nusa Kutau. Secara adimistratif pemerintahan luas wilayah desa diakui seluas 25 ha.
Jumlah penduduk Habangoi kurang lebih 500 jiwa, dengan jumlah KK 108. Tidak semua warga berada di desanya sebagian tinggal di dukuh-dukuh tempat ladang. Sekitar 50-an warga usia sekolah belajar di luar. Warga dewasa ada yang kerja di camp Rahanjang atau masuk hutan menebang kayu. Jumlah murid Sekolah Dasar satu-satunya di Habagoi adalah 132 anak.
Pola pertanian “berpindah” atau dalam istilah Dohoi: Dullang Duli sampai sekarang masih berlaku. Ladang (Khumo) masyarakat yang berada jauh dari desa dibangun pondokan (dukuh) berupa rumah panggung dengan ukuran luas rata-rata 6-8 m2, dengan lantai jemur di bagian muka. Khumo yang saling berdekatan dengan anggota warga lain dibangun sekumpulan dukuh-dukuh yang diistilahkan dengan pedukuhan. Salah satu pedukuhan yang dekat dengan Habangoi adalah Manyahai yang berada di seberang Camp Nusantara Plywood (karena lokasinya disebut juga Camp Rahanjang). Khumo masyarakat terpisah-pisah letaknya ada yang dipinggir sungai dan ada yang di dalam.
Dalam membuka Khumo hingga panen semua dilakukan bersama-sama yang dikenal dengan istilah Handop dimana semuanya diawali dengan kebiasan–kebiasan adat. Sebelum membuka Hutan masyarakat melakukan upacara Ngumu dimana masyarakat menyembelih ayam atau babi sebagai tumbal, darahnya dipercikkan ke kayu-kayu yang akan ditebang karena dipercaya bahwa di batang pohon-pohon tersebut bersemayam Ottu, roh penunggu kayu-kayu tersebut. Upacara persembahan darah ini diharapkan agar roh tersebut akan pindah dari lahan yang akan dibuka. Khusus pohon Lunuk (beringin) mereka sebelum menebangnya perlu Acca (sajen) sebagai persembahan untuk ottu penunggu pohon tersebut.
Dalam memilih lahan yang akan dibuka masyarakat Habangoi tidak berani menebang bila di dekat daerah yang akan dibuka mereka mendengar suara burung Tingang bernyanyi dan akan memilih lahan lainnya untuk dibuka. Selain itu ada larangan adat bagi mereka untuk menebang pohon Tangis.
Sifat kegotong royongan terasa kental sekali pada seluruh proses mulai dari membuka lahan sampai memanen hasil pertanian. Dalam menggarap satu lahan bisa melibatkan 20 sampai 40 orang atau 3 atau 4 keluarga mulai dari usia anak sekolah sampai orang tua tergantung besar lahan yang akan digarap. Si pemilik lahan dalam kegiatan ini hanya menyediakan konsumsi selama kerja berlangsung. Pada acara ngumu selain sesajen disediakan pula makanan dan minuman Baram atau tuak yang merupakan minuman tradisional yang sangat digemari orang dewasa Habangoi dan merupakan minuman wajib bagi semua orang yang terlibat dalam kegiatan ini.
Setelah pohon-pohon ditebang dibiarkan beberapa hari hingga seminggu untuk proses pengeringan untuk kemudian dibakar istilah dohoi-nya NYAHA. Untuk daerah tertentu masa pengeringan bisa sampai setahun melihat tingkat kesuburan tanahnya. Tapi ini sangat jarang sekali karena mereka biasanya selalu dapat memilih tanah yang tingkat kesuburannya memadai. Sebelum dibakar simpukan kayu dikumpulkan dibagian tengah dan dipotong-potong agar tidak menjalar keluar, kegiatan ini disebut NUTU. Dalam pembakaran lahan masyarakat memiliki kearifan tradisional sendiri yaitu lahan yang telah siap dibakar pada batas ladang dibuat sekat bakar (bahasa Dohoinya: NYA’AT) dan pada lokasi tertentu telah ditunggu beberapa orang yang bertugas menjaga api dan memadamkannya bila dirasa akan membakar tumbuhan di luar lahan yang akan digarap. Sampai saat ini pola pembakaran lahan tradisional seperti ini tidak sampai menyebabkan timbulnya kasus kebakaran hutan.
Setelah proses pembakaran dan dilanjutkan membersihkan ladang dari sisa–sisa pembakaran maka dimulailah proses menunggal yang kembali dilakukan upacara yang sama dengan nama upacara Nyemitik. Bila lahan yang dibuka bersama-sama dengan keluarga lain dan letaknya bersebelahan di buat batas dengan menyusun kayu sebagai batas sekaligus jalan yang lebarnya 1 m.
Dalam kegiatan menugal kembali dilakukan bergotong royong dimana kaum laki-laki membuat lobang benih (menugal atau Nuhkan) dan para wanitanya memasukan benih padi (apang paroi) ke dalam lobang dan kemudian ditutup kembali dengan tanah yang dikenal dengan istilah meminyi. Selama menunggu masa panen dilakukan pemeliharaan seperti Membawau atau membersihkan rumput ( gulma). Bila tumbuhan padi terserang hama orang Habangoi telah lama memiliki teknologi pembasmi hama yaitu Rabun. Yang merupakan kegiatan pengasapan lahan yang dilakukan pada sore hari selama 3 hari dengan membakar tanaman-tanaman tertentu yang berfungsi untuk mengobati penyakit tanaman seperti ulat, daun layu dan berbintik-bintik.
Setelah itu masa yang dinantikan Panen atau Ngotom yang disambut kembali dengan upacara sebagai rasa kegembiraan dan ucapan syukur. Dalam upacara ini selain memberikan sesajen sebagai ucapan syukur masyarakat juga melaksanakan makan bersama sebagai ungkapan rasa kegembiraan. Sebelum hasil panen padi diolah/dikonsumsi sekaligus memberkati peralatan yang digunakan selama panen yaitu upacara Pokuman Batu sebagai persembahan kepada Urai.
Lahan yang telah dipanen bisa terus ditanami sampai tahun ke dua. Sebelum ditinggalkan lahan yang berada tidak jauh dari sungai ditanami dengan bibit rotan untuk yang jauh ke dalam mulai 30 tahun terakhir ini ditanami dengan karet, namun ini tidak semuanya dilaksanakan ada yang membiarkannya membelukar dan menjadi hutan muda.
Selain berladang masyarakat memanfaatkan hutan untuk mencari rotan dan berburu serta memanfaatkan keanekaragaman tanaman sebagai pengobatan tradisional. Dimana pengobatan modern terlalu jauh untuk dijangkau dari desa Habangoi.
Dalam memasarkan hasil hutan rotan masyarakat menjual ke pengumpul di desa atau langsung dijual ke Tumbang Samba, untuk hasil buruan, ikan dan sayur-sayuran selain dikomsumsi sendiri dijual pada camp perusahaan Nusatara Plywood. Sedangkan padi digunakan untuk konsumsi sendiri. pemrosesan rotan mentah, pengasapan sampai pengeringan sebelum dijual ke Tb. Samba dikerjakan oleh pengumpul di desa dengan memperkerjakan anak-anak sampai dewasa.
Pranata adat Habangoi yang termasuk suku Ot Danum sangat kuat dan lengkap mengatur kehidupan mereka seperti: Adat tentang perkawinan: Adat Koruh, tata pergaulan: Adat Basa, tata susila: Adat Dusa. Hamil di luar nikah: adat ngolanyun, merusak anak pungut: adat Laban, adat kematian: pepahtoi, adat pembagian harta waris: puat damuk, adat perjanjian: Janjik Pakhat, tentang kelestarian lingkungan: Lowung Pamolum, Pantangan: pemali/pali.
Khusus pada hari-hari tertentu ada larangan adat yang melarang memegang parang/mandau atau melakukan pekerjaan-pekerjaan berat seperti beberapa hari setelah ada musibah orang meninggal, ketika pelaksanaan tiwah dan ada waktu setiap bulannya dimana saat hari bulan purnama hari ke 16 sistem penanggalan bulan tidak boleh melakukan kegiatan apapun seperti berladang atau menebang pohon.
Penulis : Edy Subhany : Pokker SHK Kalimantan Tengah
Faktor eksternal yang penyebab deforestasi sudah terasa di desa Tumbang Habangoi. Keberadaan HPH mewakili kondisi tersebut selain dorongan ekonomi yang membawa segilintir masyarakat masuk hutan menebang pohon. Secara umum hutan masih terjaga. Bertahannya kondisi fisik lingkungan yang masih baik dan terjaga di desa Habangoi didukung oleh tradisi adat yang masih ada dalam mengelola lingkungan. Namun demikian untuk mengantisipasi terkikis dan hilangnya pola-pola kebiasaan tradisi dalam filsafat hidup suku Ot Danum dalam berinteraksi dan mengelola lingkungannya perlu suatu kegiatan studi yang mengeksplorasi kearifan tradisional yang mereka miliki serta mendokumentasikannya.
Desa Tumbang Habangoi
Habangoi merupakan desa paling hulu aliran sungai Samba, DAS Katingan. Sekaligus pintu masuk Taman Nasional Bukit Raya Bukit Raya. Secara administratif desa Habangoi masuk dalam wilayah Kecamatan Sanaman Mantikei, Kabupaten Katingan, Propinsi Kalimantan Tengah.
Penduduk didesa utamanya etnis Dayak Ot Danum yang komunitasnya tersebar di setiap hulu DAS utama di Kalimantan Tengah dan sampai luar perbatasan dengan Kalimantan Barat dengan bahasa keseharian adalah Dohoi
Pengakuan secara adat wilayah Habangoi di sebelah utara dibatasi oleh Bukit Raya, sebelah selatan dengan anak sungai Samba: Rahanjang yang merupakan perbatasan dengan desa Nusa Kutau. Secara adimistratif pemerintahan luas wilayah desa diakui seluas 25 ha.
Jumlah penduduk Habangoi kurang lebih 500 jiwa, dengan jumlah KK 108. Tidak semua warga berada di desanya sebagian tinggal di dukuh-dukuh tempat ladang. Sekitar 50-an warga usia sekolah belajar di luar. Warga dewasa ada yang kerja di camp Rahanjang atau masuk hutan menebang kayu. Jumlah murid Sekolah Dasar satu-satunya di Habagoi adalah 132 anak.
Pola pertanian “berpindah” atau dalam istilah Dohoi: Dullang Duli sampai sekarang masih berlaku. Ladang (Khumo) masyarakat yang berada jauh dari desa dibangun pondokan (dukuh) berupa rumah panggung dengan ukuran luas rata-rata 6-8 m2, dengan lantai jemur di bagian muka. Khumo yang saling berdekatan dengan anggota warga lain dibangun sekumpulan dukuh-dukuh yang diistilahkan dengan pedukuhan. Salah satu pedukuhan yang dekat dengan Habangoi adalah Manyahai yang berada di seberang Camp Nusantara Plywood (karena lokasinya disebut juga Camp Rahanjang). Khumo masyarakat terpisah-pisah letaknya ada yang dipinggir sungai dan ada yang di dalam.
Dalam membuka Khumo hingga panen semua dilakukan bersama-sama yang dikenal dengan istilah Handop dimana semuanya diawali dengan kebiasan–kebiasan adat. Sebelum membuka Hutan masyarakat melakukan upacara Ngumu dimana masyarakat menyembelih ayam atau babi sebagai tumbal, darahnya dipercikkan ke kayu-kayu yang akan ditebang karena dipercaya bahwa di batang pohon-pohon tersebut bersemayam Ottu, roh penunggu kayu-kayu tersebut. Upacara persembahan darah ini diharapkan agar roh tersebut akan pindah dari lahan yang akan dibuka. Khusus pohon Lunuk (beringin) mereka sebelum menebangnya perlu Acca (sajen) sebagai persembahan untuk ottu penunggu pohon tersebut.
Dalam memilih lahan yang akan dibuka masyarakat Habangoi tidak berani menebang bila di dekat daerah yang akan dibuka mereka mendengar suara burung Tingang bernyanyi dan akan memilih lahan lainnya untuk dibuka. Selain itu ada larangan adat bagi mereka untuk menebang pohon Tangis.
Sifat kegotong royongan terasa kental sekali pada seluruh proses mulai dari membuka lahan sampai memanen hasil pertanian. Dalam menggarap satu lahan bisa melibatkan 20 sampai 40 orang atau 3 atau 4 keluarga mulai dari usia anak sekolah sampai orang tua tergantung besar lahan yang akan digarap. Si pemilik lahan dalam kegiatan ini hanya menyediakan konsumsi selama kerja berlangsung. Pada acara ngumu selain sesajen disediakan pula makanan dan minuman Baram atau tuak yang merupakan minuman tradisional yang sangat digemari orang dewasa Habangoi dan merupakan minuman wajib bagi semua orang yang terlibat dalam kegiatan ini.
Setelah pohon-pohon ditebang dibiarkan beberapa hari hingga seminggu untuk proses pengeringan untuk kemudian dibakar istilah dohoi-nya NYAHA. Untuk daerah tertentu masa pengeringan bisa sampai setahun melihat tingkat kesuburan tanahnya. Tapi ini sangat jarang sekali karena mereka biasanya selalu dapat memilih tanah yang tingkat kesuburannya memadai. Sebelum dibakar simpukan kayu dikumpulkan dibagian tengah dan dipotong-potong agar tidak menjalar keluar, kegiatan ini disebut NUTU. Dalam pembakaran lahan masyarakat memiliki kearifan tradisional sendiri yaitu lahan yang telah siap dibakar pada batas ladang dibuat sekat bakar (bahasa Dohoinya: NYA’AT) dan pada lokasi tertentu telah ditunggu beberapa orang yang bertugas menjaga api dan memadamkannya bila dirasa akan membakar tumbuhan di luar lahan yang akan digarap. Sampai saat ini pola pembakaran lahan tradisional seperti ini tidak sampai menyebabkan timbulnya kasus kebakaran hutan.
Setelah proses pembakaran dan dilanjutkan membersihkan ladang dari sisa–sisa pembakaran maka dimulailah proses menunggal yang kembali dilakukan upacara yang sama dengan nama upacara Nyemitik. Bila lahan yang dibuka bersama-sama dengan keluarga lain dan letaknya bersebelahan di buat batas dengan menyusun kayu sebagai batas sekaligus jalan yang lebarnya 1 m.
Dalam kegiatan menugal kembali dilakukan bergotong royong dimana kaum laki-laki membuat lobang benih (menugal atau Nuhkan) dan para wanitanya memasukan benih padi (apang paroi) ke dalam lobang dan kemudian ditutup kembali dengan tanah yang dikenal dengan istilah meminyi. Selama menunggu masa panen dilakukan pemeliharaan seperti Membawau atau membersihkan rumput ( gulma). Bila tumbuhan padi terserang hama orang Habangoi telah lama memiliki teknologi pembasmi hama yaitu Rabun. Yang merupakan kegiatan pengasapan lahan yang dilakukan pada sore hari selama 3 hari dengan membakar tanaman-tanaman tertentu yang berfungsi untuk mengobati penyakit tanaman seperti ulat, daun layu dan berbintik-bintik.
Setelah itu masa yang dinantikan Panen atau Ngotom yang disambut kembali dengan upacara sebagai rasa kegembiraan dan ucapan syukur. Dalam upacara ini selain memberikan sesajen sebagai ucapan syukur masyarakat juga melaksanakan makan bersama sebagai ungkapan rasa kegembiraan. Sebelum hasil panen padi diolah/dikonsumsi sekaligus memberkati peralatan yang digunakan selama panen yaitu upacara Pokuman Batu sebagai persembahan kepada Urai.
Lahan yang telah dipanen bisa terus ditanami sampai tahun ke dua. Sebelum ditinggalkan lahan yang berada tidak jauh dari sungai ditanami dengan bibit rotan untuk yang jauh ke dalam mulai 30 tahun terakhir ini ditanami dengan karet, namun ini tidak semuanya dilaksanakan ada yang membiarkannya membelukar dan menjadi hutan muda.
Selain berladang masyarakat memanfaatkan hutan untuk mencari rotan dan berburu serta memanfaatkan keanekaragaman tanaman sebagai pengobatan tradisional. Dimana pengobatan modern terlalu jauh untuk dijangkau dari desa Habangoi.
Dalam memasarkan hasil hutan rotan masyarakat menjual ke pengumpul di desa atau langsung dijual ke Tumbang Samba, untuk hasil buruan, ikan dan sayur-sayuran selain dikomsumsi sendiri dijual pada camp perusahaan Nusatara Plywood. Sedangkan padi digunakan untuk konsumsi sendiri. pemrosesan rotan mentah, pengasapan sampai pengeringan sebelum dijual ke Tb. Samba dikerjakan oleh pengumpul di desa dengan memperkerjakan anak-anak sampai dewasa.
Pranata adat Habangoi yang termasuk suku Ot Danum sangat kuat dan lengkap mengatur kehidupan mereka seperti: Adat tentang perkawinan: Adat Koruh, tata pergaulan: Adat Basa, tata susila: Adat Dusa. Hamil di luar nikah: adat ngolanyun, merusak anak pungut: adat Laban, adat kematian: pepahtoi, adat pembagian harta waris: puat damuk, adat perjanjian: Janjik Pakhat, tentang kelestarian lingkungan: Lowung Pamolum, Pantangan: pemali/pali.
Khusus pada hari-hari tertentu ada larangan adat yang melarang memegang parang/mandau atau melakukan pekerjaan-pekerjaan berat seperti beberapa hari setelah ada musibah orang meninggal, ketika pelaksanaan tiwah dan ada waktu setiap bulannya dimana saat hari bulan purnama hari ke 16 sistem penanggalan bulan tidak boleh melakukan kegiatan apapun seperti berladang atau menebang pohon.
Penulis : Edy Subhany : Pokker SHK Kalimantan Tengah
1 comment:
OT DANUM OF THE BEST..HEHEHE...
BY TITI OT DANUM...
Post a Comment